Ma\’af, tulisan ini hanya tersedia dalam Bahasa Inggris. Kadang-kadang ada artikel ditulis dalam Bahasa Inggris yang perlu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Kalau ada ahli bahasa yang ingin membantu dalam hal ini, tolong kirim email kepada: awasmifee@potager.org
Ma\’af, tulisan ini hanya tersedia dalam Bahasa Inggris. Kadang-kadang ada artikel ditulis dalam Bahasa Inggris yang perlu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Kalau ada ahli bahasa yang ingin membantu dalam hal ini, tolong kirim email kepada: awasmifee@potager.org
Manokwari, TP – PT Mitra Silva Lestari (MSL) dikabarkan sudah mempekerjakan masyarakat untuk melakukan pembibitan kelapa sawit di Kampung Yarmatum, Distrik Tahota, Kabupaten Manokwari Selatan (Mansel).
Padahal, PT MSL disebut-sebut belum mengantongi izin lingkungan atau mengurus dokumen Amdal ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Papua Barat.
Pimpinan PT MSL, A.J. Siregar membenarkan jika pihaknya sudah melakukan pembibitan Kelapa Sawit atas permintaan disertai desakan warga setempat. Sementara untuk pengurusan dokumen Amdal, is mengaku sedang dalam proses pengurusan.
“Kita mendapat desakan dari masyarakat agar mereka diberikan pekerjaan, makanya kita buka lahan di bekas kebun warga kurang lebih 2 hektar untuk tempat pembibitan Kelapa Sawit, sehingga warga di sana bekerja mengisi bahan ke dalam polybag”, terang Siregar yang dihubungi Tabura Pos via ponselnya, kemarin.
Diakui Siregar, PT MSL dalam posisi dilema, dimana warga mengatakan jika terlalu lama perusahaan membuka lapangan pekerjaan, nanti mereka tidak mau lagi menerima perusahaan.
Oleh sebab itu, lanjut dia, pihaknya mengakomodir permintaan dan desakan warga untuk melakukan pembibitan. “Kita buat pembibitan dulu, tapi kita buat di lahan kebun warga,” tandas Siregar.
Mendapatkan desakan dari warga, sambut Siregar, maka pihaknya berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manokwari Selatan, dalam hal ini Kepala Dinas PTSP.
“Kita tanya bagaimana ini pak, masyarakat desak kita. Beliau memberi saran agar kami kasih pekerjaan ke masyarakat, tetapi jangan dulu membuka hutan. Itulah dasar kami melakukan persiapan kecambah kelapa sawit. Selain itu, warga juga mau memberikan lahan bekas kebunnya untuk kita, sehingga kita tidak ada buka hutan,” tandas Siregar.
Sementara itu, Kepala Bidang Penataan dan Penegakkan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidoup dan Pertanahan Provinsi Papua Barat, Daniel L Haumahu, mengakui bahwa PT MSL belum memiliki dokumen Amdal sampai saat ini.
“Kita belum ada urus Amdal PT MSL. Dulu pernah mereka ajak kita lakukan sosialisasi Amdal ke masyarakat di Mansel, tapi kami melihat tidak sesuai mechanism, maka kami anjurkan agar pemrakarsa ikut atau koordinasi dulu dengan kami dengan melibatkan SKPD terkait di Provinsi. Namun sampai sekarang mereka tidak pernah datang lagi urus dokumenntnya,” tandas Haumahu yang dihubungi Tabura Pos, kemarin.
Untuk itu, ia menegaskan, PT MSL jangan membuat warga menjadi tameng supaya memaksakan keinginan perusahaan. Segera urus izin dan ikut mekanisme yang berlaku. Kalau tidak mau, kena pidana,” tukasnya.
Jalan Korea, salah satu titik pemantauan burung-burung endemik Papua, di Kabupaten Jayapura, Papua, terancam. Titik ini masuk dalam area konsesi perusahaan sawit, dan bisa berarti pepohonan bakal hilang dan satwa termasuk burung pun akan menghilang…
Jalan Korea, merupakan satu spot pemantauan burung yang jadi destinasi wisata para pecinta burung dunia selama 27 tahun terakhir.
Alex Waisimon, pengelola ekowisata Bird Watching menilai, kehadiran perkebunan sawit di wilayah ini, hanya mengulang cerita buruk dari berbagai daerah lain di Papua, di mana orang Papua yang bergantung pada hutan justru tersingkiran hutan itu sendiri.
Emmy Mandosir, Kepala Badan Lingkungan Hidup Papua mengatakan, segera berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura, membahas persoalan ini. Kalau memang kawasan ini titik pemantauan burung endemik, masih memungkinkan evaluasi perizinan dan mengeluarkan wilayah itu.
Kami ke lokasi pembukaan lahan PT. Permata Nusa Mandiri (PNM), Rabu (5/6/19). Ratusan meter sebelum kamp perusahaan, mobil kami berhenti. Di sebelah kiri jalan, di balik hutan tipis tersisa, tampak hamparan lahan kosong nan luas. Hutan baru terbabat untuk tanam sawit.
