Mereka sedang membunuh Koroway dengan air perak dan logam mulia

[foto ini yang beredar di media sosial menunjukkan orang yang ingin buka landasan helikopter untuk membawa peralatan penambangan mas liar di wilayah Koroway. Ternyata tahun 2015 sudah ada penambang liar masuk wilayah ini]

Awal tahun ini beberapa foto aksi penambangan emas liar di Koroway menjadi viral di media sosial. Foto-foto yang memotret aktivitas pembangunan landasan helikopter untuk bongkar muat logistik penambangan tersebut diduga diambil dekat kepala sungai Deiram. Benar atau tidaknya aktivitas dalam foto tersebut belum bisa dikonfirmasi. Meski demikian, hal serupa pernah terjadi di wilayah Danowage. Kejadian ini terjadi tiga tahun yang lalu, kurang lebih pada tahun 2015. Hal ini diketahui berdasarkan laporan anak-anak sekolah di Koroway. Mereka bercerita kepada guru mereka tentang aktivitas penambangan emas liar di Donowage itu. Anak-anak sekolah ini pada umumnya bekerja pada pengusaha tambang emas itu.

Artikel ini dituliskan berdasarkan pengakuan empat anak sekolah di Koroway kepada seorang guru mereka yang dituturkan pada awal bulan Februari 2018. Nama guru dalam artikel ini tidak disebutkan sedangkan nama murid-murid yang memberikan pengakuan bukanlah nama sebenarnya.

Air perak
Yakobus bercerita bahwa dia bekerja kepada penambang emas di daerah Tanah Longsor, arah selatan dari Danowage yang dapat ditempuh selama 15 menit menggunakan katingting (perahu motor kecil). Kepada guru gurunya Yakobus menceritakan bahwa dia bekerja pada penambang orang rambut lurus (sebutan untuk pendatang, non-Papua), berasal dari daerah Bugis. Dia bertugas untuk membangun base camp, membawakan peralatan, membelah kayu bakar dan pekerjaan umum lainnya. Namun Yakobus mengaku  ikut menyaksikan bagaimana proses penambangan tersebut dari awal hingga akhir. Yakobus bekerja untuk orang yang biasa dipanggil Koprak.

Kepada gurunya Yakobus mengatakan orang-orang yang menambang emas itu menggunakan alat alkon, karpet, saringan kain, kuali dan juga air perak

Air perak itu berat sekali, hanya setengah jerigen (minyak goreng). Tapi itu berat sekali sampai saya tidak bisa angkat” kata Yakobus.

Yakobus menjelaskan dengan sederhana bahwa air perak itu bentuknya bulat-bulat macam di luar angkasa. Ia membandingkan berat jerigen air perak itu dengan baterai aki solar panel yang beratnya sekitar 48 kilogram.

Air perak yang di maksud Yakobus tentunya adalah air raksa atau merkuri yang merupakan logam berat.

“Apakah air perak itu dibuang ke dalam kali?” kurang puas dengan jawaban Yakobus, gurunya memperjelas pertanyaannya.

Yakobus menjawab tidak.  Penambang emas liar itu menggunakan air perak untuk untuk memproses emas lainnya.

Namun gurunya masih belum puas terhadap jawaban itu sehigga ia meminta Yakobus menjelaskan bagaimana air perak itu digunakan.

Yakobus menceritakan bahwa air perak digunakan untuk memisahkan emas dengan pasir hitam. Caranya,  campuran pasir hitam dan emas dituangkan air sedikit dengan air perak kemudian diaduk-aduk. Lalu secara otomatis emas akan berpisah dengan pasir, lalu emasnya diambil sedangkan sisa air, pasir hitam dibuang. Air perak dituangkan ke botol, lalu disaring dengan kain untuk memisahkan air dengan air perak.

“Setelah itu air perak ditampung untuk dipakai lagi sedangan air sisa hasil penyaringan dibuang,” ungkap Yakobus.

