Manipulasi dan Jebakan yang Mengeksklusi Kuasa Pemodal

Perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua menyebutkan diri sebagai industri pionir yang membuka daerah-daerah pedalaman, perintis jalan masuk investasi dan penggerak ekonomi lokal. Pemerintah menyediakan berbagai kebijakan kemudahan investasi, izin dan insentif ekonomi yang memperlancar industri pionir, hingga jaminan keamanan dengan fasilitas aparatus keamanan dan sebagainya.

Di lapangan, secara horisontal, perusahaan memperkenalkan sistem hukum perjanjian pelepasan dan pengalihan hak atas tanah sebagai perintah peraturan dan syarat perolehan hak guna usaha. Kebiasaan dan hukum-hukum adat masyarakat dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dilucuti dan diharuskan mengikuti hukum negara dan mekanisme managemen perusahaan. Kalaupun ada rekognisi dan ritual adat ketuk pintu atau derma adat terhadap kebiasaan dan hukum serempat, tetapi hanya sekedar formalitas dan etika bisnis saja.

Marga Worait dan kebanyakan Suku Aifat disekitar Kali Kais dan Kali Kamundan, Kabupaten Sorong Selatan dan Maybrat, Papua Barat, serta Orang Puragi di Kali Metamani, Sorong Selatan, sedang berhadapan dengan perusahaan pionir usaha perkebunan kelapa sawit milik ANJ (Austindo Nusantara Jaya Tbk) Group. Ada tiga anak perusahaan ANJ sedang beroperasi didaerah ini, yakni: PT. Permata Putera Mandiri (PPM), PT. Putera Manunggal Perkasa (PMP) dan PT. Pusaka Agro Makmur (PAM), keseluruhan luas kebunnya mencapai 82.468 hektar.

Dahulu, sebagian besar areal Izin Usaha Perkebunan milik ANJ Group ini, merupakan kawasan hutan peninggalan perusahaan pembalakan kayu PT. Wanagalang Utama, anggota Kalimanis Group, milik raja hutan The Kian Seng alias Bob Hasan. Kemudian, secara berturut-turut, tahun 2011, 2012 dan 2014, pemerintah mengeluarkan kebijakan pelepasan kawasan hutan produksi konversi didaerah ini menjadi areal perkebunan kelapa sawit kepada tiga perusahaan ANJ.

Restu menteri melepaskan kawasan hutan yang berarti merubah fungsi dan tutupan hutan menjadi tidak berhutan (deforestasi) untuk perkebunan kelapa sawit, dilakukan hanya berdasarkan pertimbangan teknis instansi kehutanan, kesesuaian rencana tata ruang dan tentu pertimbangan ekonomi politik berdalilkan “program nasional” dan atas nama pembangunan. Surat keputusan menteri ini minus konsultasi dan persetujuan masyarakat setempat. Satu hal, kebijakan dan praktik pengabaian hak demikian masih mengandaikan konsep hak menguasai negara mutlak. Kontradiksi dengan ketentuan UU Otonomi Khusus Papua mengakui hak masyarakat adat Papua.

Praktik bisnis di Papua, korporasi menggunakan surat keputusan pemerintah menjadi modal dan alat kekuasaan baru menguasai lahan. Masyarakat kebanyakan tidak bisa menolak keputusan pemerintah dan rencana perusahaan memanfaatkan hasil hutan dan lahan. Seperti halnya mereka tidak bisa menolak aktifitas perusahaan pembalakan kayu yang mengeksploitasi hasil hutan didaerah ini beberapa waktu lalu, sekalipun merusak kawasan hutan keramat, membongkar situs sosial budaya, menggusur sumber pangan dan kehilangan sumber ekonomi masyarakat.

Memoria passionis, ingatan atas berbagai peristiwa tidak normal, kekerasan, diskriminasi dan pelanggaran hak dasar yang berulang-ulang terjadi sejak masa lalu hingga saat ini, membuat masyarakat memilih sikap defensif dan lekas mengalah, dari pada mengalami kekerasan dan tudingan miring, serta resiko kekerasan lainnya.

Pada Juni 2016, perusahaan ANJ melakukan konsultasi publik atas rencana dan AMDAL perusahaan baru PT. PMP dan PT. PAM di Mratuwa Sesna Hotel, Teminabuan, Sorong Selatan. Markus Sorry mewakili Marga Worait dan tokoh-tokoh masyarakat Suku Aifat dari Kampung Womba, Aifat Selatan, juga hadir disini. Dalam pertemuan ini mereka mendengar dan mengetahui kalau tanah-tanah milik adat mereka telah diklaim menjadi milik perusahaan karena sudah mempunyai surat kesepakatan dan surat perjanjian pelepasan hak atas tanah antara masyarakat pemilik tanah dengan perusahaan.

