29 September 2014, satu hari yang buruk bagi hutan Papua Barat

Pada September 2014, di bulan terakhir sebelum berakhir jabatannya sebagai Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, secara gegabah memberikan izin pada industri penebangan kayu dan perkebunan untuk memanfaatkan hutan Papua Barat sebesar ratusan ribu hektar.

Pada 9 Juli 2014 Joko Widodo memenangkan pemilihan Presiden, sementara itu Zulkifli Hasan, yang berasal dari Partai Amanat Nasional, yang tidak menjadi bagian dari koalisi pemerintahan baru dan oleh karena pengetahuan bahwa ia tidak akan memegang jabatannya lebih lama, Ia memanfaatkan waktu singkatnya untuk menerbitkan Surat-Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Hingga hari terakhirnya di kantor kementerian, Ia telah menerbitkan lebih dari 100 Surat Keputusan. Banyak dari SK ini merupakan konsesi-konsesi baru bagi perusahaan kayu dan hutan tanaman industri, atau pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan-perusahaan sawit.

SK-SK tersebut diterbitkan di kawasan-kawasan hutan di seluruh Indonesia, kendati demikian Tanah Papua merupakan salah satu wilayah yang paling terkena dampak SK tersebut. Sejak akhir Agustus hingga akhir September, sepuluh perkebunan kelapa sawit diberikan surat izin pelepasan kawasan hutan (212.216 hektar), lima lagi diberikan izin prinsip pelepasan hutan (173.389 ha), dua perusahaan hutan tanaman industri mendapatkan izin (178.980 ha), dan juga satu konsesi sebagaimana juga satu perusahaan pembalakan kayu (144.509). Terdapat total 799,055 ha—sebuah area yang luasnya lebih besar dari pulau Bali telah ditentukan nasibnya hanya dalam waktu sekitar sebulan. Hampir separuh dari izin-izin ini ditandatangani hanya dalam sehari: pada hari terakhir Zulkifli Hasan menjabat, tepatnya pada 29 September 2014. (( Ia meninggalkan posisinya pada 1 Oktober, seminggu sebelum transisi resmi kabinet baru, oleh karena ia ditunjuk mendapatkan posisi sebagai kepada Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), kedudukan yang sampai sekarang masih dijabatinya. ))  Oleh karena terburu-buru menandatangani, perlindungan lingkungan diabaikan, sebagaimana yang akan dicatat di bawah.

Nama
Perusahaan

Kabupaten

Jenis
Izin

Nomor
SK

Luas
(ha)

13/08/2014 PT
Permata Nusa Mandiri
Jayapura Pelepasan
Kawasan Hutan
SK.680/Menhut-II/2014 16182
29/08/2014 PT
Surya Lestari Nusantara
Mappi Persetujuan
Prinsip Pelepasan
SK
S.382/Menhut-II/2014
36145
16/09/2014 PT
Wira Antara
Jayapura Pelepasan
Kawasan Hutan
SK.752/MENHUT-II/2014 20264
19/09/2014 PT
Daya Indah Nusantara
Sarmi Pelepasan
Kawasan Hutan
SK
779/MENHUT-II/2014
10576
24/09/2014 PT
Bangun Mappi Mandiri
Mappi Persetujuan
Prinsip Pelepasan
SK
S.429/Menhut-II/2014
18006
25/09/2014

 

PT
Global Papua Abadi
Merauke Persetujuan
Prinsip Pelepasan
SK
S.435/Menhut-II/2014
20370
PT
Anugerah Rejeki Nusantara
Merauke Persetujuan
Prinsip Pelepasan
SK
S.437/Menhut-II/2014
39730
PT
Kesatuan Mas Abadi
Teluk
Bintuni
Hutan
Tanaman Industri
SK.818/Menhut-II/2014 99980
26/09/2014

 

