Tiga Tahun MIFEE (bagian 2): Dampak atas menyebarnya Perkebunan yang Mengancam desa-desa.

looking over BIA concessionSusah membayangkan betapa terpencilnya desa-desa di hutan Merauke. Tak satu pun area di Indonesia ini yang jaraknya lebih jauh dari Jakarta – sekitar 3700 kilometer jika ditarik seperti garis lurus. Hutan sepanjang 662 km dan gunung tinggi menjulang lah yang memisahkan Merauke dari ibukota Papua, Jayapura, yang sekaligus menjadi pusat dari banyak gerakan sosial Papua Barat. Kebanyakan desanya tidak dapat dijangkau dengan jalan darat, serta tidak terdapat listrik ataupun jaringan telekomunikasi. Masyarakat setempat yang kebanyakan diidentifikasi dalam kelompok sub etnis Malind, biasanya memenuhi kebutuhannya dari hasil hutan, padang rumput dan rawa-rawa yang ada di sekitar desa.

Ketika berbagai kepentingan politik lokal dan nasional bertemu dan menghasilkan keputusan untuk menyiapkan area tersebut untuk dikembangkan secara intensif sebagai pusat produksi makanan dan energi yang baru, itu artinya masyarakat Malind menghadapi ancaman keberlangsungan budaya mereka. Sejak program MIFEE secara resmi diperkenalkan tiga tahun lalu, banyak perusahaan yang kemudian mencari ijin perkebunan dan berusaha menguasai tanah ulayat masyarakat Malind.

Karena wilayahnya yang sangat terpencil dan ada banyak perusahaan dan desa terdampak, efek yang dirasakan orang-orang Malind dapat terus terjadi tanpa diketahui oleh orang-orang di luar. Karena itulah, untuk membangun solidaritas dengan masyarakat Malind, yang sedang menghadapi konflik atas ruang hidupnya, adalah dengan memastikan bahwa keterpencilan area masyarakat Malind tidak memudahkan perusahaan-perusahaan masuk dengan paksaan atau mengabaikan hak masyarakat, serta membuat suara-suara masyarakat Malind didengarkan dunia.

Itulah yang selalu diusahakan oleh website awasMIFEE sejak awal diluncurkannya pada awal 2012. Meski kami juga menyadari bahwa tidak semua pembaca sempat mengikuti dengan serius semua artikel yang ditampilkan di blog ini, kiranya hal itu bisa diimbangi dengan menyediakan ringkasan yang menunjukkan cara-cara MIFEE merusak masyarakat.

Perampasan Lahan

Dibawah hukum Papua, masyarakat adat memiliki hak atas tanah warisnya, yang dikenal dengan hak ulayat. Jika sebuah perusahaan ingin menggunakan lahan tersebut, yang harus mereka lakukan pertama ialah meminta ijin dari pemegang hak ulayat. Menurut tradisi Malind, marga yang berbeda, masing-masing memegang haknya di area yang berbeda-beda, yang menjadi lahan tempat mereka berburu, serta menjadi tempat dimana mereka mencari sumber makanan lain. Tiap marga memiliki ketua, dan perusahaan biasanya berusaha mendapatkan tanda tangan dari ketua marga tersebut, terkadang dengan cara-cara yang kotor.

Beberapa perusahaan yang pertama datang telah banyak melakukan kecurangan. Semisal yang terjadi di desa Zanegi pada tahun 2009. Medco memberikan 300 juta rupiah pada warga desa dan ‘selembar piagam penghargaan.’ Dari situ warga membacanya sebagai langkah yang baik. Warga tidak menyadari bahwa surat yang mereka tandatangani akan menghapus hak mereka atas tanah, serta menyetujui untuk diberikan ganti rugi atas kayu sebesar 2500 rupiah per meter kubik. Harga yang sangat kecil jika dibandingkan dengan yang mereka peroleh ketika menjual batang kayu ke pedagang kayu secara perorangan.

