Austindo Nusantara Jaya ingin punya citra sebagai perusahaan ramah lingkungan. Dalam laporan tahunan 2016 yang terbit pada 11 Oktober 2017, ANJ menjelaskan secara terinci berbagai praktiknya untuk menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan. Laporan-laporan tersebut penuh dengan beragam komitmen, supaya pembaca mendapatkan kesan bahwa PT ANJ perusahaan sunguh-sungguh baik.
Namun, seperti yang sering terjadi, realitas di lapangan tidak sesuai dengan kata-kata manis dalam laporan itu. Setelah dua tahun tanpa pembukaan lahan baru, perusahaan itu kembali membuka lahan baru di areal PT Permata Putera Mandiri, sebuah anak perusahaan yang punya konsesi di Kabupaten Sorong Selatan. Pembukaan lahan baru ini dilakukan di atas tanah ulayat milik suku Iwaro di Kampung Puragi. Ini lahan bersengketa karena marga Gue, salah satu marga pemilik, merasa tidak pernah memberikan izin kepada PT PPM untuk membuka perkebunan sawit.
Perusahaan mengklaim sudah mendapat persetujuan dari masyarakat dengan menunjukkan bukti memiliki peta sebuah kawasan di tanah ulayat marga-marga suku Iwaro di Kampung Puragi, yang luasnya mencapai 3494 hektare. Pada Juli 2013 perusahaan itu hanya melibatkan 13 dari 24 anggota masyarakat pemilik tanah ulayat untuk menandatangani peta kawasan itu. Dan menurut masyarakat Iwaro, hanya memberikan izin pembuatan jalan yang melintasi hutan mereka. Acara penandatanganan dilaksanakan jam empat subuh di Balai Desa dengan dikawal oleh anggota TNI dan Polri. Sengketa batas tanah ulayat juga terjadi pada suku Iwaro dan suku Awe’e yang memiliki tanah di dekat kampung Puragi.
Sengketa ini sudah berlangsung sejak awal tahun 2015. Dengan dukungan mahasiswa dari Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Iwaro, masyarakat telah beberapa kali turun ke jalan melakukan protes. Dan, ketika melakukan salah satu aksi demonstrasi, tiga puluh orang ditangkap. Dua diantaranya, Obet Kogie dan Odi Aitago, menjadi korban kriminalisasi karena dituduh merusak pintu pagar kantor PT ANJ di Sorong. Obet Kogie divonis hukuman satu tahun penjara dan Odi Aitago dihukum delapan bulan penjara.
Akhir tahun 2015, Yakomina Gue mewakili marga Gue membawa gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Sorong. Pada 25 Juli 2016 majelis hakim memutuskan kasus itu tidak dapat diterima (batal demi hukum) karena menurut mereka, seharusnya Yakomina Gue juga menggugat orang Papua lainnya yang pernah menerima uang perizinan dari perusahaan pada tahun 2013, dimana saat itu Yakomina Gue tidak dilibatkan dalam negosiasi tanah. Karena tidak ada uang dan juga tidak percaya kepada sistem keadilan Indonesia, marga Gue memutuskan tidak melakukan banding, dan lebih memilih menyelesaikan konflik melalui jalur adat.
Pada 16 Juni 2016, rapat digelar di kantor Walikota Sorong, antara perwakilan enam marga dari Kampung Puragi, pihak perusahaan, DPD RI, DPRD Sorong Selatan dan Pemda Sorong Selatan. Sebagai hasil pertemuan ini, DPRD diminta membentuk panitia kerja untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang jelas.
Perusahaan justru mengirimkan alat-alat berat untuk membuka lahan hutan yang menjadi sengketa. Sejak Juli lalu, sekitar 300 hektare hutan telah dibuka. Pada 16 September 2017, Dewan Adat Suku Iwaro dan DPP IPPMI telah menulis surat permohonan kepada DPD untuk menghentikan operasi PT PPM sebelum sengketa selesai, tetap belum ada titik terang.