Melalui jalan setapak, kami masuk ke lokasi ini. Pohon-pohon yang ditebang sudah diangkut keluar. Hanya tergeletak sisa kayu bersama jejak ban alat berat yang tertinggal di tanah.
Alex Waisimon, dengan teropong berusaha melihat ujung dari area yang sudah dibuka. Teropong yang sama biasa dia pakai untuk melihat burung.
Alex Waisimon, banyak beraksi dalam melindungi hutan, melestarikan cendrawasih dan satwa lain sekaligus berperan meningkatkan ekonomi masyarakat melalui ekowisata Bird Watching.
Dia penerima penghargaan sebagai Pahlawan Keragaman Hayati ASEAN atau The ASEAN Biodiversity Heroes dari ASEAN Center for Biodiversity (ACB). Sebelum itu, Alex juga terima penghargaan Kalpataru 2017 dan Kick Andy Heroes 2017.
Hari itu, meski tak banyak bicara, Alex, tampak gusar. Pembukaan lahan kebun sawit ini mengancam burung endemik di tempat ini. Bahkan, satu spot pemantauan burung yang jadi destinasi wisata para pecinta burung dunia selama 27 tahun terakhir, masuk dalam konsesi perusahaan. Spot ini dikenal dengan nama Jalan Korea.
Jalan Korea karena merupakan bekas jalan pengangkutan kayu satu perusahaan asal Korea. Jamil, pemandu wisata dari Nimbokrang, yang pertama kali mengenalkan titik ini. Read More »
PT Subur Karunia Raya (PT SKR) terindikasi menipu pemilik tanah ulayat marga Yerkohok melalui perjanjian yang telah dilakukan antara PT SKR dan Donatus Yerkohok selaku tetua marga yerkohok di Kampung Jagiro, Distrik Moskona Selatan, Kabupaten Teluk Bintuni.
Berdasarkan keterangan dari Donatus bahwa telah dibayarkan uang ketuk pintu sebesar 195 juta pada tanah seluas 1.649 hektar. Uang tersebut diserahkan oleh pihak perusahaan kepada dua orang sebagai perwakilan keluarga pemilik tempat yaitu Donatus Yerkohok dan Yeremias Yerkohok. Donatus memperoleh uang sebesar 175 juta atas tanah seluas 1.227 hektar, sedangkan Yeremias memperoleh 20 juta atas luasan sekitar 422 hektar. Jika dikalkulasi dalam satuan meter persegi, PT SKR hanya membayar sekitar 14 rupiah per meter persegi kepada Donatus dan 4 rupiah per meter persegi kepada Yeremias.
pemilik hak ulayat tidak tahu tentang isi perjanjian antara PT SKR dan pemilik hak ulayat. Setelah tanda tangan, juga tidak diberikan surat perjanjian asli yang telah ditanda tangani pihak perusahaan kepada pemilik hak ulayat sehingga tidak sesuai dengan prinsip prinsip PADIATAPA yang baik. “Pertama, pada saat itu, perusahaan datang buat surat untuk uang permisi, di situ kita tidak tahu isi suratnya bagaimana, sa mo lapor ini kembali biar tinjau kelapa sawit kembali, kedua kami tanda tangan kami pribumi saja yang tanda tangan, tidak ada pihak berwajib seperti pemeritnah distrik, makanya kemarin itu dong termasuk tipu kita. Surat kesepakatan tidak kasih kita, dong kasih foto saja tidak, perusahan tidak bacakan isi kesepakatan, baru saya juga tidak baca. Waktu itu dong bilang tanda tangan untuk uang ketuk pintu saja, tapi sa lihat begini surat tebal begitu tra mungkin kitong bisa baca” Ujar Donatus.
Selain merasa ditipu dengan perjanjian tersebut, Donatus berkomitmen akan mengembalikan uang permisi yang telah diterima jika perusahaan tidak mau meninjau kembali isi perjanjian. “Kitong minta perusahan untuk tinjau kembali perjanjian itu, kalau tidak itu sa cabut, uang itu sag anti, sa tetap ganti”
Ketika ditanya tentang nama perusahaan yang menjalin kesepakatan dengan pemilik hak ulayat, donatus mengatakan tidak tahu nama perusahan tersebut “Perusahaan sa belum tahu dia punya nama, kita hanya tahu perusahaan masuk di meyado trus masuk di barma” ujar Donatus
Diperkirakan PT SKR mulai menjalin komunikasi dengan tetua marga Yerkohok di kampung Jagiro sejak satu tahun terakhir, namun tidak pernah melaksanakan sosialisasi dengan masyarakat Kampung Jagiro, Distrik Moskona Selatan. Kepala Distrik Moskona Selatan Siprianus Yerkohok juga membenarkan bahwa pihak perusahaan tidak pernah melibatkan pemerintahan distrik. “mereka datang trus langsung ketemu dengan pemilik hak ulayat, tra pernah ketemu dengan kita sebagai wakil pemerintah di tingkat distrik”. Ketika ditanya tentang perjanjian yang telah dibuat antara pihak perusahaan dan pemilik hak ulayat, Siprianus menyampaikan bahwa tidak pernah mengetahui tentang isi pernjanjian dan tidak pernah dilibatkan dalam proses membuat perjanjian.