Di tempat lain, perusahaan telah beberapa kali berusaha menipu masyarakat dengan membuat istilah uang penghargaan, uang ketok pintu, uang tali asih, dan lain sebagainya. Warga dibuat percaya bahwa uang yang diberikan ialah sebagai tanda dukungan, bukan sebagai kesepakatan hukum atas lahan. Persitiwa semacam ini telah terjadi di beberapa desa seperti di Kaliki dan Domande, yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Rajawali Group. Serta di desa Bupul dan Muting yang dilakukan oleh perusahaan yang termasuk dalam perusahaan AMS Ganda Group.

taliasihelikobel

Selain itu terdapat cara paksa yang sedikit berbeda, yang bisa dilihat di Kampung Selor dan Kampung Onggari. Di kedua kampung tersebut, masyarakat setempat mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan telah membawa para ketua marga ke kota Merauke. Para ketua marga tersebut kemudian dibawa ke hotel dan diberi uang untuk membeli alkohol serta difasilitasi pekerja seks. Kemudian, ketika mereka sudah cukup mabuk, mereka akan diminta untuk menandatangani surat perjanjian pembebasan tanah.

Meski seluruh desa akan kalah jika hutan dibabat, biasanya perusahaan hanya berusaha untuk meyakinkan para ketua komunitasnya (baik kepala kampung maupun kepala adat dan ketua marga) untuk menandatangani pembebasan lahan. Para pemimpin komunitas ini telah diterbangkan oleh perusahaan untuk mengunjungi perkebunan-perkebunan lain, salah satu contohnya ialah Wilmar, yang pernah membawa beberapa tokoh masyarakat hingga ke Sumatra.

Perusahaan juga telah membuat janji untuk membangun berbagai fasilitas desa, dan jarang yang terlaksana. Biasanya, daftar yang dijanjikan terdiri dari pembangunan sekolah, rumah sakit, gereja, perumahan, jalan, listrik dan fasilitas olah raga. Namun, ketika kesepakatan sudah ditandatangani, fasilitas baru urung terwujud. Atau hanya satu gereja yang dibangun.

Ketika perusahaan lain akan membuat kesepakatan, masyarakat lain telah mendengar apa yang terjadi di Zanegi dan menjadi lebih waspada. Beberapa desa kemudian memutuskan untuk meminta kompensasi yang mereka anggap layak atas lahan mereka, berdasar kebutuhan masyarakatnya selama 35 tahun umur hidup perkebunan. Contohnya pada bulan Mei 2012, empat desa menyatakan bahwa mereka hanya akan memberi ijin PT Dongin Prabhawa, anak perusahaan dari Korindo, untuk beroperasi jika perusahaan memberi uang sebesar 100 juta rupiah. Dengan demikian, suatu perusahaan perkebunan tidak sanggup membayarnya. Permintaan atas kompensasi yang tinggi ini bisa dibaca sebagai strategi masyarakat untuk menolak rencana perkebunan, namun strategi dari komunitas yang sudah tidak percaya bahwa masih ada kesempatan untuk sama sekali menolak untuk menjual tanah mereka serta mencegah perusahaan untuk masuk. Saat ini, beberapa kampung atau marga sudah sepakat untuk melepaskan tanahnya kepada PT Dongin Prabawa namun masih ada marga lain yang menolak.

Penggunaan cara paksa ini menjadi lebih kelihatan mengingat tiap perusahaan yang masuk biasanya didampingi oleh militer ataupun Brimob, yang selalu ada setiap perusahaan melakukan sosialisasi pada masyarakat ataupun ketika melakukan negosiasi untuk proses pembebasan lahan. Bahkan ketika para tentara tersebut hadir hanya sebagai pengawal ataupun saksi yang tidak secara langsung mengancam warga, kehadiran mereka itu pun cukup intimidatif dan menciptakan kesan bahwa menolak rencana perusahaan merupakan pilihan yang tidak realistis.

Pada kasus lain, ancaman tentara lebih eksplisit. Jika kita masih ingat cara perusahaan perkebunan mendapatkan lahan di Sumatra pada zaman Suharto, yang mengancam orang yang dianggap komunis, MIFEE juga demikian. Dari sinilah perusahaan MIFEE disebut-sebut telah melakukan politisasi atas penolakan warga, dengan mengancam akan dituduh dah diperlakukan sebagai separatis OPM. Kekerasan yang dilakukan oleh tentara serta tekanan yang diberikan pada siapa saja yang dituduh sebagai anggota OPM di Papua Barat sudah diketahui oleh banyak orang. Hal itu sudah dianggap cukup menyebarkan kecemasan. Tuduhan semacam itu telah disebarkan oleh konsesi dari salah satu perusahaan besar kelapa sawit, dimana para pengawalnya terdiri dari para anggota Kopassus. Dalam kasus lain baru-baru ini PT Mayora membuat kepanikan di Kampung Yowid dengan membuat tuduhan serupa. Ketika para perempuan dan anak-anak sedang bersiap untuk mengungsi ke hutan, para tetua desa merasa mereka tidak punya pilihan lain selain menandatangani surat yang sudah disiapkan oleh PT Mayora dihadapan mereka.