Yakobus tidak tahu jika air sisa yang mengandung air perak yang dibuang itulah yang berbahaya bagi kelestarian lingkungan. Lebih lanjut Yakobus mengatakan air sisa tersebut dibuang sembarangan, dibuang ke semak-semak, ke tanah bahkan ke sungai.

Hal tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat Korowai mengingat sungai Deiram merupakan tempat masyarakat Korowai menggantungkan hidupnya, mulai dari transportasi, sumber makanan, sampai sumber air bersih.

Dari pekerjaanya itu Yakobus menerima Rp900 ribu selama bekerja 12 hari kepada penambang tersebut. Selama dua belas hari merekabekerja  menambang emas di situ, hasil yang didapatkan sangat sedikit. Sehingga setelah dua belas hari, mereka menghentikan proses penambangan di titik tersebut dan berpindah ke Yaniruma. Para penambang pun mengajak Yakobus untuk ikut ke Yaniruma, namun Yakobus menolak dengan alasan ia ingin beribadah, karena waktu itu hari Sabtu. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , | Komentar ditutup

Salim Group dan Konflik Lahan di Tanah Papua

Pada Mei 2016, awasMIFEE menerbitkan sebuah berita berjudul “The Salim Group’s secret plantation in West Papua” (Perkebunan Terselubung Salim Group di Papua Barat), tentang empat konsesi yang dimiliki oleh Salim Grup di Papua Barat. Satu setengah tahun setelahnya, Salim Grup masih memperluas konsesinya, hal yang mengancam  hutan Papua.

Salim Group adalah konglomerat industri yang beragam yang berkembang pesat selama kediktatoran Suharto. Sang pendirinya adalah Soedono Salim (Liem Sioe Liong), seorang mitra bisnis presiden yang paling terpercaya, dan melalui jaringan patronase dia juga membantu anggota-anggota keluarga dan kroni Suharto dalam membangun kerajaan bisnis mereka sendiri. Ketika pemerintah dan ekonomi ambruk pada tahun 1998, Salim mendapatkan pukulan yang lebih keras ketimbang para pesaingnya. Namun, anaknya, Anthony, telah membangun kembali kerajaan bisnis mereka. Merek perusahaan mereka yang paling terkenal berada di bawah label Indofood, termasuk mie instan Indomie.

Divisi perkebunan utama Salim Group, yang terdaftar di bursa efek Singapore, adalah Indofood Agri Resources. Anthony Salim adalah Presiden Direkturnya Indofood (perusahaan induknya Indo Agri Resources) dan memegang saham penting (meski bukan mayoritas saham). Namun, ada pengelompokan kelapa sawit lainnya yang belum diketahui secara luas yang juga bagian dari Salim Group. Sebelumnya perusahaan-perusahaan ini pakai nama Gunta Samba Group, khususnya ketika mereka sedang melakukan perekrutan pekerja lewat iklan-iklan dll, meski sekarang ini mereka sudah ganti nama menjadi Indogunta Group. Konsesi perkebunan yang diketahui di bawah Grup ini semuanya berlokasi di Kalimantan dan Papua. Struktur organisasi Indogunta dan bukti yang menghubungkannya dengan Salim Grup akan diperiksa secara rinci di bawah ini.

Indogunta Grup di Tanah Papua

Di Papua, Salim Group memiliki dua perkebunan kelapa sawit dan satu perkebunan jagung yang sudah membuka lahan, semua perkebunan ini hanya memulai melakukan penanaman dalam tiga tahun terakhir. Perusahaan ini juga memiliki dua konsesi lainnya yang ditenggarai memiliki sebagian besar izin yang diperlukan untuk beroperasi dan beberapa anak perusahaan lagi yang masih terhambat masalah perizinan. Konflik antara perusahaan dan masyarakat adat setempat telah muncul di beberapa konsesi ini, dan ada risiko tinggi bahwa konflik serupa akan muncul di tempat lainnya. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , , , , , , , , , | Komentar ditutup

29 September 2014, satu hari yang buruk bagi hutan Papua Barat

Pada September 2014, di bulan terakhir sebelum berakhir jabatannya sebagai Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, secara gegabah memberikan izin pada industri penebangan kayu dan perkebunan untuk memanfaatkan hutan Papua Barat sebesar ratusan ribu hektar.

