Suku Auyu Terancam Kehilangan Hutan Alam Demi Kelapa Sawit

[Catatan AwasMIFEE: Ini laporan tentang perusahaan yang ingin masuk membuka perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Boven Digoel, kabupaten bertetangga dengan Kab. Merauke. . Ditulis oleh seorang pendeta asli suku Auyu dan diterbit di situs berita suarapapua.com Walaupun belum dapat informasi yang tepat tentang perusahaan ini, PT Menara Group, atau apa rencananya di Boven Digul, ada satu hal yang sangat memprihatinkan bahwa sepertinya perusahaan ini sudah membagikan jumlah uang yang sangat banyak kepada berbagai kampung temapt tinggal suku Auyu. Masyarakat setempat bingung uang itu untuk apa. Pendeta Felix Amias mengawali laporannya dengan penjelasan tentang suku Auyu dan pola hidupnya.]

Oleh : Pastor Felix Amias MSC *

Sejarah

 

Kiranya seperti kebanyakan suku lain di Papua, bahwa suku Auyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan tidak memiliki data sejarah yang pasti mengenai asal-usul mereka.

Hal yang pasti bagi suku Auyu adalah memiliki area geografis yang jauh lebih besar dari pada suku-suku lain yang ada di kawasan Papua Selatan.

Walaupun memiliki area geografis yang begitu besar, tetapi populasi penduduknya sedikit, sehingga konsekuensinya ialah hutan begitu luas, bahkan banyak bagian hutan yang tak tersentuh selama ini.

Sosial Budaya  

Pertama: Suku Auyu memiliki mentalitas budaya SUKA DAMAI, baik dalam kelompoknya sendiri maupun dengan orang lain dari luar kelompok. Suku Auyu adalah suku yang ‘rasa malu’-nya sangat tinggi bila berbuat jahat kepada orang lain.

Ketika perang-perang suku sebelum agama dan pemerintah (Pemerintah Belanda 1902 – Agama Katolik 1905 – dan Pemerintah Indonesia 1960 dengan TRIKORA), mereka membunuh sesama hanya untuk membela diri ketika perang suku, mereka tidak pernah dengan inisiatif agresifnya menyerang suku-suku lain untuk merebut dan menduduki wilayah suku lain.

Karena ada pandangan filosofis yang begitu kuat mengakar bahwa manusia tidak mengganti kulit ketika tua keriput dan menjadi mudah kembali, tetapi akan mati, sehingga jauh lebih bernilai dan bermartabat sebagai manusia bila hidup damai satu sama lain.

Kedua, wilayah suku Auyu termasuk kawasan yang jauh dari perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Papua New Guinea (PNG), dipisahkan oleh sungai Digoel yang besar, sehingga mereka tidak tahu-menahu dan tidak melibat-libatkan diri dengan hal-hal yang bersifat mengacau keamanan NKRI, apalagi yang berkaitan dengan ideologi separatis.

Kawasan yang sampai hari ini tidak pernah berurusan dengan hal-hal yang berkaitan dengan politik-keamanan. Kawasan ini termasuk ZONA DAMAI di wilayah Papua, khususnya Papua Selatan.

Sampai hari ini, mereka masih sangat tergantung pada alam. Berburu di hutan dengan busur-panah, pangkur sagu, minum air hutan secara langsung, dan juga mengambil ikan dari sungai secara tradisional (memancing atau menutup sungai dengan dedaunan hutan ketika air pasang dan ketika air surut mereka memungut ikannya di atas lumpur).

Mereka tidak mengenal apa yang disebut jaring, potas, setrum ikan atau bom-ikan dan sejenisnya.

Kepemimpinan  

Suku Auyu mengenal 3 model figure pribadi yang berpengaruh dalam kepemimpinan. PertamaBasing Maiyo (orang besar). Orang Besar itu dalam arti fisik (badan sehat, kaya harta karena rajin mengerjakan kebun dan beternak babi, memiliki rumah sendiri yang besar, dll).

Tetapi, juga dalam arti memiliki jiwa/mentalitas yang suka membantu orang yang berkesusahan, rumahnya terbuka bagi semua orang, pendamai, dll. Tipe orang ini adalah orang yang sangat layak menjadi pemimpin.

Kedua,  Basing Maiyo Kao/Vreyo (Bukan Orang Besar). Seseorang disebut Basing Maiyo Kao/Vreyo apabila ia memiliki perilaku yang bertentangan dengan Basing Maiyo (Orang Besar) tadi. Tipe orang ini tidak dapat menjadi pemimpin.

Ketiga,  Oviyo (Rakyat Kebanyakan/Khalayak Ramai). Orang-orang yang tergolong dalam Oviyo adalah mereka yang tidak memiliki perilaku Basing Maiyo dan Basing Maiyo Kao/ Vreyo.

Mereka ini hidupnya datar dan biasa. Tipe ini ada kemungkinan untuk menjadi pemimpin bila ia mengembangkan dirinya menjadi Basing Maiyo (Orang Besar).

Nampak dari tiga tipe pribadi manusia tersebut bahwa suku Auyu memiliki model kepempinan yang terbuka, bahwa siapa pun dapat menjadi pemimpin, asalkan ia memenuhi kriteria Basing Maiyo (Orang Besar).

Gambaran Tentang Keadaan Alam

Wilayah yang diincar oleh perusahaan adalah wilayah suku Auyu di Kabupaten  Boven Digoel. Hutan rimba yang belum pernah tersentuh oleh dunia luar, yang di dalamnya terdapat berbagai jenis hewan (baik yang di darat maupun yang di air), berbagai jenis unggas (baik yang merayap di darat, yang beterbangan di udara, maupun yang hidup di permukaan air, termasuk di dalamnya burung cenderawasih dan burung emas).