Kompensasi yang telah dibayarkan oleh perusahaan jumlahnya beragam, namun akhir-akhir ini berkisar antara Rp. 300.000,- per hektar. Ketika sudah dibagikan ke semua anggota keluarga dalam marga, jumlah tersebut tidaklah sebanding dengan kehilangan lahan yang harus mereka tanggung untuk melanjutkan hidupnya. Bahkan lebih buruk, karena uang yang diterima secara sekaligus, biasanya akan habis dengan cepat.

Kemudian kita bisa melihat bagaimana masyarakat setempat direndahkan. Siti Hartati Murdaya, salah satu pemilik dari perusahaan MIFEE baru saja dihukum karena kasus korupsi, yakni penyuapan Bupati supaya mendapat ijin atas 4500 hektar untuk perkebunan kelapa sawit di Buol, Sulawesi. Demi mendapatkan ijin, ia memberikan uang sebesar satu miliar rupiah, yang dihitung dari 222.000 rupiah per hektar. Perusahaannya, Hardaya Inti Plantations, masih belum mencapai penyelesaian dengan warga di Merauke, namun, perusahaan lain telah membayar maksimal 300.000 Rupiah per hektar, tidak jauh lebih banyak daripada uang suap Siti Hardaya Murdaya sudah bayar kepada satu orang Bupati saja di Buol.

Pemiskinan

Sejak perusahaan mulai masuk, masyarakat setempat mulai belajar tentang kemiskinan. Sepanjang sejarah, hutan sudah ada sejak dulu, dengan sagu berlimpah yang menjadi sumber makanan dan binatang hutan yang mudah diburu. Dengan menjual hasil hutan seperti gambir dan damar, warga bisa mendapat uang untuk membeli keperluan lain. Ketika hutan hilang, makanan menjadi sulit dicari, ironisnya hal ini terjadi sebagai akibat dari suatu proyek yang direncanakan untuk menjamin keamanan pangan, dan masyarakat pun menjadi ketergantungan pada ekonomi uang.

Kemiskinan terutama terlihat jelas di desa Zanegi. Ketika hutan hilang, makanan pun sulit dicari. Ketika diwawancarai untuk film “Mama Malind Su Hilang,” Moses Kaize mengatakan bahwa sebelum Medco masuk, pemburu bisa mendapatkan binatang buruan dalam waktu satu jam. Kini, untuk berburu rusa perlu waktu sehari atau dua hari. Bahkan untuk mencari sagu, warga harus melakukan perjalanan dan bermalam di tenda sementara, karena hutan sagunya dihancurkan oleh perusahaan yang pernah berjanji untuk menjaga hutan tersebut. Desa sering sepi karena banyak yang pergi. Mereka yang bekerja untuk perusahaan tidak memiliki jaminan. Mereka bekerja sebagai buruh harian lepas dan dengan gaji yang hanya cukup untuk makan satu keluarga, tidak lebih.

Anak-anak banyak yang dilaporkan menderita akibat gizi buruk, dan kondisi ini telah meningkatkan tajam sejak perusahaan mulai masuk. Di semester pertama tahun 2013, lima anak kecil meninggal karena gizi buruk atau infeksi saluran pernapasan di desa Zanegi.

Baru saja ini ada laporan bahwa Medco sudah mulai bertanggungjawab atas bencana yang diakibatkannya di desa Zanegi dan Boepe. Perusahaan tersebut sudah mulai memberi bantuan pada para guru dan memberikan jaminan kesehatan, serta memberikan dukungan ekonomi dengan menyediakan lahan serta benih dan pupuk bagi orang yang ingin menumbuhkan sayur yang bisa mereka jual ke perusahaan.