Pada 9 Juli 2014 Joko Widodo memenangkan pemilihan Presiden, sementara itu Zulkifli Hasan, yang berasal dari Partai Amanat Nasional, yang tidak menjadi bagian dari koalisi pemerintahan baru dan oleh karena pengetahuan bahwa ia tidak akan memegang jabatannya lebih lama, Ia memanfaatkan waktu singkatnya untuk menerbitkan Surat-Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Hingga hari terakhirnya di kantor kementerian, Ia telah menerbitkan lebih dari 100 Surat Keputusan. Banyak dari SK ini merupakan konsesi-konsesi baru bagi perusahaan kayu dan hutan tanaman industri, atau pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan-perusahaan sawit.

SK-SK tersebut diterbitkan di kawasan-kawasan hutan di seluruh Indonesia, kendati demikian Tanah Papua merupakan salah satu wilayah yang paling terkena dampak SK tersebut. Sejak akhir Agustus hingga akhir September, sepuluh perkebunan kelapa sawit diberikan surat izin pelepasan kawasan hutan (212.216 hektar), lima lagi diberikan izin prinsip pelepasan hutan (173.389 ha), dua perusahaan hutan tanaman industri mendapatkan izin (178.980 ha), dan juga satu konsesi sebagaimana juga satu perusahaan pembalakan kayu (144.509). Terdapat total 799,055 ha—sebuah area yang luasnya lebih besar dari pulau Bali telah ditentukan nasibnya hanya dalam waktu sekitar sebulan. Hampir separuh dari izin-izin ini ditandatangani hanya dalam sehari: pada hari terakhir Zulkifli Hasan menjabat, tepatnya pada 29 September 2014. (( Ia meninggalkan posisinya pada 1 Oktober, seminggu sebelum transisi resmi kabinet baru, oleh karena ia ditunjuk mendapatkan posisi sebagai kepada Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), kedudukan yang sampai sekarang masih dijabatinya. ))  Oleh karena terburu-buru menandatangani, perlindungan lingkungan diabaikan, sebagaimana yang akan dicatat di bawah. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , , , , , , , , , | Komentar ditutup

Pernyataan Sikap Aksi Hari HAM 2017 di Merauke

Setiap tanggal 10 Desember di Tanah Papua, pasti ada aksi peringatan hari HAM. Tentu saja, salah satu perhatian besar adalah tindakan kekerasan dari TNI/Polri. Selama tahun 2017, seperti setiap tahun, banyak orang Papua ditembak mati oleh aparat. Namun persoalan hak-hak Economi, Sosial dan Budaya juga semakin terkemuka dalam wacana aktivis HAM – seperti dala pernyataan sikap dari aksi-aksi yang dilakukan di Sorong dan Jayapura tahun ini.

Di Merauke, ratusan orang ikut aksi demo ke DPRD tanggal 11 Desember (karena tanggal 10 adalah hari minggu). Ini pernyataan sikap mereka:

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 10 Desember 1948, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran semua bangsa tentang manusia dan kemanusiannya. Bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki kodrat sebagai makluk mulia ciptaan Tuhan yang harus dilindungi. Manusia berhak atas hidup yang bebas, tanpa perbudakan, intimidasi, apalagi pembunuhan.

Deklarasi tersebut berhasil menjawab keprihatinan bangsa-bangsa, serta banyak negara-negara yang mengalami dampak buruk tragedi Perang Dunia I dan Perang Dunia II 1948. Sehingga deklarasi tersebut ditindaklanjuti, dengan berbagai konvenan internasional. Konvensi Internasional tersebut diterjemahkan menjadi peraturan perundang-undangan HAM nasional di setiap negara.Seperti Konvenan Internasional Hak Sipil Politik ( SIPOL), Konvenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB). Selanjutnya, Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), Konvensi Penghapusan Diskiminasi Rasial (CERD), Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), dan Konvensi Hak Anak (CRC). Inilah Konstitusi HAM Internasional yang telah didukung dan diratifikasi oleh negara-negara anggota untuk memenuhi, melindungi, menghormati manusia di setiap negara.

Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB turut mendukung keputusan internasional tersebut degan meratifikasi (mengesahkan), keputusan tersebut setelah kejatuhan resim kediktatoran Soeharto pada 1998. Dengan mengeluarkan produk undang-undang HAM Nasional No 39 tahun 1999. Diikuti dengan Undang-Undang Peradilan HAM Nasional No 26 Tahun 2000.

Pada tahun 2005 Indonesia ikut meratifikasi Konvenan EKOSOB dengan UU No 11 Tahun 2005 dan UU No 12 Tahun 2005 untuk Hak-hak Sipil Politik. Tetapi dalam prakteknya masih belum bisa terlepas dari tindakan-tindakan pelanggran HAM terhadap warga negaranya. Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang HAM Nasional, seolah-olah menjadi instrument tanpa kekuatan, karena belum mampu dilaksanakan sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan Undang-Undang Peradilan HAM Nasional yang tidak banyak bekerja. Sehingga yang terjadi adalah konflik HAM kolektif yang tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak ada solusi yang benar-benar dapat menyelesaiakan persoalan HAM nasional secara tuntas.

Seperti itu juga yang terjadi di Papua, sebagai provinsi termuda di Indonesia, Papua memiliki sejarah integrasi yang berbeda. Berbagai operasi militer yang menjadi satu kesatuan progam nasional sejak 1961, diperparah 1967 dengan diisinkannya PT Freeport mengelolan SDA Papua. Justru ini menjadi salah satu penyebab persoalan HAM di Papua. Untuk pelanggaran Hak-hak SIPOL belum ada satu persoalan yang benar-benar diselesaikan, seperti Peristiwa Arfai 1965, Peristiwa Mapenduma 1976, Peristiwa Mapenduma 1996, Peristiwa Biak Berdarah 1998, Peristiwa Wamena Berdarah 2000, Peristiwa Merauke Berdarah 2000, Pembunuhan Theys Hiyo Eluay 2001, Peristiwa Abepura Berdarah 2006. Semua peristiwa itu disertai dengan penangkapan, penyiksaan, dan pemenjarahan orang Papua. Read More »

Posted in Berita Merauke | Tag , , , , | Komentar ditutup

Polemik Tanah Marga di Kampung Bupul, Saat Hutan Berubah Jadi Kebun Sawit

Konflik lahan masih jadi persoalan perkebunan sawit di Merauke

Dua anak berlari ke arah hutan. Awalnya pepohonan terlihat rimbun, namun semakin jauh melangkah, yang nampak terlihat adalah hamparan luas pohon-pohon tumbang.

Keduanya menyaksikan dengan seksama alat-alat berat berwarna hijau sedang bekerja membersihkan pohon-pohon itu. Di kejauhan, suara-suara pohon yang roboh terdengar jelas. Beberapa kali tangan mereka menunjuk alat-alat berat yang sedang beraktifitas di tempat yang agak jauh.

“Itu beko, kaka. Beko itu alat berat, dozer (bulldozer). Beko tiap hari kerja bersihkan kami pu hutan,” seru Agustinus.

Agustinus berpostur langsing, sedangkan temannya Yupens bertubuh gempal. Mereka sama-sama duduk di kelas 5 SD YPPK Santo Petrus di kampung Bupul, Distrik Elikobel, Kabupaten Merauke, Papua.

Kaka, hutan ini tempat kami main panah-panah, tombak, cari burung. Di ujung situ ada sungai. Selesai main di hutan, kami biasa mandi di sungai,” tambah Yupens.

“Pak guru pernah bilang kalau nanti ada sawit dan limbah sawit su masuk sungai, kami tra boleh lagi mandi di sungai.”

***

Kampung Bupul,-tempat Yupens dan Agustinus tinggal, tidak jauh dari jalan Trans Papua yang menghubungkan Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digul. Dari Kota Merauke ke Bupul dapat ditempuh dalam waktu 3-4 jam.