PT
Prima Sarana Graha
Mimika Persetujuan
Prinsip Pelepasan
SK
S.448/Menhut-II/2014
21240
PT
Duta Visi Global
Boven
Digoel
Pelepasan
Kawasan Hutan
SK.830/Menhut-II/2014 33975
PT
Tunas Agung Sejahtera
Mimika Pelepasan
Kawasan Hutan
SK.833/Menhut-II/2014 39500
29/09/2014 PT
Berkat Cipta Abadi
Boven
Digoel
Pelepasan
Kawasan Hutan
SK.835/Menhut-II/2014 14435
PT
Visi Hijau Nusantara
Boven
Digoel
Pelepasan
Kawasan Hutan
SK.838/MENHUT-II/2014 24187
PT
Tunas Sawaerma
Boven
Digoel
Pelepasan
Kawasan Hutan
SK.844/Menhut-II/2014 19001
PT
Wahana Agri Karya
Boven
Digoel
Pelepasan
Kawasan Hutan
SK.855/Menhut-II/2014 14728
PT
Hanurata
Fakfak Hak
Pengelolaan Hutan
SK.859/Menhut-II/2014 234470
PT
Bintuni Agro Prima Perkasa
Tambrauw Pelepasan
Kawasan Hutan
SK.873/Menhut-II/2014 19368
PT
Wahana Samudra Sentosa
Merauke Hutan
Tanaman Industri
SK.880/Menhut-II/2014 79000
PT
Menara Wasior
Teluk
Wondama
Persetujuan
Prinsip Pelepasan
SK
S.466/Menhut-II/2014
28880

Daftar perusahaan-perusahaan yang diberikan izin di akhir Agustus dan September 2014

Selain izin-izin ini, pada 27 Agustus, Hasan menandatangani surat keputusan yang menerima perubahan atas kawasan-kawasan hutan untuk mengakomodasi rencana tata ruang provinsi Papua Barat. Surat ini, yaitu SK 710/Menhut-II/2014, untuk merubah status kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain sebesar 243.045 hektar, hal ini berarti akan mempermudah masuknya berbagai kepentingan industri. Diikuti dengan SK pada 22 September, yaitu terbitnya SK. 783/Menhut-II/2014 yang merupakan perencanaan sebuah peta baru bagi kawasan perhutanan. ((SK ini dapat dibaca pada link berikut: https://www.scribd.com/presentation/354546863/Kawasan-Hutan-Provinsi-Papua-Barat )) Terdapat perbedaan pada dua peta tersebut, karena persetujuan dari DPR dibutuhkan untuk merubah status area-area strategis bagi kepentingan konservasi. Perbedaan dalam dua peta tersebut merupakan indikasi atas keputusan yang dibuat secara gegabah .

Keputusan yang tergesa-gesa untuk membuat SK lebih banyak ini, yang hanya menguntungkan kepentingan perusahaan, membawa ke permukaan pertanyaan perihal unsur korupsi: apakah Zulkifli Hasan sedang mencari keuntungan pribadi dari permasalahan izin perusahaan atau dia memang hanya ingin menuntaskan tugasnya semata sebelum pindah jabatan? Terdapat beberapa bukti mengenai penjelasan kedua, sebagaimana juga dengan SK-SK yang dikeluarkan, terdapat 16 peraturan kementerian yang juga diisukan pada minggu terakhir bulan September dan kebanyakan dari peraturan tersebut tidak mengindikasikan adanya kepentingan swasta.

Bila memang tidak terdapat adanya bukti korupsi namun hal yang cukup jelas adalah persoalan inkompetensi. Banyak perizinan yang terbit tanpa adanya ketelitian dalam mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dalam regulasi kementrian sendiri. Tiga tahun kemudian, beberapa perkebunan yang telah menerima izin sudah memperoleh izin lainnya untuk mulai mengggunduli hutan (satu perkebunan telah memulainya, PT Bintuni Agro Prima Perkasa, yang sekarang ini banyak menuai penolakan dari masyarakat lokal), perizinan ugal-ugalan ala Zulkifli Hasan telah membuat efek yang besar pada kehidupan masyarakat adat Tanah Papua. Ancaman terbesar sekarang ini datang dari perkebunan kelapa sawit.

Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan

Menurut peraturan kementrian yang berlaku pada 2014 (Permenhut 28/2014 pasal 7, ditandatangani pada 13 Mei 2014), menyatakan bahwa sebuah perusahaan dapat memperoleh izin pelepasan kawasan hutan bila perusahaan tersebut telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), yang mana pada tahap ini perusahaan tersebut sudah memiliki izin AMDAL. Tak ada satupun dari sepuluh perusahaan yang diberikan izin pada waktu itu memiliki IUP. Hal ini berarti kawasan hutan tersebut tidak seharusnya dilepaskan pada sepuluh perusahaan tadi. Namun beberapa perusahaan semenjak saat itu telah memiliki IUP. (( PT Tunas Agung Sejahtera diberikan izin AMDAL pada Desember 2014 dan IUP-nya baru keluar pada 2015. PT Tunas Sawaerma dan PT Berkat Cipta Abadi baru mendapatkan AMDAL pada Juni 2015, PT Wira Antara dan PT Daya Indah Nusantara diberikan IUP baru pada tahun 2016. Sementara IUP dari PT Bintuni Agro Prima Perkasa masih tidak jelas, namun telah diketahui bahwa ada proses penilaian AMDAL pada 2016. PT Visi Hijau Nusantara, PT Wahana Agri Karya, dan PT Duta Visi Global ditolak izin AMDALnya pada 2013 dikarenakan penolakan oleh warga lokal. Namun PT Wahana Agri Karya mengajukan kembali AMDAL pada 2017. Tak ada bukti bahwa PT Permata Nusa Mandiri telah memperoleh AMDAL ataupun IUP. ))

Kegagalan Hasan dalam menjamin perizinan yang mengikuti peraturan yang ada, merupakan bukti yang terlihat jelas dalam beberapa konsesi . Dalam kasus PT Tunas Sawaerma, sebagian dari lahannya merupakan lahan gambut, yang pada waktu itu (dan sampai sekarang pun masih) menjadi bagian dari peta moratorium atas izin-izin baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut. Biasanya Kementrian Perhutanan tidak akan melepas izin lahan bila kasusnya seperti ini, oleh karena hal tersebut melanggar aturan yang ada di moratorium.

Bagi PT Bintuni Agro Prima Perkasa, SK dari kementrian menyatakan bahwa 19368 hektar lahan akan dilepaskan, luasnya lebih kecil dari apa yang diajukan oleh perusahaan, hal ini karena terdapat 13021 hektar lahan yang merupakan bagian dari hutan primer di dalam konsesi tersebut. (( Rilisan dokumen kehutanan menyatakan: “Terhadap areal hutan primer seluas 13.021,73 hektar yang berada di Hutan Produksi yang dapat Dikonversi yang akan dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit atas nama PT Bintuni Agro Prima Perkasa dikeluarkan dari pelepasan kawasan hutan dan ditindaklanjuti dengan tata batas” )) Namun seseorang di Kementrian “ sepertinya lupa” untuk berkoordinasi dengan kartografer, oleh karena peta-peta area yang akan dilepaskan memperlihatkan bahwa terdapat lebih dari 32000 hektar lahan, termasuk hutan primer yang tidak seharusnya dilepaskan.

Tiga Tahun Kemudian

Tiga tahun telah lewat sejak September 2014. Banyak dari perkebunan disebut di atas belum sama sekali terealisasi dan hutannya masih utuh—setidaknya sampai sekarang. Meski demikian konsesi-konsesi di atas masih sangat mungkin akan terjadi.