Proses pemiskinan sudah mulai meski hutan belum ditebang. Dengan dibangunnya infrastruktur untuk mendukung MIFEE dan pejabat perusahaan, para tentara pengawal dan transmigran mulai berpindah memasuki tanah orang-orang Malind, mereka juga mengonsumsi hasil hutan seperti daging dan ikan. Kondisi ini menyebabkan warga setempat lebih kesulitan untuk mencukupi kebutuhan mereka dari hutan, dan lebih menekan warga untuk lebih terlibat dalam ekonomi uang, yang berujung pada penjualan tanah mereka pada perusahaan.

Salah satu contoh ialah Rawa Inggun, yang akhir-akhir ini terbagi menjadi dua karena pembangunan jalan baru. Rencana awalnya ialah untuk pembangunan jembatan yang melintasi rawa, yang didanai dengan dana pemerintah, namun pada akhirnya tanah dan beton dijadikan gundukan dan digunakan untuk membelah rawa menjadi dua. Sebelumnya tidak diadakan penelitian AMDAL seputar efek dari pembuatan jalan tersebut terhadap hidrologi, ekologi ataupun untuk pemenuhan kebutuhan warga di sekitar Kampung Wayau. Beberapa orang yang mengunjungi area tersebut mengatakan bahwa mereka melihat polisi setempat yang mengendarai motor dan memancing di sekitar rawa dengan menyeberang jalan baru. Ketika area tersebut menjadi bisa dicapai, sepertinya orang-orang dari wilayah urban menjadi sering datang untuk berburu dan memancing. Warga Wayau belum menyetujui untuk menyerahkan tanah mereka pada perusahaan yang tergabung dalam kelompok Wilmar atau Hardaya. Namun ketika integritas mereka terhadap hutan setempat menjadi berkurang, pilihan mereka pun berkurang.

Ketika akhirnya masyarakat menjual dengan paksaan atau karena pilihan, nilai uang yang mereka terima sangatlah sedikit jika dilihat sebagai pengganti atas seluruh hutan yang bisa menjadi sumber hidup selama berpuluh tahun dan kini hanya diganti dengan uang yang dibayar tunai. Masyarakat mengetahui bahwa mereka harus menggunakan uangnya secara bijak, namun pilihan investasi apa yang mereka punya? Yang sering kali terjadi adalah warga kehabisan uangnya dengan cepat ketika para pedagang datang dari kota dan membujuk warga untuk membeli barang-barang mahal, dan masyarakat pun tidak memiliki apapun kecuali uang ganti rugi yang sangat kecil dari pohon-pohon yang ditebangi.

Lingkungan

Perkembangan perkebunan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang meluas yang secara langsung juga mempengaruhi masyarakatnya. Di Kampung Zanegi, pestisida dari bibit-bibit pohon milik Medco mencemari rawa dan menyebabkan sakit pernapasan yang mempengaruhi kematian bayi dan penyakit kulit Selain itu, masyarakat yang berada di hulu sungai Bian dan Kumb juga mengalami gejala serupa, barangkali diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit dan area transmigrasi yang berada di hilir sungai. Ikan besar dan buaya sekalipun sudah ada yang dilaporkan mati di Sungai Bian, yang berada dekat dengan perkebunan Korindo dan Daewoo, dan juga sungai Kumb dan Digul. Warga yang berada di area di hulu sungai Bian mengatakan bahwa mereka tak lagi dapat menggunakan airnya untuk keperluan minum, memasak dan mandi. Mereka harus berjalan sepanjang beberapa kilometer untuk mendapat air bersih.

Hutan-hutan di lembah sekitar konsesi PT Bio Inti Agrindo juga telah dibakar untuk perkebunan sawit. Praktik ilegal ini juga menyebar di seluruh Indonesia dan sudah banyak diketahui telah menyebabkan kabut yang setiap tahun muncul di Sumatra, Malaysia dan Singapura. Sementara akibat lokalnya berupa polusi air dan udara, binatang buas pun banyak yang terbunuh oleh panas api.

