Kehadiran Perusahaan dalam Pandangan Perempuan Malind di Kampung Baad, Distrik Animha, Merauke.

Mama-di-Alatep-300x170Semenjak tahun 2011, ada tiga perusahaan perkebunan tebu, yang bolak balik sosialisasi dan mendekati tokoh masyarakat di Kampung Baad, Distrik Animha dan Kampung Tambat, Distrik Tanah Miring. Perusahaan tersebut, yakni: PT. Anugerah Rezeki Nusantara (ARN) milik Wilmar International Group, PT. Papua Daya Bio Energi dan PT. Tebu Wahana Kreasi, milik Medcoagro Group.

Ketiga perusahaan tersebut menawarkan berbagai macam janji dan pendekatan dilakukan untuk mendapatkan tanah kawasan hutan dan lahan berawa yang ada diantara Kali Kumb hingga Kali Maro yang keseluruhan luas lahan sekitar 73.000 ha. Sebagian besar lahan tersebut berada di Kampung Baad, Distrik Animha dan Kampung Tabat, Distrik Tanah Miring, yang mana keduanya didiami oleh Orang Malind dari Suku Baad.

Tokoh-tokoh adat dari Kampung Baad sudah pernah dibawa oleh perusahaan ARN untuk berkeliling ke Lampung dan Sumatera Barat, katanya untuk studi banding mengunjungi areal perkebunan tebu dan kelapa sawit. Tapi tetap saja warga belum goyah.

Kaum perempuan “mama-mama” dari Kampung Baad yang terkadang hanya menjadi penonton dan pendengar dalam proses sosialisasi dan negosiasi lahan juga ikut “buang suara” berpendapat. Berikut petikan singkat diskusi kelompok bersama mama Christina Gebze dan mama-mama di Kampung Baad.

Bagaimana jika perusahaan menggunakan tanah?

“Kita ini mau dikemanakan. Sekarang kita mesti berpikir, dahulu kita bisa contohkan seperti ikan, rusa, kangguru, kasuari, semua foll (banyak) di dapat, tetapi karena masyarakat gunakan untuk keperluan, sudah habis. Apalagi kalau tanah kita jual, lebih habis lagi. Kita mau makan dimana dan mau berkebun dimana? Kita hanya punya tanah, hasil lain sudah tidak ada, ini akan membuat kita susah sekali”.

Perusahaan mengatakan akan sewa tanah dan berikan uang kompensasi, bagaimana pendapat mama?

“Saya dengar mereka bilang begitu, tapi tidak tahu berapa yang mereka minta, berapa hektar, berapa kilo, tapi tidak ada surat. Perempuan tidak pernah terlibat. Secara adat, mereka laki-laki yang biasanya ikut dalam pertemuan. Perempuan juga tidak bisa tanya kepada suami yang ikut pertemuan. Tugas perempuan biasanya memasak, memangkur sagu, mancing ikan, berkebun tanam kasbi (singkong), kelapa dan keladi.”

“Tanah tidak bisa dijual. Saya takut makan uang tanah, karena tanah ini siapa yang buat, bukan saya yang punya tangan. Kalau kita melahirkan atas persetujuan dalam dua orang, tetapi tanah siapa? Sebaiknya tidak jual tanah.”

Perempuan punya hak karena perempuan juga berperang untuk membantu saudaranya. Ada dusun disitu dengan batas tanah.

Perusahan akan sewa tanah selama 35 tahun?

“Lama sekali. Kita mungkin tidak mau jual lagi, bisa kita contohkan babi sudah habis, rusa habis, kangguru habis. Kalau tanah sudah dijual lalu kami tanam dimana. Perusahaan kami tidak terima. Contohnya, di Zanegi hutan sudah tidak ada.”

“Adat Orang Malind tidak bisa merusak alam, sekarang ini banyak yang merusak, tetapi bagi kami itu penghinaan, tetapi sekarang ini karena ada uang, padahal dilarang keras merusak. Orang Malind tidak boleh membunuh, kecuali dengan suanggi, itu lain lagi.

Apakah adat masih bisa berlangsung?

“Kita mau duduk (menyelenggarakan adat, pen) dimana, Kita lebih suka tanah itu begini saja, tidak perlu jual. Kita bisa panen ikan dan bisa menanam. Kalau sudah jual tanah, kami sedang bingung, dimana anak cucu. Kalau orang Baad ini kaya sekali pohon-pohon dari Kali Maro hingga Kampung, lalu ini sudah jual dan masyarakat tidak mempunyai apa-apa. Masyarakat berpikir mau lari kemana, siapa yang membantu”.

Apa yang dipikirkan mama untuk anak-anak?

“Anak-anak kalau sekolah mungkin bisa mengangkat kehidupan masyarakat. Kalau kami lihat disini sekolah belum jalan, belum ada satu orang pun di Kali Kumb yang jadi sarjana, mungkin juga ada tapi hanya satu dua orang saja. Padahal sekolah sudah buka sejak 1930 an, tapi terhitung betul orang yang sarjana. Kalau sudah ada sarjana mungkin mereka bisa tahu jalur-jalur untuk membantu masyarakat.”

“Anak-anak disekolahkan, supaya mereka bisa membela tempat ini, supaya tanah tidak dijual-jual. Kalau tidak (tidak sekolah, pen) tanah habis dijual.

Perusahaan akan berikan bantuan pendidikan?

Saya tidak percaya, katanya mereka akan berikan bantuan, mereka minta kita buka rekening, tetapi tidak pernah terjadi.

Sumber: Pusaka http://pusaka.or.id/kehadiran-perusahaan-dalam-pandangan-perempuan-malind-di-kampung-baad-distrik-animha-merauke/

This entry was posted in Berita Merauke and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.