Resolusi Maranatha untuk Hari HAM 2018

Jayapura, 08 Desember 2018

1. Hari ini (08 Desember 2018), menjelang hari HAM (Hak Asasi Manusia) internasional, kami dari perwakilan dan pemimpin masyarakat adat Papua, organisasi masyarakat sipil dan agama, telah berdiskusi dan membahas situasi masyarakat adat dan korban pelanggaran HAM, baik korban pelanggaran hak sipil politik maupun hak ekonomi sosial dan budaya, serta permasalahan tanah dan hutan.

2. Saat ini, masyarakat adat (laki-laki dan perempuan) dan wilayah adat kami sedang terancam dan mengalami tekanan oleh kebijakan dan proyek- proyek pembangunan skala besar, yang hendak dan telah berlangsung di Tanah Adat kami, seperti usaha pembalakan kayu, usaha perkebunan dan usaha pertambangan, untuk tujuan komersial.

3. Kami merasakan dampak, kerugian dan kesusahan hidup dikarenakan aktiftas eksploitasi hasil hutan, penggusuran kawasan hutan dan ekstraksi hasil tambang, seperti hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat, kehilangan hutan dan dusun sumber pangan, hilangnya sungai dan keterbatasan mendapatkan air bersih dan bahan pangan yang layak, serta kehilangan pengetahuan budaya dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kami mengalami tekanan intimidasi, kekerasan fisik dan pelanggaran HAM, terjadi konflik dengan perusahaan dan ketidak harmonisan antara masyarakat, termasuk berkonflik dengan penduduk baru datang.

4. Pemerintah menerbitkan kebijakan, program-program dan pemberian ijin usaha kepada perusahaan dan pemillik modal tertentu tanpa ada konsultasi, tanpa ada persetujuan diawal, tanpa ada keterbukaan, tanpa ada informasi yang memadai, tanpa ada penilaian dampak lingkungan yang jujur dan tanpa ada keputusan bebas dari masyarakat. Tanah dan kekayaan alam kami, beralih kontrol dan hak kuasa, pemilikan, dan pemanfaatannya kepada pihak lain yang tidak memberi keuntungan bagi masyarakat sebagai pemilik yang sah.

5. Kami mengawasi dan menyoroti lemahnya pengawasan dan adanya pengabaian oleh aparatus penegakan hukum negara atas kejadian kekerasan dan pelanggaran HAM, serta kejahatan lingkungan. Pemerintah belum dapat memenuhi kewajibannya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan lingkungan. Bahkan terjadi kembali dan berulang kali, yakni kekerasan fisik dan verbal dialami oleh pembela HAM dan lingkungan.

6. Kami tegaskan bahwa tanah dan hutan serta kekayaan alam diwilayah adat kami adalah hak dan sumber kehidupan kami, pendukung kehidupan kami selamanya, bukan hanya hari ini saja tapi hingga generasi mendatang.Karenanya, sejak leluhur kami mengajarkan pe rlindungan alam, pemanfaatan tanah secara adil dan bijaksana, damai dan tanpa menimbulkan rasa permusuhan, serta menggunakan pengetahuan dan hukum-hukum masyarakat adat.

7. Kami masyarakat adat Papua (laki-laki dan perempuan) memiliki hak-hak dasar untuk hidup bebas, bebas berekspresi dan berpikir, tanpa diskriminasi, hak atas keadilan dan mendapat perlakuan yang sama didepan hukum, hak untuk tidak disiksa dan tidak diperbudak, hakmenentukan dan berpartisipasi dalam pembangunan, hak atas tanah adat, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini diatur dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan, undang-undang otonomi khusus provinsi Papua, serta instrument internasional mengenai hak-hak sipil politik, dan hak ekonomi sosial dan budaya.

