Mereka sedang membunuh Koroway dengan air perak dan logam mulia

[foto ini yang beredar di media sosial menunjukkan orang yang ingin buka landasan helikopter untuk membawa peralatan penambangan mas liar di wilayah Koroway. Ternyata tahun 2015 sudah ada penambang liar masuk wilayah ini]

Awal tahun ini beberapa foto aksi penambangan emas liar di Koroway menjadi viral di media sosial. Foto-foto yang memotret aktivitas pembangunan landasan helikopter untuk bongkar muat logistik penambangan tersebut diduga diambil dekat kepala sungai Deiram. Benar atau tidaknya aktivitas dalam foto tersebut belum bisa dikonfirmasi. Meski demikian, hal serupa pernah terjadi di wilayah Danowage. Kejadian ini terjadi tiga tahun yang lalu, kurang lebih pada tahun 2015. Hal ini diketahui berdasarkan laporan anak-anak sekolah di Koroway. Mereka bercerita kepada guru mereka tentang aktivitas penambangan emas liar di Donowage itu. Anak-anak sekolah ini pada umumnya bekerja pada pengusaha tambang emas itu.

Artikel ini dituliskan berdasarkan pengakuan empat anak sekolah di Koroway kepada seorang guru mereka yang dituturkan pada awal bulan Februari 2018. Nama guru dalam artikel ini tidak disebutkan sedangkan nama murid-murid yang memberikan pengakuan bukanlah nama sebenarnya.

Air perak
Yakobus bercerita bahwa dia bekerja kepada penambang emas di daerah Tanah Longsor, arah selatan dari Danowage yang dapat ditempuh selama 15 menit menggunakan katingting (perahu motor kecil). Kepada guru gurunya Yakobus menceritakan bahwa dia bekerja pada penambang orang rambut lurus (sebutan untuk pendatang, non-Papua), berasal dari daerah Bugis. Dia bertugas untuk membangun base camp, membawakan peralatan, membelah kayu bakar dan pekerjaan umum lainnya. Namun Yakobus mengaku  ikut menyaksikan bagaimana proses penambangan tersebut dari awal hingga akhir. Yakobus bekerja untuk orang yang biasa dipanggil Koprak.

Kepada gurunya Yakobus mengatakan orang-orang yang menambang emas itu menggunakan alat alkon, karpet, saringan kain, kuali dan juga air perak

Air perak itu berat sekali, hanya setengah jerigen (minyak goreng). Tapi itu berat sekali sampai saya tidak bisa angkat” kata Yakobus.

Yakobus menjelaskan dengan sederhana bahwa air perak itu bentuknya bulat-bulat macam di luar angkasa. Ia membandingkan berat jerigen air perak itu dengan baterai aki solar panel yang beratnya sekitar 48 kilogram.

Air perak yang di maksud Yakobus tentunya adalah air raksa atau merkuri yang merupakan logam berat.

“Apakah air perak itu dibuang ke dalam kali?” kurang puas dengan jawaban Yakobus, gurunya memperjelas pertanyaannya.

Yakobus menjawab tidak.  Penambang emas liar itu menggunakan air perak untuk untuk memproses emas lainnya.

Namun gurunya masih belum puas terhadap jawaban itu sehigga ia meminta Yakobus menjelaskan bagaimana air perak itu digunakan.

Yakobus menceritakan bahwa air perak digunakan untuk memisahkan emas dengan pasir hitam. Caranya,  campuran pasir hitam dan emas dituangkan air sedikit dengan air perak kemudian diaduk-aduk. Lalu secara otomatis emas akan berpisah dengan pasir, lalu emasnya diambil sedangkan sisa air, pasir hitam dibuang. Air perak dituangkan ke botol, lalu disaring dengan kain untuk memisahkan air dengan air perak.

“Setelah itu air perak ditampung untuk dipakai lagi sedangan air sisa hasil penyaringan dibuang,” ungkap Yakobus.

Yakobus tidak tahu jika air sisa yang mengandung air perak yang dibuang itulah yang berbahaya bagi kelestarian lingkungan. Lebih lanjut Yakobus mengatakan air sisa tersebut dibuang sembarangan, dibuang ke semak-semak, ke tanah bahkan ke sungai.

Hal tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat Korowai mengingat sungai Deiram merupakan tempat masyarakat Korowai menggantungkan hidupnya, mulai dari transportasi, sumber makanan, sampai sumber air bersih.

Dari pekerjaanya itu Yakobus menerima Rp900 ribu selama bekerja 12 hari kepada penambang tersebut. Selama dua belas hari merekabekerja  menambang emas di situ, hasil yang didapatkan sangat sedikit. Sehingga setelah dua belas hari, mereka menghentikan proses penambangan di titik tersebut dan berpindah ke Yaniruma. Para penambang pun mengajak Yakobus untuk ikut ke Yaniruma, namun Yakobus menolak dengan alasan ia ingin beribadah, karena waktu itu hari Sabtu.

Bundaran Lazarus, Abiowage dan Tanah Longsor

Lain cerita lagi murid lainnya yang bernama Imanuel. Imanuel  bekerja kepada orang yang berbeda, biasa dipanggil Jimi, dan berasal dari Kendari. Namun Imanuel tidak terlalu banyak terlibat karena ia hanya bertugas melakukan pekerjaan umum.

Imanuel mengaku tidak diijinkan ikut langsung dalam proses penambangan emas. Namun ia membenarkan bahwa penambangan tersebut menggunakan air perak. Ia bertugas membawa air perak dan peralatan menambang.

