“Khusus wilayah Papua, pemerintah perlu mengkaji ulang konsep pembangunan di Papua berdasar pada prinsip penghormatan dan perlindungan HAM… …Pemerintah, Gereja dan MHA perlu segera merumuskan konsep pembangunan khas Papua, menyelesaikan konflik hak dan pengelolaan SDA serta menghapuskan stigma separatis kepada masyarakat yang membela dan memperjuangkan hak asasinya. “
Begitulah salah satu rekomendasi laporan baru Komnas HAM tentang hak masyarakat adat di kawasan hutan. Laporan berjilid empat itu menyampaikan semua riset dan temuan Inkuiri Adat nasional yang tahun 2014 lalu sudah keliling nusantara untuk mendengarkan keterangan dari kelompok masyarakat adat tentang situasinya dan perjuangannya. Di antara banyak rekomendasi lain kepada sejummlah instansi permerintah, ada usulan bahwa aparat TNI/Polri perlu ditarik dari korporasi di wilayah masyarakat hukum adat. Komnas HAM juga mengambil sikap jelas untuk menolak MIFEE di Merauke, dan merekomendasikan kementerian pertanian untuk kaji ulang dan revisi peraturan dan kebijakan pertanian dan perkebunan skala luas, termasuk MIFEE, yang mengakibatkan pelanggaran hak masyaakat hukum adat.
Dalam temuan dan analisis, beberapa karakteristik khusus di daerah-daerah tertentu dibahas. Di Papua, selain mengkritisi MIFEE, para penulis juga secara tegas mengkritisi pendekatan keamanan NKRI di Papua, dimana walaupun selama puluhan tahun orang asli Papua tidak diperdayakan secara systematis dan juga menjadi korban pelanggaran HAM, mereka selalu disalahkan dan distigmatisasi sebagai separatis. Di bawah ada kutipan dari temuan tersebut:
Stigma Separatisme di Papua
124. Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) di Papua sangat melimpah. Emas, perak, ikan, hutan, rotan, dan minyak semuanya ada di sana. Papua memberikan sumbangan luar biasa besarnya kepada Indonesia setiap tahun. Namun, kondisi yang kaya tersebut ironisnya justru berbading terbalik dengan kondisi masyarakatnya. Berpuluh tahun rakyat Papua justru dikejar, ditangkap, disiksa, dipenjarakan, dibunuh, dan terus-menerus dilabel dengan stigma separatis, makar dan anggota OPM. Mereka juga dibuat tidak berdaya dan dimiskinkan secara struktural dan sistematis.
125. Tim Inkuiri menemukan bahwa dalam konteks Papua, isu keamanan dan politik lebih mengemuka dari pada isu pembangunan dan pemberdayaan. Berbagai tuntutan bagi adanya partisipasi masyarakat untuk menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat adat akan tanah dan sumber daya alamnya lebih dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas ekonomi dan politik.
126. Selain itu status otonomi khusus bagi Papua dalam kenyataannya belum mampu menyelesaikan konflik agraria dan pengelolaan SDA. Lagi-lagi, upaya mempertahankan dan membela hak-hak adat MHA ditanggapi dengan stigmatisasi mereka sebagai kelompok bersenjata atau Organisasi Papua Merdeka (OPM).
MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate)
127. Pada kasus MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Papua yang diangkat dalam DKU Tim Inkuiri mendengarkan keterangan dari anggota MHA dari Suku Malind. Program MIFEE adalah bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) khusus untuk koridor 6 Papua dan Maluku. Keberadaan MIFEE dipertegas melalui Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011—2025.
128. Dimulai pada 2010, dengan luas lahan 2,5 juta hektar dari luas total Kabupaten Merauke sekitar 4 juta hektar, proyek ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah pusat menjadikan Merauke sebagai pusat pangan. Saat diluncurkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, proyek ini ditargetkan bisa “memberi makan penduduk Indonesia dan dunia.” Namun ternyata kehadiran MIFEE justru menimbulkan ketidakadilan bagi Suku Malind Anim yang sebelumnya menjadikan hutan sebagai lahan untuk mencari makan. Akibat kehadiran MIFEE, hutan dibabat, pohon-pohon sagu yang jadi sumber makanan sudah ditebang dan hewan untuk berburu sudah hilang. Akibatnya kini warga sudah kesulitan mencari makan.”
129. MIFEE disusun tanpa partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat lokal secara luas, padahal objek MIFEE termasuk wilayah-wilayah adat mereka. Hampir seluruh kegiatan MIFEE berbasiskan eksploitasi SDA. Namun, hak asasi manusia dan daya dukung lingkungan tidak menjadi pertimbangan utama. Ditemukan bahwa Hampir seluruh kegiatan MIFEE berbasis pada eksploitasi SDA. Namun, HAM dan daya dukung lingkungan tidak menjadi pertimbangan utama. Saat ini sudah mulai terjadi ketegangan- ketegangan akibat pelaksanaan proyek-proyek MIFEE.
130. Pada 2014 sudah mulai terjadi ketegangan-ketegangan akibat pelaksanaan proyek-proyek MIFEE. Apabila dilanjutkan, MIFEE dapat mengakibatkan konflik berbasis SDA dan kerusakan ekologis yang tidak menguntungkan bagi MHA dan masyarakat lokal lainnya. MIFEE juga berpotensi melanggar hak generasi mendatang untuk menikmati lingkungan dan menghilangan akar/ jati diri masyarakat.
Buku Inkuiri Adat bisa diunduh di sini:
– BUKU 1 — HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS WILAYAHNYA DI KAWASAN HUTAN
– BUKU 2 — PELANGGARAN HAK PEREMPUAN ADAT DALAM PENGELOLAAN KEHUTANAN
– BUKU 3 — KONFLIK AGRARIA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS WILAYAHNYA DI KAWASAN HUTAN-