Berjalan menuju Bupul, maka pos-pos tentara akan terlihat. Hal ini tak lepas karena wilayah tersebut berdekatan dengan perbatasan Papua New Guinea.

Masyarakat adat Bupul sebagian besar adalah suku Yei. Namun secara struktur, ada yang menyebut bahwa mereka adalah sub suku dari suku besar Malind. Aktivitas masyarakat umumnya bergantung pada hutan.

Hutan yang ditunjuk oleh Agustinus dan Yupens merupakan hutan adat milik marga Wonijai. Hutan adat milik marga Wonijai itu saat ini telah dibayar oleh perusahaan, baik lewat persuasi halus hingga melibatkan aparat. Perusahaan memenuhi mereka dengan janji-janji akan “hidup yang lebih baik”. Sebagian warga setuju untuk melepaskan tanah adat mereka. Sisanya yang kontra, menganggap upaya ini tak lebih motif menguasai tanah adat warga Wonijai.

***

Suatu malam di tahun 2015. Sejumlah orang bertamu ke rumah Simon Wonijai. Mereka adalah perwakilan perusahaan. Seorang diantaranya bertubuh tegap, khas anggota aparat. Tujuannya mencari tete Simon. Namun, sudah tiga hari kakek berumur 68 tahun itu tak bisa ditemui.

“Saya sengaja menghindar,” kata Simon Wonijai, saat saya jumpai di rumahnya pertengahan Oktober lalu. “Mereka mau minta tanda tangan saya sebagai kepala marga, [untuk urusan pelepasan tanah] mereka bawa polisi berpakaian preman malam itu.” Read More »

Posted in Berita Merauke | Tag , , , , , , | Komentar ditutup

Pernyataan Maranatha (tentang perizinan industri sumber daya alam dan hak masyarakat adat Papua)

Kami sebanyak 42 peserta Lokakarya Review Kebijakan Perijinan Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Papua, terdiri dari perwakilan masyarakat adat Suku Awyu (Boven Digoel), Suku Yerisiam (Nabire), Suku Amungme (Mimika), Suku Armati (Sarmi), Suku Manum dan Abrar, Marap (Keerom), Suku Elseng (Jayapura), dan organisasi masyarakat sipil di Provinsi Papua dan Jakarta, berkumpul di Kesusteran Maranatha, Waena, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, pada 21 dan 22 November 2017, berdiskusi dan membahas kebijakan perijinan pemanfaatan sumberdaya alam, tata kelola hutan dan lahan, praktik dan dampak aktifitas investasi terhadap masyarakat, serta upaya melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Pertemuan ini dihadiri narasumber instansi pemerintah di tingkat provinsi yakni Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu , Dinas Kehutanan dan Dinas Perkebunan.

Pertemuan dilaksanakan pada saat bertepatan terjadinya krisis Tembagapura, kekerasan dan pelanggaran HAM diberbagai tempat di tanah Papua, kriminalisasi masyarakat adat, perampasan tanah, pengrusakan kawasan hutan dan penghancuran tempat penting masyarakat adat. Hal ini terjadi karena antara lain ekspansi modal dan investasi industry ekstraktif pemanfaatan sumber daya alam yang melanggar hak-hak dasar masyarakat adat Papua (perempuan dan laki-laki), tidak adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat Papua (perempuan dan laki-laki), ketidak adilan pembagian manfaat, kesewenang-wenangan apparatus negara, tidak adanya transparansi, korupsi dan lemahnya penegakan hukum.