Tanah Jagiro merupakan tanah miliki leluhur yang diwariskan kepada anggota Marga Yerkohok untuk menunjang kehidupan masyarakat adat. Tanah ini telah dibebani Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit PT SKR padahal masih terdapat hak masyarakat adat di dalamnya. Masih terdapat metejimow (dusun sagu) di areal tersebut. Dusun tersebut memanjang dari kampung Keibur sampai ke kampung Irahima. Menjelang Natal, Tahun Baru atau acara besar lainnya, anggota marga berkunjung ke metejimow untuk memangkur sagu. Yistus Yerkohok sebagai tetua marga Yerkohok berkomitmen untuk tidak melepaskan metejimow kepada PT SKR. “Kalo kitong pu dusun sagu, harus kita kurung, tidak boleh perusahan buka itu. Itu tempat sejarah, dari dulu moyang pangkur di situ sampai kitong ini. Su trada dusun sagu lain lain, itu saja”Read More »
Perluasan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua terus berkembang. Kali ini sasarannya adalah wilayah Assue, Mappi. Investor mulai datang ke wilayah ini tahun 2015.
Pertama kali pertemuan hari Selasa, 12 Mei 2015 antara investor dengan 7 kepala kampung, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. Waktu itu pertemuan bicara soal informasi tentang perkebunan kelapa sawit serta rencana masuknya Tim Amdal.
Pertemuan kedua terjadi tanggal 31 Mei 2015. Pada pertemuan ini yang dibahas soal rencana pembangunan pabrik kelapa sawit serta lahan yang digunakan untuk konsesi seluas 33.775 Ha. Lahan dan pabrik tersebut akan dikelola oleh PT Putra Palm Cemerlang. Selain untuk kelapa sawit, juga untuk perkebunan tanaman pangan sekaligus dengan pabrik pengolahnnya di atas lahan seluas 21.300 Ha oleh PT Ekolindo Palm Lestari, serta untuk perkebunan kelapa sawit seluas 20.725 oleh PT Sawit Murni Sejahtera.
Tiga perusahaan di atas rencananya akan ambil lahan di Busiri, Girimo, Aboge, Kopi, Isage, Kiki, Eci, dan Hafo. Perusahaan dorang banyak kasih janji. Intinya kalau nanti dorang masuk, kesejahteraan dan ekonomi warga akan baik.
Sejak tahun 2015 itu pihak investor su tidak pernah datang.
Sampai awal bulan April 2019 ini, baru dorang datang lagi bikin pertemuan di Aboge. Dorang ubah informasi bahwa kelapa sawit tidak jadi, diganti tanaman pangan. Dorang bagi kuesioner untuk isi biodata kehidupan masyarakat. Setelah isi biodata, dorang bertemu dengan perwakilan Kementrian Lingkungan Hidup. Saat itu masyarakat hampir semua isi kuesioner.
Pada saat tutup rapat saya bicara bahwa pada dasarnya kita punya masyarakat belum tahu tentang perkebunan yang besar dengan luas ribuan hektar. Sehingga kita tidak terima kalau hutan dan tanah dibongkar. Hutan ini seperti kita pu pasar, tempat kita mencari makan. Apakah dengan kehadiran investor itu ke depan dampaknya positif atau negatif? Jadi tanda tanya besar bagi saya. Sebagai warga Aboge (termasuk Aboge dan Girimio), saya menolak. Saya tidak setuju untuk mereka ambil lahan. Kita punya permintaan jangan sampai ke depan tanaman pangan berubah menjadi kelapa sawit. Read More »
Pada November 2018 lalu, Kepala Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Egidius Pius Suam, mengirimkan surat kepada Presiden RI, Joko Widodo, dan ditembuskan kepada beberapa Kementerian terkait, Gubernur Papua dan Bupati Boven Digoel, pimpinan organisasi masyarakat sipil di Papua dan Jakarta. Isi surat memuat keberatan dan penolakan masyarakat hukum adat Awyu terhadap izin dan keberadaan 7 (tujuh) perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam skala luas di wilayah adat Suku Awyu.
Surat tersebut ditandatangani juga oleh lima kepala Marga Suku Awyu, Kepala Kampung Metto, Kepala Kampung Hobinanggo, Kepala Kampung Ujung Kia, Kepala Kampung Kapogu, Kepala Distrik Ki, Ketua LMA Kabupaten Boven Digoel dan didukung 3 kepala suku lainnya, Suku Wambon, Kombai, Korowai di Kabupaten Boven Digoel.