Berdasarkan situasi latar belakang dan pandangan tersebut, kami menyampaikan resolusi, sebagai berikut:

1. Mendesak pemerintah daerah untuk segera menerbitkan peraturan daerah yang mengakui, melindungi dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Papua, hak atas tanah dan hutan, hak kebebasan berekspresi, hak atas kelembagaan adat dan kebebasan berorganisasi, hak atas pembangunan, hak-hak atas hukum dan peradilan adat. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak merupakan cara efektif untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM, kejahatan lingkungan dan kerusakan hutan;

2. Mendesak pemerintah untuk sungguh-sungguh menyelesaikan pelanggaran HAM berat dan permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Tanah Papua melalui proses hukum yang terbuka dan memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya, serta pemerintah mengambil tindakan segera untuk memulihkan dan merehabilitasi hak-hak korban dan keluarganya.

3. Kami sampaikan kepada pemerintah, korporasi dan berbagai pihak berkepentingan, serta elemen masyarakat sipil bahwa tanah kami ibarat perempuan atau “mama” adalah tanah, adalah bumi, yang merupakan identitas, martabat dan harga diri. Kami tidak menjual tanah. Pemerintah dan korporasi, serta berbagai elemen masyarakat, harus menghormati hak-hak kami (laki-laki dan perempuan) Orang Asli Papua dan termasuk hak atas tanah, pohon, cacing, serta berbagai kehidupan diatas dan didalam tanah, harus dilindungi;

4. Dalam konteks strategi kebijakan dan pengembangan program usaha ekonomi yang melibatkan perempuan dan organisasi perempuan, Kami meminta pemerintah menerbitkan kebijakan afirmatif yang mengutamakan, memberdayakan dan melindungi kepentingan usaha ekonomi perempuan Papua;

5. Mendesak dan mendukung pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, untuk secara konsisten melaksanakan kebijakan moratorium pemberian ijin baru untuk hutan alam dan lahan gambut (Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017) dan moratorium ijin untuk perkebunan kelapa sawit (Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018), yakni segera melakukan review dan evaluasi atas ijin-ijin dan aktifitas perusahaan yang melakukan pelanggaran hukum, menyebabkan deforestasi dan tindakan kejahatan lingkungan. Proses dan penilaian hendaknya dilakukan secara menyeluruh dan transparan, serta melibatkan masyarakat adat setempat;

6. Mendesak pemerintah mengambil tindakan segera untuk mengevaluasi ijin-ijin dan hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, yakni: (1) PT. Energi Samudera Kencana; (2) PT. Graha Kencana Mulia; (3) PT. Megakarya Jaya Raya; (4) PT. Kartika Cipta Pratama; (5) PT. Manunggal Sukses Mandiri; (6) PT. Trimegah Karya Utama dan (7) PT. Usaha Nabati Terpadu. Awalnya perusahaan ini dimiliki PT. Menara Group, dan telah dialihkan ke beberapa group perusahaan Pacific Interlink Group, Tadmax Resources Group, Bumi Mitratrans Martajaya Group. Ada lima dari perusahaan tersebut belum melakukan aktiftas dan belum mendapatkan persetujuan masyarakat luas, utamanya Suku Awyu didaerah ini.

7. Kami mendesak pemerintah memeriksa dan memberikan sangsi mencabutijin perusahaan karena diduga melanggar, merampas tanah masyarakat, merusak hutan dan merugikan hak-hak masyarakat adat setempat, yakni perusahaan perkebunan PT. Bintuni Agro Prima Perkasa di Kebar, Kabupaten Tambrauw, dan PT. Rimbun Sawit Papua di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat; perusahaan kayu (HPH) PT. Kurnia Tama Sejahtera di Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat;

8. Mendesak pemerintah pusat untuk melibatkan masyarakat adat pemilik hak atas tanah dalam negosiasi ijin usaha pertambangan dan aktifitas PT. Freeport Indonesia (FI) yang berlangsung diatas wilayah masyarakat adat setempat, serta meminta perusahaan PT. FI menghormati hak masyarakat

adat setempat dan memberikan kompensasi atas kerugian masyarakat yang terkena dampak langsung dari operasi perusahaan dan terdampak limbah tailing PT. FI;