IMG_1136

Di dekat pantai, tak jauh dari perkebunan tebu Rajawali, sungai-sungai kecil yang berada dekat Kampung Onggari dan Kampung Kaibuze menjadi kering karena irigasi dialirkan untuk keperluan perkebunan dan perkembangan pertanian di wilayah transmigrasi. Banyak yang mengatakan bahwa burung-burung juga sudah tak lagi nampak di sekitar area MIFEE, suara mereka sudah tak terdengar lagi seperti dulu.

Konflik

Pengaruh utama dari MIFEE juga berupa konflik antar desa, antar marga dan antar individu. Dalam masyarakat Malind, orang-orang sudah tahu, lahan wilayah mana yang menjadi hak siapa. Pada masyarakat yang tidak memiliki peta ini, sistem geografi tak tertulis telah dikembangkan sepanjang sejarahnya, dalam sistem kepercayaannya dan dalam ingatan kolektif mereka. Ketika para pengusaha mulai memasuki area, mereka juga membawa peta lokasi perkebunan yang diberikan oleh kantor pemerintah Merauke, GPS dan peralatan lain yang digunakan untuk menandai posisi mereka serta sejumlah uang yang banyak yang akan mereka berikan pada pemimpin marga apapun yang mempunyai hak atas tanah. Konflik muncul ketika pengukuran yang dilakukan dengan peralatan yang bisa mengukur seksama menggali perselisihan lama. Contohnya ialah ketika satu desa atau marga diketahui sebagai pemilik lahan menurut hukum adat, namun desa atau marga lain telah memiliki ijin untuk menggunakan lahan tersebut, meski mereka tidak memiliki hak kepemilikan.

Ketika Medco membangun penggilingan kayu di Kampung Boepe, warga dari Kampung Sanggase menyalahkan perusahaan yang telah memberikan kompensasi pada orang yang salah, karena sebenarnya lahan milik Sanggase, dan orang dari Boepe hanya menggunakan lahan. Konflik panjang  terjadi antara Medco dan warga dari kedua desa, Medco pun mengakhirinya dengan membayar warga Sanggase. Konflik yang lain muncul di sekitar area Rajawali, dimana para warga dari Domande yang telah membebaskan lahan mereka pada perusahaan kemudian terlibat dalam konflik dengan warga yang berasal dari Kampung Onggari yang menolak untuk membebaskan lahan mereka. Di Kampung Selil, dua marga dari dua suku berbeda saling memperebutkan lahan yang sudah direncanakan PT. Bio Inti Agrindo untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Setelah perang antar suku yang terjadi dahulu kala, resolusinya berupa penamaan lahan sebagai ‘lahan pinjaman’, dimana peminjam tidak memiliki hak untuk menjual. Biasanya, hal ini tidak menjadi masalah, namun sejak perusahaan datang untuk mengolah tanah, kedua kelompok tersebut meminta kompensasi. Konflik yang berpotensi meledak menjadi kekerasan ini masih tinggi.

Konflik seperti itu dimulai dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan, yang menambah stres karena tekanan perubahan yang dipaksakan oleh perusahaan, dan berpotensi memecah serta memperlemah para oposisi untuk melakukan perlawanan. Konflik juga bisa sampai kekerasan. Yang membuat kondisi ini lebih buruk ialah kepercayaan orang setempat terhadap suanggi atau ilmu hitam, yang dipercaya sebagai penyebab dari segala macam kematian. Jika ada seseorang yang meninggal di suatu desa, warga akan mempertanyakan siapa yang menjadi dalang atas kematiannya.

Kisah tragis lagi-lagi datang dari desa Zanegi. Seorang warga desa yang juga bekerja di perkebunan milik Medco telah dituduh menggunakan suanggi untuk membunuh manusia. Para pemimpin desa kemudian berkumpul untuk melakukan pertemuan adat dan memutuskan bahwa ia harus dibunuh untuk menghindari banyak kematian lainnya. Polisi menemukan dan menangkap lima belas orang, tujuh diantaranya kemudian dihukum penjara. Benar atau tidaknya tindakan warga tersebut, penangkapan tersebut hanya memperkeruh persoalan yang dihadapi masyarakat pada umumnya. Mereka yang tertangkap kebanyakan telah mengkritik Medco dan perusahaan lain secara blak-blakan. Desa pun menjadi lebih tergantung pada Medco dan uang kompensasi yang diberikan untuk membantu para tahanan. Pada masa ini, pemalangan panjang yang pernah menghadang praktik penebangan yang dilakukan Medco kehilangan momentumnya. Sementara perusahaan pun tetap melakukan penebangan hutan seperti sebelumnya.

