Tanggal 16 Oktober adalah Hari Pangan Sedunia Tahun ini hari pangan diperingati oleh beberapa organisasi dalam laporan atau siaran pers tentang MIFEE
Laporan pertama di bawah, dari Forest People’s Programme, Sawit Watch dan Pusaka, mengumumkan penerbitan sebuah laporan berjudul “Manis dan Pahitnya Tebu”. Laporan ini hasil kunjungan lapangan bulan Mei lalu untuk meneliti sikap masyarakat kampung terhadap Wilmar, salah satu perusahaan MIFEE. Laporan ini membahas bukti bahwa Wilmar belum meluncurkan proses Persetujuan secara bebas, didahulukan dan diinformasikan (Free Prior Informed Consent) yang melibatkan seluruh masyarakat. Apa saja yang menjadi langkah-langkah untuk menjalankan FPIC dalam konteks Papua?
Beberapa organisasi lain, termasuk beberapa LSM dan jaringan terbesar di Indonesia, juga bergabung dengan ketiga organisasi tersebut untuk siaran pers kedua. Mereka mendesak pemerintah Indonesia membatalkan proyek MIFEE, namun juga membahas MIFEE dalam konteks sejumlah persoalan terkait dengan pangan yang ada di Indonesia saat ini yang cenderung berpihak kepada korporasi dan pembangunan padat modal. Indonesia harus melampaui paradigma ini dan mengakui kebutuhan untuk “kedaulatan pangan” yang menghargai petani, produksi pangan rakyat dan kemandirian.
“Manis dan Pahitnya Tebu”: Suara Masyarakat Adat Malind dari Merauke, Papua
Publikasi ini diluncurkan pada peringataan Hari Pangan Sedunia, yang ditandai oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tema “Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi”. Secara khusus, laporan ini berusaha untuk memberi ilham pada salah satu tujuan utama Hari Pangan Sedunia, yaitu untuk mendorong partisipasi masyarakat pedesaan, khususnya kaum perempuan dan mereka yang memiliki kewenangan paling kecil, dalam keputusan dan kegiatan yang mempengaruhi kondisi hidup mereka.
Laporan yang mengejutkan ini berisi hasil studi lapangan rinci yang pertama tentang pengalaman masyarakat dengan proyek perkebunan seluas 2 juta hektar pemerintah Indonesia yang bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Studi ini menunjukkan bahwa MIFEE telah merusak swasembada masyarakat setempat, yang memunculkan keraguan akan kebijakan nasional pemerintah di bidang ketahanan pangan yang didasarkan pada dukungan terhadap perusahaan pertanian skala besar dengan mengorbankan masyarakat setempat.
Temuan-temuan penting dari laporan ini adalah:
- Perusahaan tebu, kelapa sawit dan kayu yang beroperasi di Merauke gagal menghormati hak masyarakat adat Malind untuk tidak memberikan persetujuan mereka terhadap konversi lahan, dan masyarakat memberikan persetujuan mereka terhadap konversi lahan berdasarkan informasi yang menyesatkan dan terbatasnya kebebasan memilih
- Peraturan perundangan nasional dan lokal tidak dilaksanakan atau ditafsirkan sesuai dengan kepentingan perusahaan dan pemerintah, atau secara inheren bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional, dan perlu segera direformasi
- Ketahanan pangan masyarakat Malind sangat terancam oleh maraknya konversi lahan menjadi perkebunan monokultur tanpa adanya jaminan perlindungan yang memadai terhadap mata pencaharian mereka yang berbasis hutan, baik dari negara atau perusahaan
Laporan ini mengkaji sejauh mana hak atas Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC) masyarakat adat Malind dari Merauke di Provinsi Papua, Indonesia, dihormati oleh perusahaan tebu PT Anugrah Rejeki Nusantara (PT ARN) milik Wilmar, dalam konteks proyek MIFEE.
Temuan-temuan yang didapat menunjukkan bahwa apabila masyarakat setempat memberikan persetujuan mereka atas konversi tanah adat mereka, hal ini sebagian besar didasarkan pada informasi yang tidak memadai dan sepihak, janji-janji bantuan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tidak terjamin, persyaratan kompensasi yang dipaksakan, kontrak yang tidak jelas atau tidak ada, dan nyaris tanpa ada kebebasan untuk memilih dan berekspresi. Peraturan perundangan nasional dan lokal tidak dilaksanakan, atau ditafsirkan sesuai dengan kepentingan perusahaan dan pemerintah, atau secara inheren bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional, dan amat perlu direformasi.