  • PT Berkat Cipta Abadi dan PT Tunas Sawaerma adalah bagian dari Korindo Group, yang memiliki beberapa perkebunan di wilayah Merauke dan Boven Digoel, termasuk konsesi kerja lainnya yang dioperasikan oleh PT BCA dan PT TSE. Korindo saat ini memberlakukan moratorium pembukaan hutan baru, sebagai akibat dari kampanye-kampanye yang dilakukan sehingga para pembeli kelapa sawit yang punya kebijakan ‘No-deforestasi’ tidak menerima produk dari Korindo. Namun, komitmen jangka panjangnya Korindo untuk menghentikan penggundulan hutan cukup diragukan, menimbang mereka juga melakukan kampanye dan lobi-lobi yang agresif secara lokal, klaim bahwa mereka perlu memperluas konsesi untuk memenuhi janji-janji pada koperasi petani kecil setempat yang telah mereka bentuk. Oleh karena itu, nasib konsesi yang belum berkembang bergantung pada bagaimana akhirnya Korindo dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam industri.

  • Sebelum adanya keputusan menteri pada tahun 2014, PT Bintuni Agro Prima Perkasa dibeli oleh sebuah perusahaan yang ditengarai merupakan bagian dari Salim Group. Setelah lahan hutan dilepas untuk sebuah perkebunan kelapa sawit, perusahaan tersebut menghadapi penantangan dari orang lokal setempat, namun perusahaan tersebut mulai mengajukan permohonan Izin baru untuk menanam jagung sebagai gantinya. Dan dari daerah uji coba yang kecil kemudian diperluas pada tahun 2017, yang mana pada saat ini penggundulan dan penanaman bibit jagung seluas ribuan hektar di lembah Kebar, area padang rumput yang dikelilingi oleh hutan di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Masih belum jelas izin lokal macam apa yang dikeluarkan untuk membenarkan perubahan dari kelapa sawit menjadi jagung, walaupun para aktivis lokal berusaha untuk menyelidiki. Di saat yang bersamaan terdapat penolakan yang cukup besar dari masyarakat lokal di lembah Kebar.

  • Konsesi PT Tunas Agung Sejahtera terletak di daerah terpencil di Kabupaten Mimika di pesisir selatan Papua. Mantan pemilik adalah anggota keluarga Yasa, pialang yang telah berhasil mencari izin untuk perkebunan di seluruh Papua. Mereka diyakini tidak pernah mengoperasikan perkebunan sendiri tapi menjualnya ke perusahaan lain, termasuk Austindo Nusantara Jaya dan Noble Group. PT TAS berupaya untuk menarik pembeli namun akhirnya jatuh pada Salim Group pada Januari 2017, dan ada kemungkinan akan segera dikembangkan. Belum diketahui apakah perusahaan telah melakukan komunikasi dan negosiasi dengan masyarakat atau tidak.

  • PT Permata Nusa Mandiri adalah satu lagi konsesi milik keluarga Yasa, namun dalam hal ini diyakini bahwa belum ada pembeli baru yang yang menginginkan konsesi tersebut.

  • PT Wira Antara dan PT Daya Indah Nusantara, lahan konsesi mereka yang berada di Jayapura dan Sarmi, termasuk dalam Musim Mas Group. Meski belum secara resmi meninggalkan konsesi, Musim Mas dengan tegas menyatakan komitmennya terhadap kebijakan ‘No Deforestasi’, hal ini secara efektif membuat konsesi tersebut tidak dapat dijalankan. Dua konsesi dari kelompok Musim Mas lainnya berada dalam situasi yang sama, mereka diberi sertifikat pelepasan kawasan hutan pada tahun 2012 tepat sebelum perusahaan tersebut menerapkan ‘etika’, wilayah mereka juga terletak di daerah terpencil di hulu Sungai Mamberamo. Dengan demikian, pada situasi tertentu lahan yang sama dapat disediakan untuk perusahaan perkebunan lainnya dengan izin lokasi dari Bupati. Perkembangan semacam ini dapat mengarah pada terpaparnya wilayah sungai besar ini secara menyeluruh ke industri pertanian. Status kawasan hutan sedikit banyaknya memberikan perlindungan namun sekarang ini status ini tidak berlaku lagi.