Kondisi kian memburuk ketika tiga dari tujuh orang yang telah divonis, meninggal ketika ditahan di penjara Merauke. Warga setempat tetap saja berpikir bahwa suanggi lah yang menyebabkan kematian mereka, dan memang telah dikatakan bahwa dua korban terakhir kematiannya mendadak tanpa didahului sakit terlebih dahulu. Hubungan antara konflik dan perusahaan ini rumit namun tak terhindarkan.

Sekalipun pada tahap awal, konflik muncul, sebelum kompensasi dibayarkan, dan bahkan saat pertama kali perusahaan menginjakkan kaki. Ketika perusahaan pertama kali mengirimkan wakilnya ke area, mereka sering kali membujuk atau mempekerjakan beberapa orang supaya menjadi pro perusahaan dan mempromosikan kepentingannya, dan bisa dengan bebas menyebabkan konflik di dalam desa. Para warga di beberapa desa di Tubang, Ilwayab dan Okaba menunjuk dua perusahaan, PT Astra dan PT Mayora lah yang menggunakan strategi ini, yakni perusahaan masuk dan pada tahap awal investasi mereka memunculkan perpecahan dan memanipulasi kecurigaan. Di beberapa desa, mereka merekrut perantara untuk bertindak atas nama mereka yang bekerjasama dengan satpam untuk menuduh orang-orang sebagai pemberontak OPM, seperti yang digambarkan diatas. Di area yang sama, warga dari desa Woboyu merasa resah ketika terdengar berita bahwa para warga desa Welbuti telah sepakat untuk bekerjasama dengan PT Astra untuk memetakan batas-batas tanah adat. Padahal sebelumnya sudah ada perjanjian antar semua desa di area untuk tidak bekerjasama dengan perusahaan sama sekali. Jika satu desa keluar dari kesepakatan itu, maka desa tersebut bisa menjadi pemicu pecahnya konflik, sementara kepercayaan terhadap suanggi, semakin membuat konflik memakan korban.

Karena ketakutan akan konflik yang bisa saja menggelinding menjadi bola liar, orang-orang setempat mengambil sikap untuk menduduki kantor PT Mayora. Mereka bersikeras bahwa tindakan kedua perusahaan tersebut, dalam melakukan survei dan mendekati warga setempat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, merupakan strategi yang disengaja untuk menimbulkan ketakutan dan konflik antar warga. Jika ada perusahaan yang ingin masuk, maka perusahaan tersebut harus membicarakan rencana tersebut terlebih dahulu bersama para warga. Dalam kasus ini, bupati berkata bahwa ia akan memerintahkan PT Mayora dan PT Astra untuk menghentikan pekerjaan mereka sampai dilangsungkannya diskusi.

Bekerja di Perusahaan

Supaya bisa tetap mencari nafkah setelah kehilangan lahan, warga pun diiming-imingi dengan janji-janji di perkebunan jika perkebunan sudah beroperasi. Namun kenyataannya, kebanyakan pekerjaan di perkebunan sudah terisi oleh para pendatang yang sudah mendapat pelatihan dan pengalaman bekerja di perkebunan. Warga setempat tidak selalu mendapatkan pekerjaan. Jika dapat pekerjaan, itu pun tanpa kontrak. Hanya dipekerjakan dengan sistem harian lepas jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan yang biasanya melibatkan warga setempat biasanya pekerjaan yang terkait dengan program-program CSR, mendukung tim survei, mengemudi, satpam, kuli, pekerja perkebunan yang memasukkan benih ke kantung insulasi atau menyiapkan kebun percontohan, menguliti kayu dan mengoperasikan gergaji mesin.

Jika gaji yang mereka terima sesuai dengan upah minimum regional, maka untuk pekerja yang tidak memiliki keahlian mendapat 1.710.000 rupiah per bulan atau setara dengan 70.000 tiap hari kerja. Namun di pedesaan Papua, harga-harga jauh lebih tinggi dari pada di daerah mana pun di Indonesia. Itu artinya, gaji tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari seperti makanan.