Adapaun ketujuh perusahaan yang dimaksud adalah (1) PT Perkebunan Boven Digoel Sejahtera seluas 39.440 hektar; (2) PT Perkebunan Boven Digoel Abadi seluas 37.010 hektar; (3) PT Boven Digoel Budidaya Sentosa seluas 39.190 hektar; (4) PT Perkebunan Sawit Kifofi seluas 19.940 Hektar; (5) PT Perkebunan Dugu Fofi seluas 38.160 hektar; (6) PT Perkebunan Papua Sentosa seluas 38.725 hektar; dan (7) PT Indo Asiana Lestari seluas 38.525 hektar.
Perusahaan tersebut tersebar dibeberapa wilayah pemerintahan di Distrik Subur, Distrik Ki, Distrik Jair, Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. Total luas kawasan hutan yang terancam dan beralih kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut seluas 250.990 hektar.
Alasan para pemimpin masyarakat tersebut menolak perusahaan karena adanya ancaman hilangnya tanah dan budaya, hilangnya tempat masyarakat menyelenggarakan ritual budaya dan memperoleh atribut adat, hilangnya tempat sumber pangan untuk pemenuhan hidup dan mata pencaharian masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
“Kami minta Presiden RI membatalkan dan mencabut ijin perusahaan, menghentikan proses dan aktifitas perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan hutan di wilayah masyarakat adat Awyu, dengan mempertimbangan UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolan lingkungan hidup, Putusan MK No 35/PUU-X/2012, Intruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit, dan hak masyarakat adat Awyu”, minta Egedisu Pius Suam, dalam surat tersebut.
Namun hingga saat ini, masyarakat belum mendapatkan tanggapan berarti dari pemerintah atas surat tersebut. Sementara perusahaan masih terus aktif mempengaruhi masyarakat untuk menerima rencana perusahaan.
“Berdasarkan kajian kami bahwa sebagian besar perusahaan dimaksud adalah areal usaha perkebunan kelapa sawit milik perusahaan PT. Menara Group yang mendapatkan ijin usaha perkebunan (IUP) pada tahun 2011 dan ijin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan pada tahun 2012. Namun perusahaan tidak memanfaatkan secara maksimal lahan dimaksud, lalu perusahaan lama menjual kepada beberapa perusahaan baru asal Malaysia, yakni perusahaan Tadmax Resources Bhd dan Pacific Inter – link Group”, jelas Franky Samperante dari Yayasan Pusaka. Read More »
1. Hari ini (08 Desember 2018), menjelang hari HAM (Hak Asasi Manusia) internasional, kami dari perwakilan dan pemimpin masyarakat adat Papua, organisasi masyarakat sipil dan agama, telah berdiskusi dan membahas situasi masyarakat adat dan korban pelanggaran HAM, baik korban pelanggaran hak sipil politik maupun hak ekonomi sosial dan budaya, serta permasalahan tanah dan hutan.
2. Saat ini, masyarakat adat (laki-laki dan perempuan) dan wilayah adat kami sedang terancam dan mengalami tekanan oleh kebijakan dan proyek- proyek pembangunan skala besar, yang hendak dan telah berlangsung di Tanah Adat kami, seperti usaha pembalakan kayu, usaha perkebunan dan usaha pertambangan, untuk tujuan komersial.
3. Kami merasakan dampak, kerugian dan kesusahan hidup dikarenakan aktiftas eksploitasi hasil hutan, penggusuran kawasan hutan dan ekstraksi hasil tambang, seperti hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat, kehilangan hutan dan dusun sumber pangan, hilangnya sungai dan keterbatasan mendapatkan air bersih dan bahan pangan yang layak, serta kehilangan pengetahuan budaya dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kami mengalami tekanan intimidasi, kekerasan fisik dan pelanggaran HAM, terjadi konflik dengan perusahaan dan ketidak harmonisan antara masyarakat, termasuk berkonflik dengan penduduk baru datang.
4. Pemerintah menerbitkan kebijakan, program-program dan pemberian ijin usaha kepada perusahaan dan pemillik modal tertentu tanpa ada konsultasi, tanpa ada persetujuan diawal, tanpa ada keterbukaan, tanpa ada informasi yang memadai, tanpa ada penilaian dampak lingkungan yang jujur dan tanpa ada keputusan bebas dari masyarakat. Tanah dan kekayaan alam kami, beralih kontrol dan hak kuasa, pemilikan, dan pemanfaatannya kepada pihak lain yang tidak memberi keuntungan bagi masyarakat sebagai pemilik yang sah.
5. Kami mengawasi dan menyoroti lemahnya pengawasan dan adanya pengabaian oleh aparatus penegakan hukum negara atas kejadian kekerasan dan pelanggaran HAM, serta kejahatan lingkungan. Pemerintah belum dapat memenuhi kewajibannya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan lingkungan. Bahkan terjadi kembali dan berulang kali, yakni kekerasan fisik dan verbal dialami oleh pembela HAM dan lingkungan.