Kami mencatat bahwa pemerintah sedang mengusahakan mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui investasi berbasis sumberdaya alam dalam skala luas. Investasi diharapkan dapat menciptakan multiefek pada sektor yang lain, meningkatkan penerimaan pendapatan masyarakat dan negara. Berdasarkan Data Statistik tahun 2017, diketahui jumlah proyek investasi pada tahun 2010 sebanyak 118 unit dengan nilai investasi yang terealisasi sebesar rata-rata Rp. 10,6 Triliun dan pada tahun 2016 menjadi sebanyak 213 unit dengan nilai investasi yang terealisasi sebesar rata-rata Rp. 130,3 Triliun. Kebanyakan minat dan proyek investasi tersebut berasal dari perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Dalam diskusi, pemerintah mengakui adanya isu permasalahan social budaya dan ekonomi, seperti: tidak adanya penghormatan dan perlindungan hak atas tanah, adanya konflik tanah melibatkan pemilik tanah, perusahaan dan pemerintah, masyarakat belum diberdayakan secara layak, pemerintah belum menghasilkan kebijakan dan program yang mendukung usaha mandiri masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan, pemerintah masih tergantung pada pemodal besar, belum adanya master plan penanaman modal, tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, perusahaan beroperasi dengan cara melanggar ketentuan, pengalihan saham perusahaan tanpa persetujuan masyarakat dan pemerintah, pemerintah lemah dalam pengawasan terhadap perusahaan, dan sebagainya.

Kami juga mendiskusikan hak-hak legal masyarakat adat, hak memperoleh keadilan dan bantuan hukum, hak menentukan pembangunan, hak atas kebebasan, hak atas rasa aman, hak hidup layak, hak perempuan dan anak, hak atas informasi dan hak atas lingkungan hidup. Kebijakan dan program pemerintah belum sepenuhnya menampakkan pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat tersebut. Demikian pula, perusahaan tidak punya komitmen dan upaya untuk menghormati terhadap hak-hak masyarakat adat Papua, serta mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Komentar ditutup

Kronologis Kasus Kekerasan Aparat BRIMOB PT. PPM terhadap Masyarakat Pemilik Tanah Adat di Sorong Selatan

Sejak September hingga saat ini, ada tujuh marga pemilik tanah adat di Kampung Puragi, Distrik Metamani, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat, yakni Marga (1) Gue, (2) Atoare, (3) Mengge, (4) Bumere, (5) Kawaine, (6) Oropae 1, (7) Oropae 2, mereka masih melakukan “pemalangan secara adat” untuk menghentikan aktivitas dan membatasi lokasi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Permata Putera Mandiri (PT. PPM) di lokasi bernama Ureko hingga Nyono.

Alasan warga melakukan pemalangan karena sejak pembongkaran hutan pertama hingga penanaman, dan kembali perusahaan membuka hutan baru di tanah adat marga ini pada September 2017 hingga saat ini, perusahaan belum menyelesaikan kewajibannya, bermusyawarah dengan masyarakat untuk menyepakati status lahan, kompensasi atas kerugian dan kehilangan sumber kehidupan masyarakat, hasil hutan dan dusun pangan. Perusahaan juga tidak secara terbuka membicarakan program pemberdayaan hak-hak social ekonomi dan budaya.

Perusahaan mengabaikan hukum adat dan tuntutan masyarakat, mereka terus melakukan aktivitas pembongkaran dan penggusuran hutan. Adapun kontraktor terkadang mengatakan akan segera mengurus dan memenuhi tuntutan masyarakat, akan tetapi tidak pernah terjadi hingga saat ini.

Hal ini semakin membuat ketegangan antara masyarakat dan perusahaan meningkat. Perusahaan menggunakan aparat Brimob yang berjaga diareal perusahaan. Petugas Brimob terlibat melakukan aksi kekerasan, intimidasi dan membuat ancaman-ancaman melakukan tindakan pemukulan, penangkapan dan kekerasan lainnya.

Berikut kronologis kekerasan dialami anggota marga dari Kampung Puragi yang melakukan aksi pemalangan dan mengalami ancaman dan tindakan kekerasan, sebagai berikut: Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , , | Komentar ditutup

(English) ANJ’s response to criticism of its recent forest clearance.

