Setiap tanggal 10 Desember di Tanah Papua, pasti ada aksi peringatan hari HAM. Tentu saja, salah satu perhatian besar adalah tindakan kekerasan dari TNI/Polri. Selama tahun 2017, seperti setiap tahun, banyak orang Papua ditembak mati oleh aparat. Namun persoalan hak-hak Economi, Sosial dan Budaya juga semakin terkemuka dalam wacana aktivis HAM – seperti dala pernyataan sikap dari aksi-aksi yang dilakukan di Sorong dan Jayapura tahun ini.
Di Merauke, ratusan orang ikut aksi demo ke DPRD tanggal 11 Desember (karena tanggal 10 adalah hari minggu). Ini pernyataan sikap mereka:
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 10 Desember 1948, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran semua bangsa tentang manusia dan kemanusiannya. Bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki kodrat sebagai makluk mulia ciptaan Tuhan yang harus dilindungi. Manusia berhak atas hidup yang bebas, tanpa perbudakan, intimidasi, apalagi pembunuhan.
Deklarasi tersebut berhasil menjawab keprihatinan bangsa-bangsa, serta banyak negara-negara yang mengalami dampak buruk tragedi Perang Dunia I dan Perang Dunia II 1948. Sehingga deklarasi tersebut ditindaklanjuti, dengan berbagai konvenan internasional. Konvensi Internasional tersebut diterjemahkan menjadi peraturan perundang-undangan HAM nasional di setiap negara.Seperti Konvenan Internasional Hak Sipil Politik ( SIPOL), Konvenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB). Selanjutnya, Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), Konvensi Penghapusan Diskiminasi Rasial (CERD), Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), dan Konvensi Hak Anak (CRC). Inilah Konstitusi HAM Internasional yang telah didukung dan diratifikasi oleh negara-negara anggota untuk memenuhi, melindungi, menghormati manusia di setiap negara.
Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB turut mendukung keputusan internasional tersebut degan meratifikasi (mengesahkan), keputusan tersebut setelah kejatuhan resim kediktatoran Soeharto pada 1998. Dengan mengeluarkan produk undang-undang HAM Nasional No 39 tahun 1999. Diikuti dengan Undang-Undang Peradilan HAM Nasional No 26 Tahun 2000.
Pada tahun 2005 Indonesia ikut meratifikasi Konvenan EKOSOB dengan UU No 11 Tahun 2005 dan UU No 12 Tahun 2005 untuk Hak-hak Sipil Politik. Tetapi dalam prakteknya masih belum bisa terlepas dari tindakan-tindakan pelanggran HAM terhadap warga negaranya. Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang HAM Nasional, seolah-olah menjadi instrument tanpa kekuatan, karena belum mampu dilaksanakan sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan Undang-Undang Peradilan HAM Nasional yang tidak banyak bekerja. Sehingga yang terjadi adalah konflik HAM kolektif yang tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak ada solusi yang benar-benar dapat menyelesaiakan persoalan HAM nasional secara tuntas.
Seperti itu juga yang terjadi di Papua, sebagai provinsi termuda di Indonesia, Papua memiliki sejarah integrasi yang berbeda. Berbagai operasi militer yang menjadi satu kesatuan progam nasional sejak 1961, diperparah 1967 dengan diisinkannya PT Freeport mengelolan SDA Papua. Justru ini menjadi salah satu penyebab persoalan HAM di Papua. Untuk pelanggaran Hak-hak SIPOL belum ada satu persoalan yang benar-benar diselesaikan, seperti Peristiwa Arfai 1965, Peristiwa Mapenduma 1976, Peristiwa Mapenduma 1996, Peristiwa Biak Berdarah 1998, Peristiwa Wamena Berdarah 2000, Peristiwa Merauke Berdarah 2000, Pembunuhan Theys Hiyo Eluay 2001, Peristiwa Abepura Berdarah 2006. Semua peristiwa itu disertai dengan penangkapan, penyiksaan, dan pemenjarahan orang Papua.
Berbagai peristiwa itu terus terjadi hingga dimasa kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini. Seperti pembunuhan 4 siswa di Paniai 8 Desember 2014. Peristiwa ini digolongkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat, namun tidak diselesaikan sampai sekarang.
Papua wilayah selatan sebagai suatu kesatuan Tanah Papua, juga tidak lepas dari pelanggaran HAM. Seperti penganiayaan yang dialami oleh Blasius Simagay di Bade 2014, Penembakan kaki Yeremias Kaipman di Merauke 2015, penganiayaan Xaverius Tambaip dan Ronald Ambungun di Merauke 2016, penganiayaan Oktovianus Beteop di Merauke 2017, Pembunuhan Isak Kua, dan pelecehan sexsual saudara perempuan dari Isak Kua November 2017.
Bahkan untuk hak-hak EKOSOB, Papua wilayah selatan menjadi yang terdepan di Papua. Karena letak geografis berawa-rawa, serta savana yang luas, wilayahnya berpotensi sebagai lumbung pangan, telah menjadi perhatian negara, sejak 2007, dimana saat itu telah dicanangkannya pemerintah daerah dengan nama MIRE. Dengan dasar itu pemerintah merencanakan Merauke sebagai lumbung pangan nasional dan internasional dengan membuat program raksasa bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Bahkan pemerintah pusat membuat produk hukum nasional untuk mempertegas investasi skala besar MIFEE. Peraturan tersebut adalah PP No. 28 Tahun 2008, Inpres No 5 Tahun 2008, hingga PP No 18 diterbitkan pada 2010.