  • PT Visi Hijau Nusantara, PT Duta Visi Global dan PT Wahana Agri Karya telah diberikan izin tanah yang membentang 100 km di sepanjang jalan raya Trans-Papua di Boven Digoel. Mereka masih aktif mencari izin usaha perkebunan yang mereka butuhkan, yang mana PT Wahana Agri Karya berupaya melakukan proses AMDAL untuk kedua kalinya. Pemilik ketiga perusahaan ini diyakini adalah Edi Yosfi (ia memperoleh perusahaan-perusahaan ini melalui bisnisnya di PT Star Vyobros sampai 2012, yang mana setelah itu saham tersebut dipindahkan ke individu-individu yang ditengarai sebagai rekan-rekannya). Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri karena Yosfi adalah pejabat tinggi di Partai Amanat Nasional, partai yang sama dengan Zulkifli Hasan, dan diketahui memiliki hubungan dekat dengannya. ((

    Sebagai contoh, juga pada September 2014, Zulkifli Hasan dan Edi Yosfi merupakan dua politisi PAN yang menemani Hatta Rajasa dalam sebuah pertemuan dengan presiden yang barusaja terpilih Joko Widodo:: https://news.detik.com/berita/2845847/hatta-saya-bertemu-jokowi-ditemani-zulkifli-dan-edi-yosfi  ))

Fleksibilitas moratorium perizinan hutan primer di Indonesia

Sejak 2011, Indonesia memberlakukan moratorium izin baru di wilayah yang ditetapkan sebagai hutan primer dan lahan gambut. Peta baru dari area ini diproduksi setiap enam bulan sekali. Jika sebuah perusahaan keberatan dengan perancangan ini, maka perusahaan dapat mengirimkan sebuah surat kepada kementerian tersebut yang mengatakan bahwa hutan di dalam konsesi bersifat sekunder. Ketika permohonan banding ini diterima, rentang waktu antara surat pengaduan perusahaan dan persetujuan menteri mengenai perubahan tersebut biasanya menghabiskan sekitar tiga sampai empat minggu, yang berarti sangat tidak mungkin kementerian tersebut telah menyelenggarakan survei tanah yang menyeluruh pada saat itu. Dalam setiap kemungkinan yang ada, hal ini hanya perlu dilihat melalui gambar-gambar satelit. Permintaan semacam ini oleh perusahaan telah menjadi hal yang biasa, regularitas yang benar-benar mengabaikan tujuan dari moratorium dan juga di saat yang bersamaan menimbulkan pertanyaan tentang korupsi.

Cabang terpisah dari Departemen Kehutanan melakukan survei lahan setiap tahun (sekali lagi, hal ini dilakukan dengan hanya mengandalkan gambar dari satelit). Meski demikian, di hampir semua kasus, lahan yang diklasifikasi ulang sebagai hutan sekunder dalam peta moratorium, pada setiap hasil survei masih ditetapkan sebagai hutan primer.

Tujuh dari perkebunan yang mendapat izin pembebasan hutan pada September 2014 sebelumnya telah berhasil menghapus kawasan hutan dari area moratorium. Pada November 2013, ketika revisi kelima peta moratorium dipublikasikan, tanah yang ditandai sebagai hutan primer telah dihapuskan dari wilayah moratorium, ini adalah kawasan konsesi PT Visi Hijau Nusantara, PT Wahana Agri Karya, PT Duta Visi Global, PT Tunas Sawaerma, PT Wira Antara dan PT Daya Indah Nusantara. Hutan primer di kawasan konsesi PT Tunas Agung Sejahtera telah dihapuskan dari peta revisi keenam pada Mei 2014.

Lahan gambut di konsesi PT Tunas Sawaerma tidak dihapuskan dari peta moratorium, namun Zulkifli Hasan tetap memberikan perusahaan itu izin pelepasan kawasan hutan (lihat di atas).

Hutan primer juga ditemukan di konsesi PT Berkat Cipta Abadi, namun bukan merupakan bagian dari moratorium karena perusahaan tersebut sudah memiliki izin lokasi saat kebiajakan moratorium kali pertama terbit pada 2011. Hutan primer di konsesi PT Bintuni Agro Prima Perkasa ‘tanpa sengaja’ dilepaskan’, karena terdapat kesalahan ketika ke peta diterbitkan, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Jika perkebunan tidak dikembangkan.