Ma\’af, tulisan ini hanya tersedia dalam Bahasa Inggris. Kadang-kadang ada artikel ditulis dalam Bahasa Inggris yang perlu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Kalau ada ahli bahasa yang ingin membantu dalam hal ini, tolong kirim email kepada: awasmifee@potager.org

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , | Komentar ditutup

Kepala Suku Auyu: Siap Mati untuk Tanah dan Hutan Adat Kami

Sejak Juli hingga September 2017, perusahaan kelapa sawit PT. Indo Asiana Lestari melakukan sosialisasi dan negosiasi dengan warga Suku Auyu yang berdiam pada beberapa kampung, seperti Kampung Ampera, Ikisi, Navini dan Yare, di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.

Menurut Frengky Hendrikus Woro, Warga Kampung Yare, “Kebanyakan marga menolak tidak setuju dengan kehadiran dan rencana perusahaan, karena mereka tidak ingin kehilangan hutan dan tanah”, jelas Frengky pada Okto Waken dari SKP Keuskupan Merauke.

Humas perusahaan, dipanggil Yakup berusaha meyakinkan namun masyarakat tetap menolak. Pihak perusahaan mengundang tokoh masyarakat setempat, Fabianus Senfahagi, membantu meyakinkan masyarakat untuk menerima rencana dan permintaan perusahaan untuk investasi kelapa sawit di wilayah mereka.

Masyarakat tetap menolak menandatangani surat persetujuan untuk ijin usaha perusahaan. Fabianus menjelaskan bahwa pihak perusahaan akan membagi lahan menjadi dua, lahan inti dan lahan plasma.

“Humas perusahaan mengatakan, kami akan istimewakan hak-hak para pemilik tanah adat, pemilik kamu akan duduk manis, habis bulan terima gaji, jaminan keistimewaan itu akan berkelanjutan sampai dengan anak cucu”, cerita Frengky Woro.

Diperkirakan ada 20 marga pemilik tanah yang terkena dampak langsung dari usaha perkebunan perusahaan, yakni: Marga Woro, Mukri, Yame, Misa, Beni, Hamagi, Tifahagi, Nohoyagi, Senfahagi, Aweyoho, Sagi, Soh, Maa, Mabo, Bung, Sifiragi, Abugagi, Hanagi, Awe, dan Momu. Ada dua marga yang mendukung rencana perusahaan yakni marga Senfahagi dan Aweyoho.

Pada pertengahan Oktober 2017, Kepala Suku Auyu di Boven Digoel, Egedius Pius Suam, mengundang perwakilan marga-marga pemilik tanah dari Kampung Ampera, Ikisi, Navini, dan Yare, bertemu di rumah Kepala Suku di Kampung Persatuan Tanah Merah.

Saat mendiskusikan sikap marga-marga terkait rencana PT. Indo Asiana Lestari. tiba-tiba sekelompok orang mendatangi rumah tempat pertemuan. Mereka diduga adalah kelompok pendukung perusahaan. Mereka marah-marah dan bermaksud membubarkan pertemuan. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , , , , | Komentar ditutup

ANJ Membabat Hutan di Lahan Sengketa

Austindo Nusantara Jaya ingin punya citra sebagai perusahaan ramah lingkungan. Dalam laporan tahunan 2016 yang terbit pada 11 Oktober 2017, ANJ menjelaskan secara terinci berbagai praktiknya untuk menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan. Laporan-laporan tersebut penuh dengan beragam komitmen, supaya pembaca mendapatkan kesan bahwa PT ANJ perusahaan sunguh-sungguh baik.

Namun, seperti yang sering terjadi, realitas di lapangan tidak sesuai dengan kata-kata manis dalam laporan itu. Setelah dua tahun tanpa pembukaan lahan baru, perusahaan itu kembali membuka lahan baru di areal PT Permata Putera Mandiri, sebuah anak perusahaan yang punya konsesi di Kabupaten Sorong Selatan. Pembukaan lahan baru ini dilakukan di atas tanah ulayat milik suku Iwaro di Kampung Puragi. Ini lahan bersengketa karena marga Gue, salah satu marga pemilik, merasa tidak pernah memberikan izin kepada PT PPM untuk membuka perkebunan sawit.