Dalam Laporan tahunannya ANJ klaim mendukung prinsip Free Prior Informed Consent, persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan atau Padiatapa, khusus di Papua, laporan tahunan menceritakan tentang peristiwa pada 2016 di kota Teminabuan, letaknya sekitar 60 km dari lokasi perkebunan, yang menurut perusahaan, “membuka awal yang baru bagi hubungan ANJ dengan para pemangku kepentingan, terutama pemilik tanah yang merupakan suku asli”, dan “merupakan langkah vital dalam mempertahankan integritas komitmen kami untuk memperoleh Free, Prior and Informed Consent.” Pada laporan itu ANJ juga mencatat bahwa dalam pandangan perusahaan FPIC adalah “proses berkesinambungan”. Pernyataan seperti ini sangat jelas membuktikan bahwa perusahaan salah tafsir prinsip FPIC, yang harus atas dasar informasi awal, yang berarti sebelum izin keluar dan sebelum ada transaksi tanah atau pembukaan lahan, atau dengan kata lain, sebelum situasi semakin rumit akibat konflik dan permainan kepentingan.
Tidak ada bukti apapun bahwa ANJ melakukan proses FPIC sebelum mulai membuka lahan. Walaupun perusahaan bisa menunjukan tanda tangan masyarakat adat atas surat atau peta berjudul “Pelepasan Tanah Ulayat”, tidak pernah ada catatan tentang proses itu yang memastikan bahwa tanda tangan tersebut mewakili semua orang yang punya hak, dan diperoleh tanpa paksaan, penipuan atau manipulasi. Rendahnya kompensasi tanah yang diberikan kepada suku-suku juga menjadi indikasi kuat negosiasi tidak melalui Padiatapa. Suku Iwaro di Puragi menerima Rp 100.000 per hektar atau 394 juta Rupiah, yang kemudian harus dibagi lagi kepada 13 marga.
Suku-suku lain menerima uang kompensasi antara Rp 50.000 hingga Rp 130.000 per hektar.
Padahal menurut informasi yang dicatat dalam ringkasan penilaian dampak sosial dilakukan oleh perusahaan, suku-suku di areal PT PPM bisa mendapatkan uang antara 1.5 juta hingga 9 juta rupiah per bulan dari hasil menjual ikan dan sagu sebelum perusahaan masuk. Kalau data ini betul, dan masyarakat bisa sejahtera dari hasil hutan, sangat tidak masuk akal akan melepaskan tanah ulayat dengan harga rendah ini. Apalagi tanah di areal PT PPM dan PMP dilepaskan antara Juli dan September 2013, hanya setengah tahun setelah ANJ membeli kedua perusahaan ini pada Desember 2012. Proses FPIC yang benar membutuh lebih lama, karena melakukan banyak hal, termasuk pemetaan partisipatif batas-batas ulayat.
Selama tahun 2015 ANJ Group mendapat tekanan dari sejumlah perusahaan pembeli minyak sawit, banyak diantaranya sudah menolak membeli minyak dari ANJ Group karena masih melakukan deforestasi di Papua. Ancaman hilangnya pasar minyak sawit dari perkebunannya di Sumatera dan Kalimantan, ANJ memilih untuk berhenti deforestasi di perkebunannya di Papua secara sementara sambil mempersiapkan sebuah rencangan pengembangan komprehensif dengan penilaian konservasi tinggi yang baru. Dalam laporan tahunan 2016, ANJ mengaku penilaian konservasi tinggi sudah selesai dan 40.000 hektare dari total 91.000 hektar konsesinya di Papua akan dijaga untuk konservasi. Sayangnya rencana pengelolaan baru itu belum dikirim kepada para stakeholder yang pernah mengkritisi ANJ Group. Perusahaan tidak membalas permohonan dari AwasMIFEE untuk melihat dokumen tersebut.
Untuk menjawab kebutuhan pasar ini, ANJ sudah mengumumkan kebijakan berkelanjutan bulan November 2016. Ternyata kebijakan ini lebih lemah daripada banyak perusahaan sawit lainnya karena tidak ada komitmen untuk tidak melakukan deforestasi. ANJ hanya menjanji tidak akan membuka hutan primer, namun hutan sekunder bisa dibuka demi “meningkatkan pembangunan pedesaan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional.” Pernyataan ini pasti tidak memenuhi syarat berkelanjutan banyak perusahaan perdagangan minyak sawit, artinya ANJ akan tetap tergantung pada pelanggan yang belum punya kebijakan berkelanjutan. Ini merupakan resiko besar bagi ANJ, namun sepertinya pihaknya telah memutuskan untuk mengambil resiko ini dengan mempertimbangkan nilai ekonomis konsesinya di Papua yang merupakan 51 persen lahan konsesi groupnya, namun sebagian besar masih hutan tertutup.
