31 Oktober 2012. Tokoh masyarakat dari Kampung Baad dan Koa, Distrik Animha, melakukan tatap muka dengan Ketua DPRD Kab. Merauke, Leo Mahuze, di Merauke, minggu lalu (Oktober 2012). Dalam pertemuan tersebut, warga yang didampingi Jago Bukit, dari Yasanto, mengungkapkan situasi keresahan masyarakat menyusul kehadiran perusahaan PT. Anugrah Rejeki Nusantara (ARN), yang akan mengembangkan investasi usaha perkebunan tebu di beberapa kampung di Distrik Animha, Kabupaten Merauke.
Masyarakat menyatakan sikap menolak kehadiran ARN karena mereka khawatir aktifitas masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan, berburu, menggarap lahan dan menangkap ikan, akan dibatasi dan hilang oleh karena kegiatan perusahaan mengembangkan perkebunan tebu. Saat ini, kehadiran perusahaan telah menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, terjadi saling mencurigai antara warga dan tidak saling tegur. Masyarakat menyangsikan kehadiran perusahaan untuk membantu dan memberdayakan masyarakat karena tidak ada tanda-tanda keseriusan perusahaan peduli dengan kesejahteraan warga.
Perusahaan ARN, anak perusahaan ternama Wilmar International, perusahaan modal asing (PMA), yang sudah mendapatkan surat rekomendasi ataupun ijin lokasi dari pemerintah daerah untuk pengembangan perkebunan tebu seluas 40.000 hektar. Sebelumnya, ijin lokasi ARN berada di Distrik Tabonji lalu dipindahkan ke Distrik Animha. Wilmar juga mempunyai anak perusahaan lain yang sudah mendapatkan ijin beroperasi di Merauke, yakni: PT. Agriprima Cipta Persada (ACP), yang mendapatkan ijin dari pemerintah dalam kerangka pengembangan proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) untuk mengembangkan usaha perkebunan sawit seluas 33.540 ha berlokasi di Distrik Muting.
Pada pertengahan Oktober 2012 lalu, sekitar 15 orang tokoh masyarakat dari Kampung Wayau, Baad dan Koa, dibawa oleh ARN berkunjung ke lokasi perkebunan sawit di daerah Padang, Sumatera Barat dan perkebunan tebu di Lampung. Menurut Jago Bukit, peserta merasa puas dan termotivasi dengan keberhasilan petani plasma di kedua daerah tersebut. Meskipun disangsikan juga kunjungan tersebut tidak memberikan informasi yang komperehensif. Warga hanya diperlihatkan petani plasma dari kelas menengah yang memang berhasil karena mempunyai kemampuan dan relasi dengan perusahaan dan alat produksi. Mereka tidak mengetahui keberadaan petani dan latar belakang lokasi yang dikunjungi.
Menurut Carlo Nainggolan dari Sawit Watch, anak perusahaan Wilmar International, PT. Permata Hijau Pasaman, yang mengembangkan usaha perkebunan sawit di Kabupaten Pasaman Barat, masih mempunyai masalah dengan warga terkait perampasan tanah, kriminalisasi warga dan pemberian lahan plasma, yang belum selesai hingga saat ini. “Perusahaan harus menjelaskan tidak hanya dari satu sisi saja, tetapi juga dari sisi lain, misalnya terkait mekanisme kemitraan antara masyarakat dan perusahan dalam usaha perkebunan sawit, supaya masyarakat punya pengetahuan sebelum memutuskan bekerjasama dengan perusahaan.”
Ada banyak cerita dan contoh kasus, system kemitraan dalam usaha perkebunan skala besar, hanya menguntungkan perusahaan dan mengeksploitasi petani. Orang Marind yang umumnya dalam produksi kebutuhan keluarga masih mengandalkan pengetahuan dan teknologi local, usaha dan modal skala kecil serta menggunakan tenaga kerja keluarga, jika tidak dilindungi dan diberdayakan untuk menghadapi bisnis baru berskala besar yang dikelola oleh investor modal besar, mereka akan tersingkir dan tetap hidup miskin. Dalam situasi seperti ini, sikap masyarakat menolak investasi patut didengar dan dipertimbangkan.
Ank, Okt 2012
Sumber: Pusaka http://pusaka.or.id/2012/10/masyarakat-kampung-baad-dan-koa-menolak-investor-arn.html