Program ini telah mengambil 1,6 juta lahan milik masyarakat, dan dikatakan oleh Presiden Jokowi akan menjadi 4,26 juta hektar. Satu kebijakan luar biasa yang benar-benar telah melupakan kearifan lokal masyarakat Malind secara khusus, dan umumnya masyarakat Papua Selatan. Mayoritas masyarakat yang masih hidup dan tergantung dengan alam, serta budayanya, dipaksa meninggalkannya untuk beralih kepada puluhan perusahaan yang masuk dengan berbagai klasifikasinya. Kelapa sawit 316.347 hektar, Perkebunan Tebu 156.812 hektar, Perkebunan Jagung 97.000 hektar, Hutan Tanaman Industri (HTI) 973.057,56 hektar, Tanaman Pangan 69.000 hektar, Pengolahan Kayu Serpih 2.818 hektar, Pembangunan Dermaga 1.200 hektar.
Masyarakat Papua selatan yang tidak terbiasa melakukan kerja-kerja industri, dipaksa terlibat menjadi tenaga kerja kasar, karena tidak memiliki skill, pendidikan yang rendah, sehingga tidak dapat bersaing dengan tenaga kerja asing yang datang memenuhi kebutuhan perusahaan tersebut. Yang terjadi adalah diskriminasi terhadap masyarakat asli, marjinalisasi dalam kehidupan ekonomi, dan yang terburuk dari itu adalah masyarakat kehilangan sumber hidup utama mereka, seperti tanah, hutan, hingga sumber air. Hutan-hutan adat yang selama ini menjadi sumber inspirasi kultural mereka selama lenyap oleh lahan perkebunuan dan perusahaan sawit yang tidak dapat mensejahterakan mereka diatas tanah leluhur mereka sendiri.
Masyarakat Papua yang sadar akan dampak buruk berbagai investasi perusahaan-perusahaan ini, tidak jarang melakukan protes-protes terhadap kebijakan pemerintah, tetapi dibalas dengan sikap tak acuh pemerintah. Sebaliknya militer yang seharusnya menjaga keamanan, mengayomi masyarakat, justru menanggapi protes masyarakat dengan cara-cara yang represif. Seperti yang terjadi di Kampung Muting, Kampung Senegi, Kampung Yeiwid. Juga Kampung Ampera, Kampung Ikisi, Kampung Navini, Kampung Yare, Kampung Salamepe. Bahkan di seluruh kampung-kampung adat masyarakat di wilayah Papua Selatan yang tersebar, Merauke, Asmat, Mappi, hingga Boven Digoel, mengalami hal yang sama. Janji-janji kesejahteraan itu berbading terbalik dengan kenyataan yang ada.
Dengan demkian kami menuntut dengan tegas kepada pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintah provinsi Papua hingga pemerintah kabupaten diwilayah Papua Selatan, bahwa;
-
Kembalikan kedaulatan Tanah dan Hutan adat Masyarakat Papua Selatan.
-
Tolak Mega Industri Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang telah mengambil lebih dari 1,6 juta hektar tanah masyarakat adat di Papua Selatan.
-
Tutup PT Korindo Group yang tidak membawa dampak pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Papua Selatan selama 25 tahun beroperasi di Papua.
-
Pemerintah segera menetapkan peraturan daerah tentang Komunitas Masyarakat Hukum Adat serentak di seluruh kabupaten di Provinsi Papua.
-
Peninjuan dan Pemberhentian seluruh perizinan dan aktivitas perusahaan yang melanggar HAM dengan pengrusakan hutan Papua, yang merupakan paru-paru dunia.
-
Menolak dengan tegas upaya Menkopolhukan Wiranto, yang mendorong penyelesaian berbagai kasus HAM dalam Dewan Kerukunan Nasional (DKN), sebab tidak akan memberikan keadilan kepada orang asli Papua yang adalah korban.
-
Adili pelaku pembunuhan Isak Kua melalui peradilan HAM Nasional, dengan transparan.
-
Hentikan proses denda uang terhadap korban yang hanya mengkerdilkan hukum selama ini, dan membuat aparat Militer TNI dan POLRI menjadi terbiasa, dan legal melakukan kekerasan dan pembunuhan di Papua selatan.
-
Tangkap dan adili anggota TNI yang melakukan pelecehan sexsual kepada saudara perempuan dari Isak Kua berinisial VK.
-
Jangan ada pembiaran terhadap peredaran Miras di Papua Selatan. Sebab telah mengorbankan masa depan generasi mudah dan masyarakat, karena kebiasaan mengkonsumsi Miras tersebut. Kami mendesak ditutup perisinan Miras di seluruh wilayah Papua Selatan.
-
DPRD segera mendesak Polisi segera mengusut tindakan teror, kekerasan, dan pembacokan warga masyarakat oleh orang tidak dikenal, yang selama ini menyusahkan warga masyarakat di Merauke.
Demikian adalah tuntutan kami, Aliansi Masiswa Papua Selatan Peduli HAM. Kami mendesak segera pimmpinan DPRD, Bupati, pimpinan TNI/POLRI Kabupaten, untuk menindaklanjuti tuntutan-tuntutan kami ini sebagaimana mestinya. Terima kasih.
Sumber: Aliansi Mahasiswa Papua Selatan melalui SKPKC: http://fransiskanpapua.org/2017/12/12/tuntutan-dari-papua-selatan/
Foto: Jubi http://tabloidjubi.com//artikel-12268-ratusan-mahasiswa-serbu-kantor-dprd-merauke.html