Markus Sorry dan tokoh lainnya menolak rencana dan klaim perusahaan, karena mereka belum pernah membuat surat kesepakatan dan surat perjanjian pelepasan tanah adat.

“Saya selaku wakil Marga Worait dari pihak perempuan dan tertua diantara keluarga, belum pernah menandatangani dokumen apapun. Kami juga belum ada pembicaraan mengenai pembagian manfaat dan penggantian atas kerugian hak-hak masyarakat yang hilang”, jelas Markus Sorry.

Tidak puas dengan penjelasan ANJ, Markus Sorry berkunjung ke Kantor ANJ di Sorong untuk meminta dokumen surat kesepakatan dan perjanjian pelapasan hak atas tanah pada Agustus 2016. Perusahaan ANJ memberikan bundelan surat dokumen dimaksud sebanyak 29 halaman, terdiri dari: (1) Surat Kesepakatan Bersama antara PT. PAM dan masyarakat Womba pada 17 Mei 2014, (2) Kwitansi Kompensasi Pembayaran Pelepasan Hak Ulayat sebesar Rp. 1.000.000.000, pada 26 Mei 2014, (3) Kwitansi Pembayaran Bantuan Gereja dalam rangka Pelepasan Hak Ulayat sebesar Rp. 20.000.000, pada 26 Mei 2014, (4) Kwitansi Pembayaran Bantuan Pendidikan/Beasiswa dalam rangka Pelepasan Hak Ulayat sebesar Rp. 40.000.000, pada 26 Mei 2014, (5) Berita Acara pelapasan atas penguasaan tanah ulayat masyarakat Kampung Wombu kepada PT. PAM seluas 12.920 hektar, pada 26 Mei 2014, (6) Surat Perjanjian pelapasan atas penguasaan tanah ulayat masyarakat Kampung Wombu kepada PT. PAM seluas 12.920 hektar, pada 26 Mei 2014, (7) Surat Pernyataan pelapasan atas penguasaan tanah ulayat masyarakat Kampung Wombu kepada PT. PAM seluas 12.920 hektar, pada 26 Mei 2014, (8) Surat Keterangan Kepala Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Nomor 86/AS/V/2014, tanggal 20 Mei 2014, tentang Bukti Pemilikan Tanah Hak Ulayat, (9) Surat Pengakuan Penguasaan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Kampung Womba, tertanggal 10 Maret 2014.

Dalam tradisi Suku Aifat, masyarakat belum pernah melakukan transaksi melepaskan hak atas tanah adat dalam skala luas dan belum mengenal hukum perjanjian tertulis yang melegitimasi pengalihan hak atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Perusahaan logging HPH (kini IUPHHK-HA) beroperasi mengambil hasil hutan kayu tanpa ada musyawarah dan selembar surat izin dari masyarakat.

Kini, perusahaan kelapa sawit memperkenalkan hukum perjanjian pelepasan tanah yang tertulis, budaya hukum baru dan tidak dimengerti masyarakat. Surat Perjanjian dan bentuk rekognisi melalui uang pinangan, uang kompensasi, uang ketuk pintu dan apapun namanya, serta janji-janji pembangunan untuk pengalihan hak atas tanah, merupakan pengetahuan baru yang diperkenalkan seiring dengan hadirnya perusahaan pionir dalam bisnis ekstraktif didaerah ini. Kepengaturan negara dan berbagai bentuk rekognisi ini menjadi jebakan yang mengeksklusi kuasa korporasi. Kuasa yang mengjustifikasi penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan atas tanah dan kekayaan alam lainnya.

Pemerintah Distrik juga masih baru mengeluarkan surat keterangan tentang bukti pemilikan tanah hak ulayat setelah adanya perusahaan ANJ ini. Pemerintah distrik belum pernah mengeluarkan surat serupa pada masyarakat daerah setempat yang belum ada aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Markus merunut peristiwa perjumpaan dengan perusahaan. Pada Mei 2014, Markus  bersama warga lainnya mengikuti pertemuan sosialisasi dan perkenalan disebuah hotel di Kota Sorong.  Tindak lanjut pertemuan adalah musyawarah dengan warga di Kampung. Seminggu setelahnya, perusahaan bertemu warga Kampung Womba dan menyampaikan rencana usaha perkebunan kelapa sawit serta janji-janji pembangunan. Perusahaan juga menyerahkan uang imbalan Rp. 800 juta kepada masyarakat, diterima dan ditandatangani oleh salah seorang masyarakat.