Keprihatinan khusus ditujukan pada ketahanan pangan masyarakat adat Malind yang terancam mengingat konversi tanah adat mereka yang luas menjadi perkebunan monokultur, serta konsekuensi-konsekuensi dari transformasi yang cepat dan dipaksakan ini terhadap mata pencaharian, budaya, identitas dan kelangsungan hidup mereka sebagai suatu masyarakat.
Temuan-temuan dalam laporan ini digunakan untuk mendukung pengajuan pengaduan ketiga masyarakat sipil di bawah prosedur aksi mendesak dan peringatan dini Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang telah menyebabkan munculnya rekomendasi lebih lanjut dari Komite CERD kepada pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pengakuan dan penghormatan yang lebih baik terhadap hak-hak masyarakat adat Malind.
Rekomendasi:
- Pemerintah Indonesia agar segera menghentikan setiap bagian dari proyek MIFEE yang dapat mengancam kelangsungan budaya masyarakat yang terkena dampak dan memberikan dukungan segera kepada masyarakat adat – yang dirancang dengan partisipasi dan persetujuan mereka – yang telah terampas sumber penghidupannya
- Peraturan perundangan nasional dan daerah perlu direvisi dan diselaraskan dengan instrumen HAM yang ada, termasuk dalam kaitannya dengan hak masyarakat adat di Papua untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan mereka terhadap setiap proyek yang mempengaruhi tanah, wilayah dan sumber daya mereka
- PT ARN dan perusahaan lainnya yang beroperasi di Papua harus memberikan informasi yang komprehensif dan tidak memihak dalam jumlah yang memadai kepada masyarakat sebelum proyek apapun akan dilaksanakan, dalam kondisi di mana masyarakat bebas untuk mengekspresikan diri, dan berkonsultasi dengan mereka dengan cara yang menghormati hak mereka untuk tidak memberikan persetujuan mereka.
Laporan ini tersedia dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
Surat Pernyataan Pers:
Wujudkan Kedaulatan Pangan Rakyat: Hentikan Proyek MIFEE di Papua
Hari ini, 16 Oktober 2013, merupakan hari Pangan Sedunia. FAO memberikan tema “Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi”.
Hari ini, faktanya sistem ketahanan pangan dan gizi di Indonesia masih carut marut yang ditandai dengan meningkat dan mudahnya berubah harga-harga pangan, banjirnya produk pangan impor, sulitnya mengakses mendapatkan produk pangan yang berkwalitas dan murah, prioritas pembangunan pangan berbasis pada korporasi bermodal besar dibanding pertanian ataupun perkebunan rakyat, tanaman komersial untuk tujuan ekspor dan mengabaikan pangan lokal, praktik tengkulak dan korporasi yang memiskinkan dan menggantungkan kehidupan petani, dan sebagainya.
Fakta-fakta tersebut menggambarkan bahwa pemerintah masih belum beranjak dari paradigma “ketahanan pangan”. Hal ini berakibat pada semakin rentan terpinggirkan dan dilemahkan system pangan Indonesia oleh sistem pasar yang dikuasai dan dikendalikan oleh korporasi. Selain itu juga dikarenakan adanya kebijakan pemerintah pro pada korporasi dibandingkan melindungi dan mengembangkan usaha produksi pangan rakyat, membangun dan menyediakan pemenuhan pangan yang adil dan mudah diakses oleh rakyat, serta mengembangkan dan memanfaatkan potensi pangan lokal sesuai dengan UU Pangan yaitu memenuhi kebutuhan pangan secara berdaulat dan mandiri.
Fakta lain yang saling terkait, yakni meningkatkan alih fungsi kawasan hutan untuk proyek kebutuhan pangan dan energy berbasiskan investasi skala luas, seperti: hutan tanaman, perkebunan sawit, perkebunan tebu, perkebunan dan tanaman pangan lainnya. Pada kenyataannya proyek-proyek yang bertujuan untuk bukan hanya pangan saja, melainkan tanaman ekspor dan pemenuhan industri energy, telah menyebabkan kerusakan hutan (deforestasi), bencana ekologi dan pemanasan iklim global. Sehingga pada gilirannya mengancam keberlanjutan sistem ketahanan pangan.
Di Merauke, Provinsi Papua, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pembangunan yang sangat ambisius untuk pengembangan pangan dan energi nasional, yakni: MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), yang berbasiskan pada investasi skala besar, pengetahuan teknologi dan organisasi modern. Lebih dari 80 perusahaan swasta mendapatkan Izin Lokasi dengan menguasai lahan berupa kawasan hutan, rawa, padang savana, yang luasnya lebih dari 2,5 juta hektar untuk investasi perkebunan tanaman tebu, kelapa sawit, hutan tanaman dan tanaman pangan lainnya.