9. Mendesak dan meminta segera kepada pemerintah untuk meninjau kembali dan menarik berbagai aktifitas dan keterlibatan militer (TNI/POLRI) berhubungan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh korporasi dan proyek pembangunan lainnya, menghentikan pendekatan keamanan dan keterlibatan militer dalam negosiasi usaha pembangunan dan penyelesaian konflik;

10. Mendesak pemerintah, aparat penegak hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengupayakan penegakan hukum secara efektif dan mencegah terjadinya kejahatan lingkungan dan pelanggaran HAM;

11. Mendesak pemerintah daerah untuk melakukan penataan kembali kebijakan kependudukan dan migrasi penduduk dari luar Tanah Papua. Kami merasakan arus masuk penduduk dari luar Pulau Papua telah menimbulkan keresahan sosial dan menjadi beban bagi pemerintah daerah, serta hanya melanggengkan eksploitasi dan ‘perbudakan modern’ tenaga kerja sewa yang dilakukan oleh pemodal;

12. Mendesak dan meminta segera pemerintah daerah mengalokasikan dana untuk mendukung dan meningkatkan kapasitas masyarakat dan kampung, untuk memberdayakan dan menjamin peningkatan penghidupan dan pengelolaan asset kekayaan kampung secara layak, serta pengelolaan hutan berbasis hak masyarakat secara lestari;

13. Mendesak korporasi untuk meningkatkan komitmen pembangunan yang menghormati hak-hak masyarakat, melakukan usaha yang bebas dari deforestasi, bebas dari lahan gambut dan tidak melakukan eksploitasi hak-hak pekerja, yang menjamin usaha dan perdagangan yang adil dan

berkelanjutan;

14. Mendesak korporasi untuk mengimplementasi komitmen melindungi hutan, tempat penting, tempat yang bernilai konservasi atau tempat bernilai tinggi yang sensitif lainnya, melakukan rehabilitasi kawasan hutan dan lahan gambut yang rusak, serta melaksanakan kewajiban sosialnya;

15. Mendesak pemerintah dan korporasi untuk menghormati dan melindungi aktivis masyarakat dan organisasi masyarakat sipil pembela HAM dan lingkungan;

16. Meminta organisasi masyarakat sipil dan keagamaan, untuk aktif memperjuangkan, mengawasi, mengawal dan melakukan intervensi atas proses dan inisiatif legislasi rancangan peraturan daerah khusus (Perdasus) dan peraturan daerah provinsi (Perdasi), terkait (1) pengakuan, perlindungan dan penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Papua; (2) perlindungan pangan lokal; (3) pengembangan usaha perekonomian Orang Asli Papua.

17. Meminta dukungan dan kerjasama organisasi masyarakat sipil dan keagamaan untuk memfasilitasi dan memperkuat kapasitas advokasi masyarakat dalam mendorong daya juang masyarakat untuk pembelaan dan perlindungan HAM, dan lingkungan hidup, kapasitas dalam berpartisipasi mengawasi dan menyuarakan berbagai kebijakan progam yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM dan kejahatan lingkungan, memetakan tanah dan wilayah adat, serta mengelola dan membagikan informasi pengetahuan hukum dan inovasi pengetahuan pemanfaatan sumberdaya alam yang ramah lingkungan;

18. Meminta masyarakat adat untuk konsisten dan aktif memperjuangkan nilai dan hak-haknya atas hidup sejahtera dan dalam melindungi lingkungan hidup;

Terima kasih

Resolusi ini Ditandatangani Oleh Peserta Dialog Kebijakan dan Konferensi Masyarakat Adat Papua:

