Pada November 2018 lalu, Kepala Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Egidius Pius Suam, mengirimkan surat kepada Presiden RI, Joko Widodo, dan ditembuskan kepada beberapa Kementerian terkait, Gubernur Papua dan Bupati Boven Digoel, pimpinan organisasi masyarakat sipil di Papua dan Jakarta. Isi surat memuat keberatan dan penolakan masyarakat hukum adat Awyu terhadap izin dan keberadaan 7 (tujuh) perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam skala luas di wilayah adat Suku Awyu.
Surat tersebut ditandatangani juga oleh lima kepala Marga Suku Awyu, Kepala Kampung Metto, Kepala Kampung Hobinanggo, Kepala Kampung Ujung Kia, Kepala Kampung Kapogu, Kepala Distrik Ki, Ketua LMA Kabupaten Boven Digoel dan didukung 3 kepala suku lainnya, Suku Wambon, Kombai, Korowai di Kabupaten Boven Digoel.
Adapaun ketujuh perusahaan yang dimaksud adalah (1) PT Perkebunan Boven Digoel Sejahtera seluas 39.440 hektar; (2) PT Perkebunan Boven Digoel Abadi seluas 37.010 hektar; (3) PT Boven Digoel Budidaya Sentosa seluas 39.190 hektar; (4) PT Perkebunan Sawit Kifofi seluas 19.940 Hektar; (5) PT Perkebunan Dugu Fofi seluas 38.160 hektar; (6) PT Perkebunan Papua Sentosa seluas 38.725 hektar; dan (7) PT Indo Asiana Lestari seluas 38.525 hektar.
Perusahaan tersebut tersebar dibeberapa wilayah pemerintahan di Distrik Subur, Distrik Ki, Distrik Jair, Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. Total luas kawasan hutan yang terancam dan beralih kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut seluas 250.990 hektar.
Alasan para pemimpin masyarakat tersebut menolak perusahaan karena adanya ancaman hilangnya tanah dan budaya, hilangnya tempat masyarakat menyelenggarakan ritual budaya dan memperoleh atribut adat, hilangnya tempat sumber pangan untuk pemenuhan hidup dan mata pencaharian masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
“Kami minta Presiden RI membatalkan dan mencabut ijin perusahaan, menghentikan proses dan aktifitas perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan hutan di wilayah masyarakat adat Awyu, dengan mempertimbangan UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolan lingkungan hidup, Putusan MK No 35/PUU-X/2012, Intruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit, dan hak masyarakat adat Awyu”, minta Egedisu Pius Suam, dalam surat tersebut.
Namun hingga saat ini, masyarakat belum mendapatkan tanggapan berarti dari pemerintah atas surat tersebut. Sementara perusahaan masih terus aktif mempengaruhi masyarakat untuk menerima rencana perusahaan.
“Berdasarkan kajian kami bahwa sebagian besar perusahaan dimaksud adalah areal usaha perkebunan kelapa sawit milik perusahaan PT. Menara Group yang mendapatkan ijin usaha perkebunan (IUP) pada tahun 2011 dan ijin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan pada tahun 2012. Namun perusahaan tidak memanfaatkan secara maksimal lahan dimaksud, lalu perusahaan lama menjual kepada beberapa perusahaan baru asal Malaysia, yakni perusahaan Tadmax Resources Bhd dan Pacific Inter – link Group”, jelas Franky Samperante dari Yayasan Pusaka.
Pemerintah Kabupaten Digoel dan Dinas Penanaman modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu pernah mencabut ijin lokasi perusahaan (2015) dan ijin usaha perkebunan (2018). Namun, pemerintah daerah memberikan kembali ijin pada lokasi yang sama kepada perusahaan baru tersebut diatas.
Praktik akuisisi penjualan dan pembelian lahan antara perusahaan, maupun pemberian dan penetapan ijin oleh pemerintah kepada perusahaan baru, keseluruhan dilakukan tanpa proses konsultasi dan musyawarah untuk mendapatkan persetujuan masyarakat adat setempat sebagai pemangku hak, hal ini bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar bisnis yang seharusnya menghormati hak-hak masyarakat, seperti prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent).
“Hingga saat ini masyarakat adat Awyu belum mendapatkan informasi dan dokumen perijinan tersebut, termasuk dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan perjanjian-perjanjian yang pernah dibuat perusahaan Menara Group”, jelas Pastor Anselmus Amo, MSC, pimpinan SKP Keuskupan Agung Merauke.
Kami menemukan dalam kasus ini, sejak awal pemerintah daerah dan pusat telah melakukan kelalaian dan pelanggaran terkait ketentuan pemberian ijin lokasi, ijin usaha perkebunan, ijin lingkungan dan ijin pelepasan kawasan hutan produksi konversi (HPK), yakni pemberian ijin lahan dan pelepasan kawasan hutan melebih batas maksimum, sebagaimana Permen ATR/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2015, bahwa ijin lokasi dapat diberikan kepada perusahaan dan satu grup perusahaan tidak lebih dari luas 20.000 hektar untuk satu provinsi dan 100.000 hektar unruk seluruh Indonesia; Menurut Permen Pertanian Nomor 98 Tahun 2013, bahwa batas paling luas pemeberian IUP untuk satu perusahaan atau kelompok perusahaan perkebunan kelapa sawit seluas 100.000 hektar; Menurut Permen LHK Nomor P.51 Tahun 2016, bahwa luas kawasan hutan (HPK) yang dilepaskan kepada perusahaan atau grup perusahaan kelapa sawit diberikan paling banyak 60.000 hektar dan diberikan secara bertahap dengan luas 20.000 hektar.
“Menurut ketentuan Permen LHK P.51 Tahun 2016, dilarang memindahtangankan kawasan HPK yang dilepaskan kepada pihak lain dan melakukan kegiatan di kawasan hutan (HPK) yang dilepas karena belum memenuhi kewajibannya. Pemerintah menerbitkan ijin dan perusahaan mengalihkan ijin dengan cara melanggar hukum. Kasus ini menunjukkan buruknya tata kelola hutan dan lahan di Papua”, jelas Aiesh Rumbekwan, Direktur Eksekutif WALHI Papua.
Karenanya, Yayasan Pusaka, Walhi Papua dan Sekretariat Keadilan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, mendesak pemerintah pusat dan daerah segera melaksanakan Inpres Moratorium Sawit Nomor 8 Tahun 2018, dengan mengambil langkah proaktif dan terbuka untuk menghentikan aktifitas perusahaan perkebunan tersebut diatas dan melakukan evaluasi maupun mencabut ijin perusahaan yang melanggar hak-hak masyarakat dan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jakarta dan Papua, 28 Januari 2019