Pembicaraan mengenai pelepasan hak atas tanah dan kesepakatan-kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak, ibarat layaknya membuat perjanjian, harus dipahami dan disadari isi kesepakatan, manfaat dan resikonya, harus jelas bentuk, ukuran dan batas-batasnya, hal ini belum pernah terjadi dan belum pernah diketahui masyarakat. Waktu yang singkat, dua kali pertemuan, belum tentu bisa menghasilkan keputusan dan kesepakatan yang beresiko terhadap kehidupan masyarakat selama puluhan tahun. Kecuali ada hal-hal manipulatif dan dorongan lain yang menimbulkan kesepakatan.

Bundelan surat-surat kesepakatan dan perjanjian pelepasan tanah antara warga Kampung Womba dengan perusahaan PT. PAM diduga ada manipulasi tandatangan masyarakat, dengan modus menggandakan tandatangan tanpa persetujuan pemilik dan memanipulasi  tanda tangan pada daftar hadir yang menjadi lampiran surat-surat.

“Kami sudah melayangkan surat kepada perusahaan untuk menolak seluruh surat-surat dari perusahaan. Kami belum pernah melihat, membuat dan membaca seluruh surat-surat yang diberikan perusahaan, bagaimana mungkin bisa disepakati dan ditandatangani”, jelas Markus Sorry. Penjelasan ini telah dikonfirmasi juga oleh Moses Worait dan Timotius Sewa, bahwa mereka tidak pernah menandatangani surat, kecuali kwitansi uang kompensasi dan daftar hadir pertemuan.

Manipulasi tandatangan dengan cara-cara tidak fair digunakan untuk mendapatkan justifikasi hak penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan atas tanah adat. Tindakan ini jelas merugikan dan menghilangkan hak masyarakat atas tanah. Masyarakat kehilangan kontrol atas tanah, kehilangan usaha pengelolaan sumber ekonomi, sumber pangan dan modal hidup sejahtera.  Pemerintah dan lembaga-lembaga keuangan yang membiayai korporasi nakal, seharusnya melakukan verifikasi dan menjatuhkan sangsi atas perbuatan melawan hukum demikian, mencabut izin dan tidak lagi mendukung bisnis korporasi jahat, sekalipun pionir.

Mengenai uang kompensasi Rp. 1 miliar, yang diterima sebesar Rp. 800 juta, untuk pelepasan tanah adat seluas 12.920 ha kepada PT. PAM, uang kompensasi ini dipahami sebagai uang pinangan, uang ketuk pintu, uang derma adat, uang imbalan, sebagaimana kebiasaan layaknya orang atau badan hukum menghendaki sesuatu dari pihak lain, bukan berarti masyarakat sudah setuju melepaskan seluruh hak atas tanah. Apalagi nilai tanahnya Rp. 62.000 per hektar, secara ekonomis tidak sebanding dengan manfaat tanah dan nilai tukar uang atas kebutuhan pokok.

Suku Aifat, Ayamaru dan Aitinyo, yang berada diwilayah hukum Maybrat, mengenal dan mempunyai tradisi pertukaran ‘kain timor’ untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki, biasanya digunakan dalam kebiasaan sosial melamar perempuan setempat dan sebagai rekognisi ataupun sangsi denda, termasuk kehendak untuk mendapatkan tanah. (Wasuway, 2012). Perusahaan menggunakan tradisi pertukaran ini dengan makna sosial yang berbeda, sebatas nilai penguasaan dan transaksi untuk komoditi komersial.

Jika surat kesepakatan dan perjanjian ini dimaklumi, maka seluruh hak masyarakat atas penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan atas tanah dan hutan pada lahan ini tidak ada lagi, termasuk kekayaan alam yang tersimpan didalam tanah, seperti minyak bumi, gas dan kekayaan tambang lainnya, dan berlaku selamanya.

Jebakan kepengaturan yang mengeksklusi kuasa pemodal ini akan memberikan manfaat ganda dan memungkinkan perusahaan leluasa mengembangkan modal melalui usaha dan ladang ekonomi baru dari pertambangan minyak dan gas yang potensial didaerah ini pada masa depan. Daerah Teluk Bintuni, Kali Kamundan, Kali Kais, hingga ke Sorong, pernah menjadi sasaran eksplorasi pertambangan minyak dan gas oleh perusahaan patungan NV Nederlansche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), sejak tahun 1928, namun produksi komersial hanya berlangsung di Klamono sejak tahun 1938 dan di Teluk Bintuni (2005). Peninggalan jaringan dan peralatan bekas kegiatan eksplorasi masih ditemukan dibeberapa daerah Kali Kais.

Sumber: Pusaka http://pusaka.or.id/manipulasi-dan-jebakan-yang-mengeksklusi-kuasa-pemodal/

This entry was posted in Seputar Tanah Papua and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.