Bonefasius Basikbasik, Suku Yeinan, Kabupaten Merauke

Kornelius Kindom, aktifis buruh, Kabupaten Merauke

Dominika Tafor, Suku Yimnawaigir, Arso, Kabupaten Keerom

Frenky Hendrikus Woro, Suku Awyu, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel

Fientje Yarangga, TIKI Papua, Jayapura

Sinyo Timisela, YALI, Jayapura

Lukas Kemon, Suku Awyu, Kampung Meto, Kabupaten Boven Digoel

Melianus Ulimpa, Suku Moi, Klasouw, Kabupaten Sorong

Fecki Mobalen, Suku Moi, AMAN Sorong Raya, Kabupaten Sorong

Bernadus Gilik, Suku Moi, Kampung Malalilis, Kabupaten Sorong

Yohanis Mambrasar, PAHAM Papua, Jayapura

Charles Tawaru, Greenpeace Indonesia, Sorong

Rio Rompas, Greenpeace Indonesia, Jakarta

Asep Komaruddin, Greenpeace Indonesia, Jakarta

Mathias Anari, Suku Mpur, Kebar, Kabupaten Tambrauw

Zainudin Patta, GSBI Papua Barat, Manokwari

Rizal Bebari, SOS untuk Tanah Papua, Jayapura

Daniel Gobai, SKPKC Fransiskan Papua, Jayapura

Trivena Nauw, LP3AP, Jayapura

Inosensius Fatabur, Suku Yimnawaigir, Arso, Kab. Keerom

Agnes Toam, Suku Yimnawaigir, Arso, Kab. Keerom

Aiesh Rumbekwan, Walhi Papua, Jayapura

Wirya Supriyadi, JERAT Papua, Jayapura

Pdt. Magda Kafiar, KPKC GKI Tanah Papua, Jayapura

Rina Krebru, KPKC GI Tanah Papua, Jayapura

Agustinus Number, aktivis buruh, Arso, Kabupaten Keerom

Jhon B, Kampung Manem, Kabupaten Keerom

Sorang Saragih, AJAR, Jakarta

Mordekhai Wabia, Suku Mpur, Kebar, Kab. Tambrauw

Herlin Mansawan, PTPPMA, Kab. Jayapura

Servo Tuamis, Suku Yimnawaigir, Arso, Kab. Keerom

Asrida Elisabeth, Mongabay, Kab. Jayapura

Adolfina Kuum, Lapemawil, Timika, Kab. Mimika

Magdalena Kamaroko, tokoh perempuan Kamoro, Kab. Mimika

Sebastianus Sefire, LMA, Kab. Teluk Bintuni

Kostan Natama, Suku Mairasi, Kab. Teluk Wondama

David Saweri, Kipas, Kab. Sarmi

Ferdinan Tuamis, Suku Yimnawaigir, Arso, Kab. Keerom

Linus Omba, Suku Mandobo, Kampung Subur, Kab. Boven Digoel

Teddy Wakum, LBH Papua, Kab. Jayapura

Aleks Gayai, Kosapa, Kab. Jayapura

Desianus Wetaku, Suku Maybrat, Ikana, Kab. Sorong Selatan

Decky Yesnat, Gempa, Kab. Jayapura

Andy, ELSHAM, Kab. Jayapura

Irianto Jacobus, KIPRA, Kab. Jayapura

Petrus Allen, YPPWP, Kab. Jayapura

Lindon Pangkali, Foker LSM Papua, Kab. Jayapura

Nicodemus Wofamina, WALHI Papua, Kab. Jayapura

Franky Samperante, Yayasan Pusaka, Jakarta

Dessy Manggaprouw, Papuan Voices, Kab. Jayapura

Elisabet Apyaka, Papuan Voices, Kab. Jayapura

Fransiska Manam, Papuan Voices, Kab. Jayapura

Kilion Marin, Papuan Voices, Kab. Jayapura

Stefanus Abrauw, Papuan Voices, Kab. Jayapura

This entry was posted in Seputar Tanah Papua, Uncategorized. Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.