Siaran Pers Bersama: Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional dan HuMa

Pemerintah Harus Mempercepat Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat dan Komunitas Lokal dalam Proses Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Jakarta, 4 Oktober 2013. Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional (KM DKN) telah mengadakan pertemuan pada akhir September lalu untuk membahas perkembangan kebijakan kehutanan terkini terkait hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini dipinggirkan dalam penguasaan, pengelolaan, dan penikmatan manfaat hutan di Indonesia. Tiga isu utama yang didiskusikan adalah percepatan pengukuhan kawasan hutan (implementasi Putusan MK No. 45/2011 dan Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga), pengakuan dan pengeluaran hutan adat dari kawasan hutan negara (implementasi Putusan MK No. 35/2012), dan penyelesaian konflik kehutanan.

Kamar Masyarakat menyatakan keprihatinan atas ketidakadilan kronis yang justru semakin akut ketika Indonesia memasuki era desentralisasi dan pasar bebas. Kehidupan masyarakat dibayangi ketidakpastian karena penguasaan hutan oleh negara yang sewenang-wenang dan tidak memperhatikan HAM.

Akhir-akhir ini, pemerintah justru menambah kekisruhan tersebut melalui MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Nasional Indonesia) yang telah memancing penolakan besar-besaran dari masyarakat adat dan komunitas lokal, misalnya penolakan masyarakat adat terhadap proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Merauke, PLTA Urumuka dan Memberamo di Papua, serta penolakan masyarakat Kalteng terhadap ditetapkannya Kalimantan sebagai pusat eksploitasi tambang besar-besaran. Hal ini mengarah pada meruncingnya konflik antara masyarakat adat dan desa dengan perusahaan dan pemerintah. Hingga 2012 saja, HuMa telah mencatat 72 konflik kehutanan yang masih berlangsung, yang mencakup wilayah lebih dari 2 juta hektar dan telah menelan banyak korban jiwa.

Kamar Masyarakat menyambut baik Putusan MK 45/2011 yang menganulir wewenang sepihak negara dalam menetapkan kawasan hutan secara sewenang-wenang dan “asal tunjuk.” Kamar Masyarakat juga mendukung Nota Kesepakatan Bersama di antara 12 Kementerian dan Lembaga untuk mempercepat pengukuhan kawasan hutan, pencegahan korupsi, dan penyelesaian konflik serta Putusan MK 35/2012 yang menegaskan eksistensi hutan adat. Dengan berbagai perkembangan kebijakan tersebut, masyarakat melihat adanya peluang untuk mendapatkan kembali hak mereka atas kawasan hutan di desa dan atau wilayah adatnya.

Munadi Kilkoda, perwakilan Kamar Masyarakat dari Regio Sunda Kecil dan Maluku mengatakan, “Pasca-Putusan 35/2012, masyarakat adat di berbagai wilayah telah mulai memetakan dan mengklaim hutan adat masing-masing, bahkan telah mulai merehabilitasi hutan-hutan adat yang telah rusak.” Selain itu, masyarakat desa dan komunitas lokal di berbagai daerah pun telah bergerak untuk mendiskusikan proses tata batas hutan di tingkat kampung.

Akan tetapi, di tengah meningkatnya harapan dan aspirasi politik masyarakat menjelang 2014, Kamar Masyarakat DKN menilai bahwa pemerintah masih terlalu lamban untuk menindaklanjuti Putusan MK 45/2011 dan Putusan MK 35/2012. Kamar Masyarakat belum melihat dampak positif yang nyata di lapangan terkait kebijakan-kebijakan tersebut dan menuntut agar pemenuhan hak-hak konstitusional masyarakat adat dan komunitas lokal dalam proses-proses tersebut dipercepat, tidak hanya di level pusat tapi juga hingga ke tingkat lokal. Oleh karena itu, Kamar Masyarakat DKN menuntut pemerintah untuk segera mensosialisasikan hasil putusan MK 35, MK 45, dan NKB 12 K/L kepada seluruh pemangku kepentingan hingga ke tingkat kampung dan segera membentuk tim pecepatan pengukuhan kawasan hutan dan pengeluaran hutan adat dari hutan negara di berbagai level hingga level tapak dengan didukung oleh anggaran yang memadai.

“Pemerintah harus segera memulihkan hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alam lainnya, termasuk hutan adat,” ujar Hadi Irawan, Anggota Utusan Kamar dari Regio Kalimantan. “Hal itu dapat dimulai dari segera mengintegrasikan peta-peta wilayah masyarakat adat dan peta partisipatif yang dihasilkan oleh desa yang telah diserahkan kepada Badan Informasi Geospasial ke dalam peta nasional,” tambahnya.

“Di samping itu, pemerintah juga harus meninjau kembali kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seperti MP3EI yang berpotensi merusak lingkungan dan menimbulkan konflik baru,” ujar George Weyasu, perwakilan Kamar Masyarakat dari Regio Papua, “termasuk menegosiasikan ulang berbagai kontrak pengelolaan SDA seperti kontrak Freeport dan British Petroleum di Papua dan Papua Barat dengan melibatkan masyarakat adat dan menjunjung prinsip-prinsip FPIC.”

“Pemerintah juga harus mempertimbangkan kerentanan wilayah yang berbeda dari setiap wilayah, misalnya kondisi pulau–pulau kecil seperti di regio Sunda Kecil, Maluku, Bali, dan Nusa-Tenggara, yang kerentanannya lebih tinggi, lebih-lebih dengan adanya ancaman perubahan iklim,” ujar Kamardi, Anggota Utusan Kamar dari Regio Bali-Nusra.