Ada juga sungai-sungai yang airnya sangat alami (steril dari berbagai virus), dan yang penting ialah berbagai jenis pohon besar yang belum pernah ditebang sembarangan (termasuk di dalamnya pohon-pohon yang dapat dijadikan obat-obatan seperti: masohi dan gaharu).

Juga rawa sagu alam yang panjang dan luas (pohonnya berduri) yang sampai hari ini tetap menjadi makanan pokok masyarakat setempat.  Daerah ini yang sekarang menjad incaran perusahan.

Kehadiran PT. Menara Group  

Saya akan membuat catatan pada bagian ini sebagai anak asli suku Auyu, dari Kampung METO, yang juga menjadi korban pencaplokan hutan oleh pihak perusahaan.

Sebagai warga negara (state), bangsa (nation) dan bagian dari masyarakat Indonesia, kami tahu bahwa seluruh wilayah negeri ini diatur dengan undang-undang, termasuk di dalamnya tentang pengelolaan hutan.

Kami juga percaya bahwa pemerintah Indonesia tidak akan menyengsarakan rakyatnya.

Namun, sejak awal tahun 2012,  ketika saya sudah tidak berada di Papua (karena mendapatkan tugas baru di Sulawesi Selatan), banyak masyarakat menelepon saya dengan penuh kegelisahan, karena ada perusahaan yang asal usulnya tidak jelas, dan kelihatannya begitu nekat dan cenderung tanpa kompromi dengan masyarakat setempat untuk mengeksploitasi hutan.

Bagaimana tidak gelisah, karena masyarakat setempat masih sangat tergantung dan hidup dari alam. Mereka gelisah karena merasa kehidupannya terancam dan bahkan akan menjadi kiamat  dunia.

Beberapa bulan kemudian, pihak perusahaan membawa 10 orang dari beberapa kampung, dikawal dua orang oknum anggota Polri dari Getentiri (maaf, nama mereka tidak saya catat) untuk ke Jakarta.

Sampai hari ini tidak jelas apa yang mereka urus di Jakarta? Saya sebagai orang asli Suku Auyu yang juga menjadi korban, melihat adanya niat buruk dari pihak perusahaan untuk meraup keuntungan dengan memanipulasi kebaikan hati rakyat setempat.

Orang suku Auyu memiliki sifat suka damai, tidak pernah ada urusan dengan separatism (zona damai), kenapa harus gunakan aparat keamanan? Kenapa ada anak-anak mereka yang pendidikannya cukup (termasuk saya) tidak dipanggil untuk berbicara mewakili rakyat?

Bukankah dalam bisnis tidak ada istilah UANG PERMISI, yang ada atau dikenal itu TRANSAKSI. Kalau permisi, berarti saya numpang lewat di wilayahmu dan tidak akan mengganggu, melakukan sesuatu  atau mengambil apa-apa.

Saya hanya permisi lewat, sehingga setelah saya lewat, engkau tetap aman seperti semula. Kalau transaksi, artinya saling hitung-menghitung atau tawar-menawar tentang untung-rugi antara masyarakat adat pemilik tanah dan perusahaan yang hendak bereksploitasi.

Yang dilakukan oleh perusahaan yang hendak bereksploitasi di tanah Auyu Kabupaten Boven Digul adalah PERMISI MASUK… !!! Logika bahasa apa yang dipakai di sini? Terkesan memanipulir masyarakat yang kurang berpendidikan dan baik hati, untuk meraup keuntungan.

Perusahaan bersangkutan yang hendak mengeksploitasi hutan alam yang tak tersentuh selama ini, telah melakukan pembayaran UANG PERMISI: 13,750 Milyar Rupiah.

Uang tersebut dibagikan kepada masyarakat berdasarkan kampung-kampung mereka, termasuk Kampus tempat saya besar dan dilahirkan, Kampung Meto. Adapun datanya sebagai berikut :

–         Jumat 19 April 20113  di Anggai                 Rp     4 Milyar

–         Sabtu 20 April 2013 di Getentiri                Rp     2,5 Milyar

–         Minggu 21 April 2013 di Hobnanggi          Rp     4 Milyar

–         Senin 22 April 2013 di Meto                             Rp     1,250 M

J  u m l a h             Rp   11,75 Milyar

Mengapa perusahaan begitu baik dan berani merogoh kocek 11,75 Milyar rupiah? Eksploitasi  dari perusahaan bersangkutan adalah perkebunan kelapa sawit, dan untuk membuka perkebunan kelapa sawit maka kayu-kayu alam yang begitu lebat, bahkan penuh dengan kayu-kayu nomor satu, mau di kemanakan?

Apakah perusahaan sudah bayar UANG PERMISI sehingga boleh ambil kayu-kayu dengan cuma-cuma? Bagaimana proses transaksi rakyat dan pihak perusahaan mengenai kekayaan alam yang ada di dalamnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini perlu direnungkan seara serius oleh semua pihak secara bijaksana, terutama oleh pihak perusahaan yang hendak malakukan kegiatan-eksploitasinya di seluruh wilayah hutan suku Auyu.

Juga kepada pemerintah Indonesia, baik pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi Papua, khususnya pemerintah Kabupaten Boven Digul agar memikirkan, mengatur dan mempertanggungjawabkan nasib rakyatnya.

*Penulis Anak asli suku Auyu dari kampung Meto, Kabupaten Boven Digoel (Papua Selatan). Anggota Tarekat MSC (Missionariorum Sacratissimi Cordis), sekarang melayani di Palopo (Sulawesi Selatan).

This entry was posted in Seputar Tanah Papua and tagged , , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.