6. Kami tegaskan bahwa tanah dan hutan serta kekayaan alam diwilayah adat kami adalah hak dan sumber kehidupan kami, pendukung kehidupan kami selamanya, bukan hanya hari ini saja tapi hingga generasi mendatang.Karenanya, sejak leluhur kami mengajarkan pe rlindungan alam, pemanfaatan tanah secara adil dan bijaksana, damai dan tanpa menimbulkan rasa permusuhan, serta menggunakan pengetahuan dan hukum-hukum masyarakat adat.
7. Kami masyarakat adat Papua (laki-laki dan perempuan) memiliki hak-hak dasar untuk hidup bebas, bebas berekspresi dan berpikir, tanpa diskriminasi, hak atas keadilan dan mendapat perlakuan yang sama didepan hukum, hak untuk tidak disiksa dan tidak diperbudak, hakmenentukan dan berpartisipasi dalam pembangunan, hak atas tanah adat, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini diatur dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan, undang-undang otonomi khusus provinsi Papua, serta instrument internasional mengenai hak-hak sipil politik, dan hak ekonomi sosial dan budaya. Read More »
Pada 5 Juni 2018, masyarakat adat Mpur, orang-orang lembah Kebar, di kawasan Tambrauw, Provinsi Papua Barat bergerak menuju ke tempat di mana bulldozer-bulldozer sedang beroperasi. Sesampainya di tempat itu mereka langsung mengkonfrontasi perusahaan perkebunan PT Bintuni Argo Prima Perkasa yang tengah menggunduli hutan di kawasan tersebut untuk membuat sebuah perkebunan jagung.
Setelah saling meluapkan amarah dalam kata-kata, mereka lanjut menuju kantor lapangan perusahaan. Begitu sampai di kantor, salah satu orang dari marga Ariks menjelaskan bahwa mereka hendak mengembalikan uang yang mereka terima dari perusahaan tersebut beberapa tahun sebelumnya, memegang segepok uang yang dibungkus sejumlah 100 juta rupiah. Semuel Ariks, perwakilan dari marga tersebut, menghimbau para pekerja perusahaan “Kami sudah meminta perusahaan stop bekerja tapi perusahaan tetap membongkar terus. Dengan demikian, tanah adat kami cabut kembali dan uang kami kembalikan. “
Namun tak ada satu pun dari pihak perusahaan yang berani mengambil uang tersebut, karena akan melemahkan klaim perusahaan atas tanah tersebut. Tidak memperdulikan sikap dari pihak perusahaan, Semuel Ariks memutuskan untuk menaruh uang itu di kantor perusahaan dan kembali pulang bersama masyarakat adat yang datang bersamanya. Perusahaan segera membawa uang tersebut pada kepolisian lokal. Polisi lokal sudah berupaya untuk membujuk kaum adat Ariks untuk menerima uang tersebut, namun mereka tetap menolaknya.
Marga Ariks telah mengetahui bahwa pada Februari tahun ini marga Arumi juga telah mencoba mengembalikan uang pada perusahaan, sejumlah 50 juta rupiah, namun terpaksa membawa uang tersebut kembali ke rumah setelah perusahaan menolak keinginan mereka.
Marga Ariks dan marga Arumi, serta empat marga lainnya pemilik tanah adat di Lembah Kebar, dimana PT BAPP sedang mengembangkan perkebunan jagung seluas 19368 hektar, mengaku telah menerima uang dari perusahaan. Masalahnya, ujar mereka, adalah perusahaan tidak sepenuhnya jujur mengenai rencananya, sehingga hal ini tidak bisa dipandang sebagai pelepasan hak atas tanah adat mereka.
Kontak pertama antara para pimpinan marga dengan perusahaan terjadi ketika mereka dipanggil untuk bertemu di desa Arumi. Tak ada yang ingat persis tanggalnya, menurut mereka pertemuan itu terjadi pada akhir 2015. Mereka menunggu sampai jam 3 sore ketika perwakilan perusahaan akhirnya datang dan menjelaskan mengenai rencana mereka untuk menanam jagung di lembah Kebar.
Para anggota marga bersaksi perihal pihak perusahaan yang berkata bahwa rencana mereka hanyalah melakukan uji-coba studi perkebunan selama dua tahun. Para anggota klan dibuat yakin bahwa mereka hanya menggunakan areal tanah padang rumput yang tidak luas. Saat pertemuan itu terjadi perusahaan justru telah menanam jagung dalam satu areal alang-alang. Perwakilan perusahaan menawarkan uang ‘tali asih’. Arti istilah ini sebenarnya agak ‘kabur’ namun cukup sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan di Tanah Papua. Walaupun istilah itu sebenarnya arti ‘ikatan persahabatan,’ maksud perusahaan adalah mendapatkan tandatangan pemilik hak ulayat sebagai bukti ‘pelepasan hak atas tanah’. Uang yang ditawarkan sebesar 50 atau 100 juta Rupiah untuk setiap marga. Setelah semua marga menerimanya, pada sore harinya perwakilan perusahaan dan masyarakat meninggalkan tempat pertemuan.