Khusus mengenai pengelolaan hutan di Pulau Jawa, Andrianto, perwakilan Kamar Masyarakat dari Regio Jawa menyatakan bahwa pemerintah harus mengaudit penguasaan dan pengelolaan hutan di Jawa karena telah memicu konflik yang tidak berkesudahan dan memiskinkan masyarakat. “Undang-Undang Kehutanan seharusnya berlaku nasional, termasuk untuk kawasan hutan di Jawa. Procces Verbaal tata batas kawasan hutan yang disusun pada zaman Belanda tidak sah secara hukum nasional sehingga pemerintah harus memoratorium penguasaan kawasan hutan oleh Perhutani dan melakukan penatabatasan ulang kawasan hutan dengan menghormati hak-hak masyarakat,” ujarnya.

Keseluruhan proses tersebut harus dijalankan dengan mengutamakan pola konsultatif daripada konfrontatif untuk mempertemukan berbagai pandangan yang berbeda. “Masyarakat adat dan komunitas lokal telah memiliki pengetahuan dan tertib sosial tersendiri untuk mengelola dan melindungi hutan. Kesemuanya berlandaskan prinsip keadilan dan keberlanjutan,” ujar Andreas Lagimpu, perwakilan Kamar Masyarakat dari Regio Sulawesi. Secara lengkap, berikut tuntutan Kamar Masyarakat DKN kepada pemerintah yang berkuasa saat ini dan juga para calon penguasa yang akan bertarung di pemilihan umum 2014, baik eksekutif maupun legislatif.

Kepada Pemerintah saat ini, Kamar Masyarakat DKN menuntut agar pemerintah:

1) Menjalankan secara konsisten mandat TAP MPR IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan wilayah serta hak –hak masyarakat/masyarakat hukum adat

2) Memperkuat hak-hak masyarakat/masyarakat hukum adat atas hutan di Indonesia melalui perubahan UU 41/1999, perubahan UU Konservasi, percepatan pengukuhan kawasan hutan/NKB 12 K/L dan percepatan implementasi Putusan MK No 35 tahun 2012

3) Mengimplementasikan Putusan MK No. 45 tahun 2011 melalui audit (hukum, ekonomi dan Hak Asasi Manusia) atas tata kuasa dan tata kelola hutan di Jawa sebagai fondasi untuk memperkuat pemangkuan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat.

4) Mengimplementasikan Putusan MK No. 35 Tahun 2011 melalui penerbitan Inpres yang memerintahkan Kementerian terkait serta pemerintah daerah untuk mempercepat identifikasi dan pengakuan masyarakat hukum adat beserta wilayah dan hak-haknya.

5) Menerbitkan kebijakan terkait dengan resolusi konflik yang mengutamakan pendekatan dialogis.

6) Meninjau kembali proyek-proyek pembangunan yang ditenggarai akan meminggirkan masyarakat, baik dalam proyek-proyek pembangunan ekonomi biasa seperti yang tercantum dalam MP3EI maupun proyek-proyek pembangunan yang menumpang kepada isu Green Economy seperti proyek-proyek yang terkait dengan perubahan iklim.

7) Mengkaji dan menata ulang kontrak-kontrak dan perizinan eksploitasi sumber daya alam yang tidak adil, menciptakan konflik sosial dan kerusakan lingkungan.

Kepada Partai-Partai Politik Kontestan Pemilu 2014 dan Calon-Calon Presiden

Menjadikan tuntutan Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional ini sebagai program politik utama.

***

Catatan:

Kamar Masyarakat DKN adalah kelompok pemangku kepentingan yang mewakili masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Di dalam kamar masyarakat terdapat 7 anggota Utusan Kamar (AUK) yang berasal dari 7 regio yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan Balinusra. Dinamika permasalahan di masyarakat terkait kehutanan dibahas dan diputuskan melalui kamar ini.

Kontak:

1) Leonard Imbiri (Ketua Kamar Masyarakat DKN, imbirijerry@gmail.com), 081248820984,

2) Jomi Suhendri (Anggota Utusan Kamar Regio Sumatera), jomi_suhendri@yahoo.com, 081374557303

3) Hadi Irawan (Anggota Utusan Kamar Regio Kalimantan), hadiirawan_88@yahoo.com, 081250978763

4) Sungging Septivianto (Anggota Utusan Kamar Regio Jawa), sungging.s@gmail.com, 085878724124

5) Andreas Lagimpu (Anggota Utusan Kamar Regio Sulawesi), andreas_yth2006@yahoo.com, 081341047373

6) Kamardi (Anggota Utusan Kamar Regio Bali-Nusra), kamardi@gmail.com, 085338056255

7) Anggalia Putri, Koordinator Program Kehutanan, Perubahan Iklim, dan Hak Komunitas Perkumpulan HuMa, anggaliaputri@gmail.com, 08562118997

Sumber: HuMa http://huma.or.id/kehutanan-dan-perubahan-iklim/siaran-pers-bersama-kamar-masyarakat-dewan-kehutanan-nasional-dan-huma-pemerintah-harus-mempercepat-pemenuhan-hak-hak-konstitusional-masyarakat-hukum-adat-dan-komunitas-lokal-dalam-proses-pe.html

This entry was posted in Uncategorized and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.