Meski demikian, desa-desa yang belum dimasuki perusahaan masih melihat perubahan, dari pemenuhan kebutuhan dari hasil hutan menuju pekerjaan berpenghasilan, sebagai ancaman atas identitas mereka. Orang-orang Malind melihat diri mereka sebagai Anim-ha – manusia sejati. Kini, orang bisa membuat frase baru, dengan mengingat adat-istiadat mereka yang akan ketergantungan pada toko untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari serta adat-istiadat, maka mereka tak lagi disebut sebagai ‘Anim-ha’, melainkan ‘Malind Plastik’.

Dalam surat kepada Komisi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, 27 organisasi memperkarakan para pekerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan MIFEE terhitung sebagai pekerja paksa yang bisa dilihat sebagai sejenis perbudakan gaya baru. Yang dijadikan argumen dasar adalah bahwa lahan yang dimiliki masyarakat setempat direbut dari mereka tanpa ada Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan, ruang hidup mereka kini tak dapat dipertahankan, sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain menerima pekerjaan apapun yang diberikan oleh perusahaan. Biasanya satu-satunya pekerjaan yang disediakan perusahaan adalah pekerjaan kasar dengan gaji rendah. Kalaupun ada tawaran untuk menjadi petani sawit atau tebu yang menjual hasil kebunnya kepada perusahan seperti kemauan dari pemerintah setempat, maka yang terjadi masih sama, yakni tergantung pada perusahaan, namun dengan sistem perbudakan feodal.

Perempuan dalam Perubahan Ekonomi Pedesaan

Sebuah penelitian yang dilakukan Sayogjo Institute menempatkan fokus pada isu spesifik mengenai persoalan yang dihadapi para perempuan setelah masuknya banyak perusahaan. Penelitian ini melihat adanya ekonomi rumah tangga pada umumnya sebelum banyak perusahaan yang masuk, dimana terdapat pembagian berdasar gender, peran dari perempuan dan laki-laki keduanya penting. Para lelaki berburu, sementara para perempuan harus memancing dan memangkur sagu meski dibantu lelaki yang masih berusia lebih muda. Ketika para lelaki mempunyai pekerjaan di ladang, para perempuan juga membantu. Para perempuan juga berkewajiban dalam pekerjaan rumah tangga, seperti mengumpulkan kayu, memasak dan bersih-bersih.

malind women

Ketika hutan hilang, masyarakat menjadi tergantung pada perusahaan yang memberikan mereka pekerjaan. Pada kasus Medco di desa Zanegi, kebanyakan pekerjaan hanya untuk para pria. Memang perusahaan telah mengeluarkan kebijakan untuk tidak mempekerjakan perempuan desa setelah seorang perempuan non-Malind yang bekerja sebagai staf dapur dihamili oleh staf lain. Perempuan masih bisa bekerja untuk subkontraktor namun ketika penelitian lapangan, semua pekerja berasal dari luar. Para perempuan Malind setempat mengakui takut dengan babi hutan.

Sebagian besar perempuan juga tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan seputar boleh tidaknya menjual tanah pada perusahaan. Meski masyarakat Malind seringkali mengidentikkan tanah sebagai ibu, kepemilikan tanah dibawah sistem marga masih patrilineal, dimana perempuan sangat terbatas, dengan hak penggunaan lahan dalam kondisi tertentu, tanpa hak kepemilikan tanah. Ungkapan yang sering dipakai “berbicara mengenai lahan ialah berbicara tentang adat-istiadat.” Bagaimana pun juga, hukum adat merupakan wilayah laki-laki. Dengan logika bisnis, jika ada yang kesepakatan jual beli tanah, maka perusahaan akan melakukan pendekatan pada pemilik tanah, yakni ketua marga yang berjenis kelamin laki-laki, serta mengabaikan hak pakai yang dimiliki oleh perempuan.

Meski mereka tidak punya suara dalam kesepakatan jual beli tanah, perempuan sering kali menjadi korban kemiskinan yang diakibatkan oleh perusahaan yang sudah mulai masuk. Hal ini juga sudah terlihat di desa Zanegi, sewaktu terjadi kelangkaan makanan. Para perempuan akan memprioritaskan lelaki dan anak-anak untuk makan terlebih dahulu, dan kadang mereka hanya makan sehari satu kali. Dalam sehari, para perempuan hanya mengunyah tembakau dan buah pinang, kemudian berhutang di warung hingga bayaran dari pembabatan pohon diberikan, mereka pun menjadi terlihat lebih kurus karena keadaan ini.