Tak satupun dari marga-marga tersebut menyangka kalau mereka telah memberikan tanah leluhur mereka kepada perusahaan sore itu. Mereka bersaksi bahwa informasi yang disampaikan pada mereka sangat minim dan menyesatkan. Pihak perusahaan, kata mereka, bahkan tidak menyebut nama perusahaan. Orang-orang yang berbicara pada pertemuan tersebut seolah-olah sedang merencanakan untuk mengimplementasi sebuah program yang diinisiasi oleh Dinas Pertanian Kabupaten Tambrauw. Tak ada peta yang diperlihatkan saat itu, mereka juga tidak diajak untuk berpartisipasi dalam menukur batas tanah setiap marga. Mereka juga tidak diberikan salinan dari dokumentasi-dokumentasi yang dilakukan oleh perusahaan, semuanya dipegang oleh perusahaan.
Ternyata perusahaan tidak hanya membuka padang rumput namun mulai melakukan penggundulan hutan, termasuk dusun sagu. Ketika ini terjadi, masyarakat mulai protes. Mereka menantang perusahaan di lapangan, namun akhirnya harus membubarkan protes ketika polisi dan tentara bersenjata lengkap datang.
Sekarang ini ada sekitar sepuluh anggota Brimob yang bertugas untuk melindungi perusahaan. Suasana intimidasi ini membuat masyarakat lokal menjadi berhati-hati untuk mengekspresikan penolakan mereka terhadap perkebunan, namun gelombang protes terus berlanjut.
Masyarakat juga sudah meminta dukungan gereja perihal kasus ini. Tahun lalu, setelah perwakilan sinode GKI (Gereja Kristen Indonesia Tanah Papua) berhasil memperoleh dokumen dari perusahaan, masyarakat menemukan bukti bahwa perusahaan sudah memiliki izin yang disahkan oleh Bupati. Izin ini meliputi 19368 hektar tanah perkebunan yang meliputi keseluruhan lembah Kebar, lebih dari 40 km dari ujung ke ujung.
Oleh karena protes tersebut masyarakat mulai menyadari bahwa projek perusahaan tidak ada kaitannya dengan Dinas Pertanian pemerintah melainkan dikelola oleh PT Bintuni Agro Bima Perkasa. Saat itu juga mereka sadar bahwa itu adalah perusahaan yang sama yang bertemu dengan mereka pada 2014 di kantor distrik (camat), pada saat itu perusahaan tersebut mengajukan izin untuk sebuah perkebunan kelapa sawit. Kala itu masyarakat menolak proposal tersebut dengan tegas.
Dari cerita ini, cukup jelas bahwa ini merupakan sebuah kasus perampasan tanah. Perusahaan tidak melakukan sebuah pendekatan yang baik dan jujur dengan enam marga di wilayah itu, yang mana secara hukum Indonesia merupakan pemilik sah atas tanah-tanah yang dimaksud. Cerita atau kejadian seperti ini merupakan hal yang cukup sering terjadi di Tanah Papua, dimana pihak perusahaan yang telah berhasil membujuk para kepala suku atau kepala marga untuk menandatangani dokumen apasaja sebagai bukti sah bahwa masyarakat telah menyerahkan hak kolektif mereka atas tanah yang dimaksud. Hal ini mudah terjadi juga karena hukum pertanahan masih sangat ambigu dan kurang spesifik, sehingga sulit untuk menjadi perlindungan formal bagi masyarakat adat, apalagi ketika berhadapan dengan perusahaan-perusahaan yang jahat dan sangat kuat.
Sekarang ini, masyarakat Kebar menggugat perusahaan agar izinnya dicabut. Setelah diperiksa, ternyata banyak sekali ketidakberesan yang cukup serius dalam izin-izin tersebut, sehingga ini merupakan tuntutan yang sangat wajar.
Pertama, tidak adanya AMDAL dari proyek terkait. Kerangka Acuan sudah disiapkan pada April 2016, namun proses dalam membahas dokumen terakhir ditunda oleh karena adanya penolakan. Hal ini berarti tidak adanya evaluasi dari efek lingkungan dibuatnya perkebunan di kawasan lembah Kebar yang mempunyai keberlimpahan ekologis, suatu lansekap di Papua yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Lembah Kebar dengan ketinggian yang sedang, dipenuhi rerumputan dan rawa-rawa yang melintasi hutan, kawasan yang biasanya rumah bagi komuniti-komuniti ekologis yang unik dan sangat memungkinkan terdapat spesies-spesies yang endemik. Namun hampir seluruh bagian bawah lembah Kebar ini termasuk di dalam izin area perkebunan. Perusahaan juga belum melakukan evaluasi dampak perkebunan pada dua area konservasi seperti Arfak dan pegunungan Tambrauw yang mengelilingi lembah tersebut. Evaluasi juga tidak dilakukan untuk mengetahui efek dari jumlah besar limbah kimia agrikultur yang sudah pasti akan mengalir ke hulu sungai Kamundan yang nanti akan mengotori sungai sepanjang ratusan kilometer melalui hutan dan rawa-rawa di Semenanjung Kepala Burung/Domberai. Tidak pula ada studi mengenai dampak perkenalan pertanian berpola industri dan skala besar pada masyarakat adat di lembah Kebar, yang juga tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi mereka perihal dampak proyek tersebut dalam hidup mereka.