Komitmen perusahaan untuk melestarikan hutan primer juga patut dipertanyakan. Dalam laporan tahunan 2016, ANJ membantah tuduhan Greenpeace dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah secara sengaja melakukan pembukaan hutan primer. Ternyata, dalam data penutupan hutan yang dipublikasikan setiap tahun oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, sebagian besar lahan dalam konsesi perusahaan PT Putera Manunggal Perkasa diklasifikasi sebagai hutan primer dalam survey 2014 (hijau tua), namun dalam survey 2015 sudah menjadi lahan terbuka (kotak-kotak ungu) disiapkan untuk menanam kelapa sawit. Survey awal ANJ mengklasifikasi hutan ini sebagai hutan sekunder, namun ini tidak bisa dipercayai karena ANJ sendiri, dalam survey awal sudah mengakui kesalahan klasifikasi sebagian hutan yang sebenarnya hutan primer adalah hutan sekunder. Sisa hutan yang masih bisa dilestarikan, namun untuk hutan yang sudah menjadi perkebunan, tidak diketahui secara persis hutan itu tergolong primer atau sekunder sebelum tahun 2014.
Pernyataan perusahaan tentang gambut juga bisa lebih jelas. Dalam kebijakan berkelanjutannya, PT ANJ menyatakan tidak akan ada pengembangan di lahan gambut dan lahan basah, dan sekarang semua lahan basah dalam konsesi-konsesi kelapa sawit di Papua akan dicadangkan sebagai area konservasi. Seharusnya rawa-rawa luas di bagian timur konsesi PT PPM akan masuk area konservasi ini, namun hal ini tidak bisa dipastikan karena peta zona konservasi berdasarkan survey baru belum disediakan oleh perusahaan. Menurut survey awal perusahaan jenis tanah di rawa-rawa itu bersifat hemist dan saprist, digolongkan sebagai histosol yang mengandung bahan organik yang sudah dekomposisi secara parsial. Lahan ini sering disebut lahan gambut, walaupun perlu dicatat bahwa gambut tidak punya definisi ilmiah yang tepat.
Selain perkebunan sawit, PT ANJ juga punya usaha untuk mengelola hutan sagu di Sorong Selatan di atas lahan konsesi yangn luasnya mencapai sekitar 40.000 hektare. Ini tampaknya bertentangan dengan kebijakan berkelanjutan ANJ karena rawa sagu itu adalah lahan gambut yang dalam dan ANJ sudah membuat jaringan kanal untuk membawa pohon sagu ke pabriknya, yang juga mengancam kekeringan lahan. Sagu masih diklasifikasi sebagai hasil hutan bukan kayu. Ini berarti untuk mengelola hutan ini butuh izin bupati bukan izin HPH dari menteri dengan syarat untuk memastikan pengelolaan yang baik. Walaupun sagu adalah pohon tinggi yang merupakan penutupan utama di daerah rawa ini.
Tindakan-tindakan nyata PT ANJ di lapangan tidak memiliki komitmen terhadap hak masyarakat adat dan perlindungan linkungan, sebagaimana yang dicatat dalam laporan tahunan dan pembangunan berkelanjutan. Transparansi memang hal penting, namun kalau sebuah perusahaan hanya menawarkan informasi yang keliru dan menyesatkan, hal ini bukan transparansi melainkan propaganda untuk memberikan citra baik terhadap perusahaan yang buruk.
Seminggu sebelum artikel ini diterbitkan, ANJ diminta memberikan keterangan atas sejumlah poin namun tidak membalas sebelum artikel ini dipublikasikan. Akhirnya pertanyaan-pertanyaan dibalas tanggal 8 November dan bisa dibaca di sini (Bahasa Inggris)