Proyek raksasa MIFEE yang dilakukan tanpa ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis telah menimbulkan dampak perubahan berarti dan mengancam keberlanjutan kemampuan kemandirian pemenuhan pangan Orang Malind, yang sebagian besar berdiam disekitar lokasi proyek MIFEE tersebut.
Orang Malind yang hidup dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan terpaksa kehilangan sumber mata pencaharian, semakin sulit untuk mendapatkan hewan dan sumber pangan dari hutan, sehingga menurunkan pendapatan dan kwalitas hidup masyarakat. Mereka kehilangan alat produksi dan kemandirian dalam berusaha, berubah menjadi tergantung pada kebutuhan pokok yang dibeli pada kios dan toko, yang nilainya mahal dan tidak terjangkau dari upah rendah sebagai buruh perusahaan.
Meningkatnya alih fungsi kawasan hutan dan tidak terkontrolnya aktifitas penebangan hutan, penggusuran rawa, padang dan sungai, merubah fungsi-fungsi ekologi, hidrologi dan terganggungnya kehidupan habitat, pencemaran air sungai dan rawa, pada gilirannya menurunkan daya dukung lingkungan dan merugikan masyarakat. Dampak penting lainnya adalah meningkatnya kasus kesulitan mengakses pangan, air bersih dan kasus busung lapar. Pada tahun 2013 saja, teridentifikasi sudah ada 5 orang anak yang meninggal di Kampung Zanegi, Distrik Animha, yang diduga karena busung lapar.
Demikian pula, meningkatnya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan TNI dalam memaksakan masyarakat untuk melepaskan tanah bagi kepentingan perusahaan dan pembangunan infrastruktur pendukung proyek MIFEE.
Karenanya kami memandang perlu merekomendasikan dan mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah kebijakan guna mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia dan menghentikan segera setiap bagian proyek MIFEE yang mengancam kelangsungan hidup Orang Marind, sebagai berikut:
1. Melakukan review, evaluasi dan menata setiap kebijakan dan izin-izin perusahaan yang menguasai alat produksi pangan, tanah dan kekayaan alam lainnya, infrastruktur, pasar dan kelembagan yang menyangkut hajat hidup orang banyak untuk dikembalikan, dikelola, dikembangkan dan digunakan oleh rakyat.
2. Mendesak pemerintah Indonesia untuk melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat, petani, nelayan dan penduduk pedesaan, untuk dapat leluasa mempertahankan dan mengembangkan hidup mereka dalam pemenuhan, pemberdayaan dan pengembangan pangan berbasiskan pada pengetahuan, sistem sosial budaya dan hak-hak mereka secara adil dan berkelanjutan.
3. Mendesak pemerintah Indonesia untuk mendata, mendukung, mempromosikan dan mengembangkan sumber-sumber pangan rakyat yang dikelola oleh rakyat sendiri.
4. Merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk meminta dan mengabulkan permintaan kunjungan lapangan dari Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak atas Pangan dan Bentuk-bentuk Kontemporer Perbudakan agar mendukung pemenuhan kewajiban internasional, termasuk yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat di Papua.
Secara khusus dalam surat ini, kami luncurkan pula Laporan tentang Proyek Perkebunan Tebu PT. ARN, salah satu perusahaan milik Wilmar International, yang berinvestasi dalam skema MIFEE. Laporan ini berjudul “Manis dan pahitnya tebu”: Suara Masyarakat adat Malind dari Merauke, Papua, yang diproduksi oleh Forest Peoples Programme, Pusaka dan Sawit Watch, tahun 2013.
Laporan ini berusaha untuk memberi ilham pada salah satu tujuan utama Hari Pangan Sedunia, yaitu untuk mendorong partisipasi masyarakat pedesaan, khususnya kaum perempuan dan mereka yang memiliki kewenangan paling kecil, dalam keputusan dan kegiatan yang mempengaruhi kondisi hidup mereka.
Terima Kasih
Press Release ini dikeluarkan oleh:
1. WALHI Eksekutif Nasional, Jakarta
2. Forest Peoples Programme, UK
3. SAWIT WATCH, Bogor
4. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jakarta
5. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta
6. PUSAKA, Jakarta
7. HUMA, Jakarta
8. Greenpeace Indonesia, Jakarta
9. Transparansi untuk Keadilan Indonesia, Jakarta
10. Vivat Indonesia, Jakarta
11. FORMASI SSUMAWOMA, Merauke
12. Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, Jakarta
13. Sarekat Hijau Indonesia, Jakarta.