“Saya mendapatkan bayaran sebesar Rp300 ribu selama lima hari bekerja,” Imanuel menyebutkan jumlah upahnya.

Imanuel bekerja di kali sebelah utara Danowage kearah Abiowage. Ia mengatakan titik penambangan emas liar tempat ia bekerja itu sebagai Bundaran Lazarus.

“Dinamakan Bundaran Lazarus karena ada sebuah pulau di tengah sungai dan pemilik atau tuan tanah daerah tersebut bernama Lazarus,” jelas Imanuel.

Murid ketiga yang menyampaikan pengakuannya adalah Anis. Anis berasal dari Abiowage. Ia bekerja pada Koprak, bos Yakobus juga. Kepada gurunya, Anis mengaku bahwa tugasnya hampir sama seperti Imanuel, yaitu melakukan pekerjaan umum, termasuk membawa air perak.

“Penambangan emas tersebut dilakukan oleh Koprak dimulai dari Abiowage duluan kemudian Koprak memecah tim menjadi dua. Sebagian dari tim tersebut bekerja di daerah Tanah Longsor, sebagian lagi bekerja di Abiowage,” ungkap Anis.

Anis bekerja selama 6 hari dan mendapatkan bayaran sebesarRp 600 ribu.

Beberapa murid lainnya mengaku hanya main-main saja ke daerah pertambangan, terkadang membantu sedikit dan menjadi pekerja harian lepas. Salah satunya bernama Tius. Ia mengaku mendapatkan bayaran Rp50 ribu untuk bekerja satu hari. Namun Tius menguatkan pernyataan teman-temannya mengenai penggunaan air perak. Murid lainnya, Nahyu mengungkapkan ia hanya membantu angkat-angkat barang saja dan mendapatkan bayaran juga sebagai pekerja harian lepas. Mengenai penggunaan sarana transportasi mereka hanya menggunakan perahu dan katingting saja, tidak ada penggunaan helikopter.

Kesaksian murid-murid di Koroway ini menguatkan dugaan bahwa penambangan emas liar di Koroway tersebut kami dilakukan diberbagai titik, tidak hanya di Danowage saja.

“Kebetulan yang kami ketahui hanya di tiga titik saja. Bisa saja penambangan tersebut dilakukan di sepanjang hulu sungai Deiram Hitam, mengingat penambangan yang baru-baru ini terungkap berada di kepala kali Deiram,” ujar guru yang mendengarkan pengakuan murid-muridnya itu.

Guru yang merupakan warga asli Koroway ini menambahkan para penambang emas liar ini datang menemui pemilik tanah, meminta ijin, memberikan sejumlah uang, dan mengiming-imingi akan mendapat kekayaan yang besar. Mereka mengambil banyak rupiah dengan mendulang emas milik orang Koroway. Bahkan mereka menggunakan orang Koroway untuk bekerja untuk mencuri emas milik mereka sendiri.

“Sementara itu anak-anak serta orang Koroway yang bekerja bersama dengan mereka hanya dibayar murah saja,” sambungnya.

Suku Korowai hidup di wilayah perbatasan lima kabupaten yakni Boven Digoel, Asmat, Mappi, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang. Suku ini ditemukan oleh pekerja perusahaan pengeboran minyak dan gas bumi PT.Conoco yang bermarkas di Perancis dengan kantor penghubungnya di Sorong, Papua Barat sekitar tahun 1982. Pekerja perusahaan pengeboran minyak ini saat itu sedang melakukan survey pengeboran (seismic). Saat ditemukan, suku ini masih tergolong sebagai komunitas peramu, berburu dan nomaden.

Penambangan emas liar seperti ini banyak terjadi di Tanah Papua, salah satunya di Degeuwo, Kabupaten Paniai. Sejak penambangan emas terjadi di Degeuwo, banyak orang berdatangan dari berbagai daerah. Orang menempuh semua jalur baik jalan darat maupun jalur udara menuju ke kampung tersebut karena emas di kampung tersebut cukup menjanjikan. Namun kemudian Degeuwo berkembang pesat menjadi kota seprti ‘texas’ di tengah hutan. Para pengusaha dan pedagang berupaya secepat mungkin untuk mendirikan rumah. Kios dan rumah-rumah makan juga menyusul dibuka. Rumah ibadah dibangun. Tempat-tempat hiburan malam seperti kafe dan diskotik termasuk tempat bilyar dibuka oleh para pengusaha. Minuman keras (miras) mulai meraja lela. Tak perlu waktu lama, wanita-wanita PSK (Pekerja Seks Komersial) pun berdatangan.

Masyarakat lokal mulai berpikir memetakkan lokasi-lokasi disekitarnya sebagai hak milik. Lokasi-lokasi yang sebelumnya tidak dipersoalkan kepemilikannya, menjadi perdebatan antar warga setempat. Hal ini disebabkan karena setiap warga merasa lokasi-lokasi tertentu yang sebelumnya hutan diklaim sebagai hak ulayatnya. Muncullah perdebatan bahkan permusuhan diantara masyarakat lokal. Situasi ini seringkali tidak berakhir dengan suatu kesepakatan dan perlahan Degeuwo pun mati “terbunuh” air perak dan logam emas.

 Sumber: Jubi http://tabloidjubi.com//artikel-13875-mereka-sedang-membunuh-koroway-dengan-air-perak-dan-logam-mulia-.html

This entry was posted in Seputar Tanah Papua and tagged , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.