Sementara itu, para remaja laki-laki tak jarang yang menggunakan uang mereka untuk membeli alkohol dan membayar pekerja seks. Akibatnya, lima perempuan Zanegi telah terinfeksi HIV positif, yang kemungkinan tertular dari suami mereka. Beberapa remaja perempuan yang masih berusia sekolah juga sudah dijadikan target seksual oleh orang-orang yang bekerja di perusahaan.

Menjadi Malind Plastik

Beberapa dampak penting dari MIFEE yang paling sulit untuk kita ketahui kalau kita bukan orang Malind ialah perubahan dalam hubungan sosial, perubahan identitas, serta perubahan paradigma mereka dalam melihat dunia, hingga kosmologinya. Orang-orang Malind sekalipun sulit untuk memaknai kehilangan hutan mereka, karena hutan adalah mereka, dan mereka menganggap hutan sebagai ibu. Tiap marga memiliki dema atau totem binatang atau tumbuhan yang juga menjadi tanggungjawab mereka. Sebagai contoh, marga Samkakai berhubungan dengan kanguru. Jika hutan lenyap, kanguru pun hilang, dan ketika kanguru musnah, bagaimana dengan keberadaan marga Samkakai?

Di bawah ini merupakan ungkapan dari SSUMAWOMA (Forum Intelektual Malind Woyu Maklew Anim) yang menunjukkan pentingnya kebudayaan Malind pada identitasnya.

“Budaya malind anim bukan sekedar tarian atau ritual atau ukiran yang di perankan melalui pehiasan lumpur, hiasan dedaunan, anggin, pak, dan tali kayu lainnya. Jika budaya malind anim tidak dilindungi dan di pelihara, maka budaya itu akan musna, dan jati diri serta identitas malind anim akan musnah. Budaya malind anim satu kesatuan dengan pola pikir, rasa dan pola tindak yang menyangkutkeseluruhan eksistensi manusia Malind dalam budayanya sendiri.”

Karena banyak perusahaan dan orang-orang dari luar masuk, kebudayaan tersebut menjadi semrawut. Semisal, ketika para transmigran membangun desa baru, mereka kemudian menamainya dengan nama-nama berbahasa Indonesia. Padahal, tempat-tempat tersebut sebelumnya sudah memiliki nama yang berhubungan dengan sistem geografi, sejarah dan spiritualitas masyarakat Malind. Ketika nama-nama tersebut diganti, sejarah masyarakat pun secara bertahap akan dilupakan.

Contoh lain, di beberapa wilayah di Indonesia, orang-orang biasanya bersantai sambil minum air kelapa yang kemudian secara alami melalui proses fermentasi supaya menjadi minuman beralkohol, dan kebiasaan ini bukan kebiasaan masyarakat Malind. Akan tetapi, dalam film yang dibuat oleh Papuan Voices terdapat adegan dimana terdapat jenis buah aneh yang menumbuhi pohon kelapa karena orang-orang menaruh jerigen diantara cabangnya untuk menampung tetesan air yang dihasilkan. Ditempat lain, para polisi membawa minuman dengan kadar alkohol yang lebih tinggi ke desa, kemudian membagikannya pada para pemimpin desa. Saat ini memang mereka bagikan gratis, namun suatu saat bisa saja mereka jual.

Karena gencarnya perpindahan yang dilakukan oleh perusahaan melintasi seluruh tanah masyarakat Malind, keberlangsungan masyarakat Malind-Anim menjadi terancam. Di beberapa kasus, ancaman tersebut secara langsung dihadapi oleh masyarakat, seperti yang terjadi di Zanegi. Di tempat lain ancaman datang melalui pemiskinan budaya, dengan memotong hubungan antara masyarakat dari kebudayaannya kemudian meninggalkan masyarakat sebagai pekerja berpenghasilan rendah dan marjinal. Dalam banyak kasus, ini tidak sejalan dengan kehendak masyarakat, namun perusahaan masih bertahan disana dan sedang menuju kesitu.

This entry was posted in Berita Merauke, Updates and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.