Izin pelepasan kawasan hutan untuk lahan-lahan tersebut adalah sangat bermasalah. Izin ini diterbitkan oleh mantan menteri kehutanan Zulkifli Hasan di hari terkahirnya dalam jabatan sebagai menteri kehutanan, yakni pada 29 September 2014, yang mana pada waktu itu ia sibuk membersihkan mejanya dengan menandatangani semua permintaan perizinan yang ditunda, yang dalam banyak kasus pengesahan perizinan ini tidak melalui proses yang teliti. Dalam hal ini, surat keputusan yang ia tandatangani menyatakan bahwa dari 32390 hektar lahan diminta, sekitar 13021 tidak akan dilepas karena merupakan hutan primer, sehingga hanya 19368 hektar yang akan dilepas. Anehnya, peta yang menyertai surat keputusan tersebut memperlihatkan 32390 hektar penuh–seseorang telah melakukan kesalahan dalam buat peta. Lahan sebesar 13021 ha ini sekarang tidak mendapatkan perlindungan dari negara.
Lebih jauh lagi, surat keputusan pelepasan kawasan hutan sangat jelas menyatakan bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk minyak sawit, namun perusahaan yang beroperasi justru menanam jagung. Apa yang sepertinya terjadi adalah, ketika diketahui bahwa proyek kebun kelapa sawit akan banyak menuai penolakan, pihak perusahaan kembali mendekati Bupati Tambrauw, Gabriel Asem dengan rencana baru. Pada 28 September 2015 ia mengeluarkan surat izin lokasi untuk perusahaan (SK 521/296/2015), dan di hari yang sama juga, ia mengeluarkan surat izin usaha tanaman pangan. (SK 521/297/2015).
Kedua izin tersebut seluas 19,368 hektar, luas sama dengan yang dilepas dari kawasan hutan oleh Zulkfli Hasan. Namun kali ini, peta izin hanya tunjukkan areal yang bukan hutan primer, tanda perusahaan dan pemerintah daerah sudah sadar atas kesalahan yang dibuat oleh mantan menteri tersebut.
Sudah cukup jelas bahwa proses perizinan untuk perkebunan ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Seharusnya izin lokasi diterbit terlebih dahulu, izin yang berlaku selama tiga tahun, sehingga perusahaan dapat melengkapi persyaratan-persyaratan lainnya, termasuk mempersiapkan AMDAL. Setelah semua ini telah dipenuhi, surat izin usaha dapat dikeluarkan (peraturan yang relevan adalah Regulasi Menteri Pertanian 39/2010 tentang izin usaha tanaman pangan). Menurut regulasi Menteri Kehutanan sendiri yang berlaku pada September 2014 (Regulasi Menteri Kehutanan 33/2010 dan 29/2014), bahwa hutan tidak bisa dilepas bila perusahaan belum memiliki izin usaha (sehingga mereka harus melalui proses EIA terlebih dahulu). Kendati demikian, Zulkifli Hasan sering mengabaikan regulasi yang ia buat sendiri sebagaimana ia telah melepas 900,000 hektar kawasan hutan Papua selama lima tahun ia menjabat sebagai menteri kehutanan.
Perusahaan akhirnya menggunakan izin usahanya yang cacat hukum bersama izin dari masyarakat untuk mengelola tanah adat yang mereka peroleh melalui tipu daya untuk mendapatkan Hak Guna Usaha yang akan berlaku selama 35 tahun.
Perusahaan juga menggunduli hutan yang sudah diatur sebagai Kesatuan Hidrologi Gambut dengan fungsi lestari, dan dengan demikian mereka telah melanggar peraturan 57/2016 yang melarang penggundulan atas zona-zona ini, meski perusahaan bersangkutan sudah memiliki izin.
Kawasan rawa-rawa ini merupakan habitat utama bagi pohon sagu, sumber pangan pokok tradisional bagi orang Papua di lembah Kebar. Perusahaan menyisakan beberapa pohon sagu ketika menggunduli hutan, dan sekarang pohon-pohon tersebut dikelilingi oleh tanaman jagung, sehingga membuat pohon sagu menjadi rentan keberadaannya dikarenakan kawasan-kawasan yang tadinya basah sekarang telah mengering.