Kawasan yang dilepaskan dari kawasan hutan pada September 2014 menambah luas lahan dengan cakupan hutan yang cukup besar dan memiliki nilai konservasi yang tinggi, termasuk hutan primer, yang sekarang berada di luar kawasan hutan. Penyebab lain adanya hutan primer di luar kawasan hutan adalah karena konsesi-konsesi yang tidak dikembangkan, sebagaimana perusahaan mulai mengadopsi kebijakan ‘No Deforestasi’, termasuk konsesi-konsesi yang dimiliki oleh Sinar Mas dan Musim Mas.

Beberapa konsesi lainnya juga tidak dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan yang telah memperoleh lahan-lahan tersebut, termasuk lima dari tujuh konsesi di Boven Digoel yang sebelumnya dimiliki oleh Menara Group dan dijual ke Tadmax dan Pacific Inter-link, kawasan-kawasan yang juga terdiri dari hutan primer yang luas. Kawasan konsesi-konsesi ini memiliki izin-izin yang tidak jelas.

Jika pemegang izin konsesi saat ini gagal mengembangkan perkebunan di lahan yang dilepaskan dari kawasan hutan, hal ini bukan berarti kawasan hutan tersebut sudah bebas dari resiko. ‘Areal Penggunaan Lain’ sangat menarik bagi investor baru karena lahan-lahan ini hanya memerlukan persetujuan dari pemerintah daerah dan provinsi, dan lahan tersebut seringkali sudah ditetapkan sebagai lahan perkebunan dalam rencana tata ruang.

Terdapat ancaman-ancaman baru akibat kebijakan reforma agraria pemerintah pusat. Jokowi telah meminta dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 untuk 9 juta hektar Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) agar dimasukkan ke dalam program reforma agraria. 4,1 juta hektar ini berasal dari kawasan hutan, atau lahan yang baru saja dilepaskan. Pada April 2017, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan menyusun peta awal daerah-daerah ini. Dua puluh persen area yang sudah dilepaskan dari kawasan hutan ini dimasukkan ke dalam program pembaruan agraria, tak ada pengaruh bila perkebunan di area tersebut akan direalisasikan atau tidak.

Di pulau-pulau bagian barat Indonesia yang padat, terutama Sumatra dan Jawa, reforma agraria satu langkah maju yang dibutuhkan dan telah diperjuangkan oleh petani selama bertahun-tahun. Tapi di Papua situasinya sangat berbeda. Untuk penduduk asli Papua kepemilikan tanah bukan masalahnya, kecuali jika tanah yang mereka miliki dirampas oleh perusahaan perkebunan. Apabila situasinya demikian, siapa yang akan mendapat manfaat dari reformasi agraria di Tanah Papua? Apakah itu sebenarnya hanya dalih untuk kebijakan transmigrasi baru yang luas, yang selanjutnya akan memarjinalkan penduduk asli Papua?

Bahkan jika pemegang izin saat ini tidak mengelola perkebunan, keputusan yang dibuat oleh Zulkifli Hasan pada September 2014 telah membuat hutan penting ini sangat memungkinkan untuk digunduli di kemudian hari. Setiap tahap dari sistem perizinan yang disfungsional – seperti izin-izin lokasi yang dijual oleh bupati-bupati untuk membiayai kampanye pemilihan ulang mereka, AMDAL yang sekadar formalitas (tidak benar-benar melakukan penelitian dampak lingkungan), dan metode-metode yang sifatnya koersif, memecah-belah, dan manipulatif demi memperoleh tanah dari pemilik hak ulayat – cara-cara yang malas dan gegabah (atau mungkin korup) dalam mengelola kawasan hutan, hanya akan mengarah pada penghancuran hutan Papua secara bertahap oleh industri perkebunan.

This entry was posted in Seputar Tanah Papua and tagged , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.