Perusahaan mengklaim sudah mendapat persetujuan dari masyarakat dengan menunjukkan bukti memiliki peta sebuah kawasan di tanah ulayat marga-marga suku Iwaro di Kampung Puragi, yang luasnya mencapai 3494 hektare. Pada Juli 2013 perusahaan itu hanya melibatkan 13 dari 24 anggota masyarakat pemilik tanah ulayat untuk menandatangani peta kawasan itu. Dan menurut masyarakat Iwaro, hanya memberikan izin pembuatan jalan yang melintasi hutan mereka. Acara penandatanganan dilaksanakan jam empat subuh di Balai Desa dengan dikawal oleh anggota TNI dan Polri. Sengketa batas tanah ulayat juga terjadi pada suku Iwaro dan suku Awe’e yang memiliki tanah di dekat kampung Puragi.

Sengketa ini sudah berlangsung sejak awal tahun 2015. Dengan dukungan mahasiswa dari Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Iwaro, masyarakat telah beberapa kali turun ke jalan melakukan protes. Dan, ketika melakukan salah satu aksi demonstrasi, tiga puluh orang ditangkap. Dua diantaranya, Obet Kogie dan Odi Aitago, menjadi korban kriminalisasi karena dituduh merusak pintu pagar kantor PT ANJ di Sorong. Obet Kogie divonis hukuman satu tahun penjara dan Odi Aitago dihukum delapan bulan penjara.

Akhir tahun 2015, Yakomina Gue mewakili marga Gue membawa gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Sorong. Pada 25 Juli 2016 majelis hakim memutuskan kasus itu tidak dapat diterima (batal demi hukum) karena menurut mereka, seharusnya Yakomina Gue juga menggugat orang Papua lainnya yang pernah menerima uang perizinan dari perusahaan pada tahun 2013, dimana saat itu Yakomina Gue tidak dilibatkan dalam negosiasi tanah. Karena tidak ada uang dan juga tidak percaya kepada sistem keadilan Indonesia, marga Gue memutuskan tidak melakukan banding, dan lebih memilih menyelesaikan konflik melalui jalur adat.

Pada 16 Juni 2016, rapat digelar di kantor Walikota Sorong, antara perwakilan enam marga dari Kampung Puragi, pihak perusahaan, DPD RI, DPRD Sorong Selatan dan Pemda Sorong Selatan. Sebagai hasil pertemuan ini, DPRD diminta membentuk panitia kerja untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang jelas.

Perusahaan justru mengirimkan alat-alat berat untuk membuka lahan hutan yang menjadi sengketa. Sejak Juli lalu, sekitar 300 hektare hutan telah dibuka. Pada 16 September 2017, Dewan Adat Suku Iwaro dan DPP IPPMI telah menulis surat permohonan kepada DPD untuk menghentikan operasi PT PPM sebelum sengketa selesai, tetap belum ada titik terang.

Dalam Laporan tahunannya ANJ klaim mendukung prinsip Free Prior Informed Consent, persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan atau Padiatapa, khusus di Papua, laporan tahunan menceritakan tentang peristiwa pada 2016 di kota Teminabuan, letaknya sekitar 60 km dari lokasi perkebunan, yang menurut perusahaan, “membuka awal yang baru bagi hubungan ANJ dengan para pemangku kepentingan, terutama pemilik tanah yang merupakan suku asli”, dan “merupakan langkah vital dalam mempertahankan integritas komitmen kami untuk memperoleh Free, Prior and Informed Consent.” Pada laporan itu ANJ juga mencatat bahwa dalam pandangan perusahaan FPIC adalah “proses berkesinambungan”. Pernyataan seperti ini sangat jelas membuktikan bahwa perusahaan salah tafsir prinsip FPIC, yang harus atas dasar informasi awal, yang berarti sebelum izin keluar dan sebelum ada transaksi tanah atau pembukaan lahan, atau dengan kata lain, sebelum situasi semakin rumit akibat konflik dan permainan kepentingan. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , , , , , | Komentar ditutup