PT Bintuni Agro Prima Perkasa adalah salah satu dari sekitar sepuluh perusahaan perkebunan di Tanah Papua yang terhubung dengan Salim Group. Tiga perusahaan sedang aktif membuka hutan dan tanah lainnya, yaitu: PT Rimbun Sawit Papua, PT Subur Karunia Raya, dan PT Bintuni Agro Prima Perkasa, dan ketiga perusahaan tersebut semuanya ditentang oleh komunitas masyarakat. Ada tiga lagi yang diyakini mempunyai izin lengkap sehingga mungkin akan mulai beroperasi dalam waktu dekati: PT Menara Wasior, PT Tunas Agung Sejahtera, dan PT Permata Nusa Mandiri.
Tak ada satupun dari perusahaan yang disebut di atas dimiliki secara langsung oleh Antoni Salim sendiri, namun banyak sekali bukti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dikendalikan oleh Salim Group, mungkin sekali melalui praktik “nominee agreement” yang memungkinkan bagi pemilik benar yang akan dapat untung dari usaha (beneficial owner) untuk tidak tercantum dalam daftar saham. Salim Group tidak pernah membantah secara publik kaitannya dengan perusahaan-perusahaan perkebunan tersebut, yang sekarang ini beroperasi di bawah nama Indogunta Group.
Sebagai salah satu dari produsen makanan olahan terbesar di Indonesia, Salim Group adalah pengkonsumsi besar jagung. Mereka menggunakan jagung untuk usaha makanan ringan, yang mana usaha Indofoodnya beroperasi bersama dengan Pepsico. Usaha patungan ini, Indofood Fritolay Makmur memiliki franchise untuk produk Pepsico di Indonesia, seperti merek snack Cheetos dan Doritos. Keluhan mengenai hak pekerja di perusahaan perkebunan sawit IndoAgri yang dimiliki Salim Group, serta keluhan yang tidak spesifik perihal keterlibatan Group dalam penggundulan hutan dan sengketa sosial/lahan, sudah membuat Pepsico menekan Salim Group bahwa kerjasama antara dua perusahaan tidak akan lagi menggunakan minyak kelapa sawit dari IndoAgri pada Januari 2017. Komitmen ini diberlakukan hanya untuk minyak sawit saja, belum ada komitmen yang spesifik mengenai jagung.
“Protes telah disampaikan sejak tahun 2015, tetapi jawabannya justru lahir ijin pelepasan hutan”
Jakarta – Koalisi masyarakat sipil melakukan aksi protes ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada jumat (23/03/2018), protes tersebut terkait pemberian ijin pelepasan kawasan hutan produksi konversi untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Menara Wasior (MW) di daerah Kali Wosimi, Distrik Naikere dan Distrik Kuriwamesa, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat.
Penolakan masyarakat terhadap pemberian ijin kepada perusahaan perkebunan sawit ini telah disampaikan ke KLHK sejak 2015 silam, akan tetapi hingga kini tak ada respon dari pihak kementerian. Namun, berbalik fakta atas penolakan Menteri KLHK, Siti Nurbaya Bakar justru mengeluarkan ijin SK No. 16/1/PKH/PMDH/2017, tertanggal 20 September 2017 lalu kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Menara Wasior (MW).
Dalam aksi tersebut hadir juga perwakilan masyarakat sipil dari Wasior, Teluk Wondama, Stephanus Marani yang menyampaikan bahwa aktivitas mengancam dan akan menghilangkan tempat hidup masyarakat adat Suku Wondamen, Torowar dan Mairasi.
Hal senada juga disampaikan oleh Yohanes Akwan, ketua Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Papua Barat bahwa, pemberian ijin sepihak yang datang dari Jakarta sangat merugikan masyarakat asli Papua.
“Hutan merupakan sumber kehidupan kami, bukan kelapa sawit, kami tidak mungkin makan sawit jika dusun sagu kami berubah menjadi perkebunan sawit” Ujar Yohanes dalam orasinya.
Menurutnya, masyarakat yang dikawasan ini pernah menjadi korban kekerasan aparat keamanan pada tahun 2001. Sebagaimana diketahui peristiwa Wasior berdarah yang terjadi pada tahun 2001 oleh Komnas HAM pada tahun 2004 telah dinyatakan sebagai kasus PELANGGARAN HAM BERAT. Peristiwa Wasior Berdarah terjadi selama kurun waktu April- Oktober 2001.
Juli 2004, Tim Adhoc Papua dari Komnas HAM yang menyelidiki kasus Wasior Berdarah 2001 dan Wamena Berdarah 2003 menemukan beberapa fakta, meluasnya kekerasan dan menyimpulkan bahwa terjadi kekerasan yang terstruktur oleh militer Indonesia baik TNI/POLRI.
Sementara itu direktur Yayasan Pusaka, Franky Samperante menyoroti tidak konsistennya pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Menurutnya, sepanjang tahun 2017 pemerintah telah mengeluarkan ijin pelepasan kawasan hutan terhadap 3 perusahaan di Papua yang luasnya mencapai 60.000 ha. Tak hanya perusahaan perkebunan, pemberian ijin juga diikuti perusahaan pertambangan yang luasnya capai 85.000 ha. Read More »