Harian Radar Sorong (19 april 2017), memuat berita mengenai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penandatanganan persetujuan mengalihfungsikan kawasan hutan lindung Gunung Botak, Distrik Momiwaren, Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, Ir. Hendrik Runaweri, pemerintah daerah mengusulkan alih fungsi kawasan hutan lindung Gunung Botak menjadi hutan produksi seluas 2000 hektar dan Menteri LHK menyetujui seluas 40 hektar. Diberitakan pula, alih fungsi hutan lindung ini untuk kepentingan industri semen PT. SDIC Papua Cement Indonesia di Maruni, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, dalam memenuhi bahan baku semen.
Dalam kasus ini, belum ada informasi mengenai bagaimana pemerintah daerah maupun Menteri memenuhi berbagai persyaratan dan prosedur alih fungsi kawasan hutan maupun tukar menukar kawasan hutan, seperti: kajian Tim Terpadu, kajian dampak dan kesepakatan tata batas yang melibatkan masyarakat. Karenanya, opini bermunculan bahwa pemerintah abai dalam melaksanakan ketentuan dan akomodatif terhadap kepentingan korporasi.
Tahun 2014, Menteri LHK (ketika itu masih Menteri Kehutanan) menerbitkan keputusan SK 710 tentang perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan, serta penunjukkan kawasan hutan menjadi kawasan hutan, didalamnya termasuk menetapkan daerah Gunung Botak di Distrik Momiwaren sebagai kawasan hutan lindung. Berdasarkan Dokumen KLHS RTRWP Papua Barat (2013), diketahui daerah Gunung Botak merupakan daerah perbukitan dan pegunungan karst, serta kawasan rawan bencana. Sejalan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst, idealnya kawasan hutan tersebut dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung.
Kebijakan pemerintah mengalihfungsikan dan memberikan izin tukar guling kawasan hutan dimaksud juga mengabaikan hak dan partisipasi masyarakat adat setempat. Tokoh masyarakat dari marga-marga yang mengklaim pemilik tanah adat setempat, Marga Sayori, Ainusi, Tirirbo dan Mukiri, yang berdiam di Kampung Siep, Yekwandi, Mawi, dan sekitarnya, mengungkapkan kalau belum ada musyawarah dengan pemerintah dan perusahaan membicarakan pemanfaatan kawasan Gunung Botak. (Baca: PT SPCI Membohongi Masyarakat Adat Pemilik Gunung Botak)
Masyarakat adat setempat menceritakan mitologi Gunung Botak berhubungan dengan identitas budaya dan leluhur mereka, seperti kisah lubang batu Yaimeki. Kawasan ini juga merupakan lahan sumber pangan dan tangkapan air. Pengetahuan dan nilai ini jarang dipertimbangkan dalam pemberian keputusan proyek-proyek pembangunan.
Pemerintah berdalil, ekstraksi potensi pasir kuarsa dari Gunung Botak akan menurunkan harga semen merek Conch yang diproduksi PT. SDIC di pasar lokal sebesar Rp. 57 ribu per sak (Baca: Menghadap Bupati SDIC Janji Turunkan Harga). Selama ini bahan baku pasir kuarsa semen Conch dibawa dari Kalimantan, sehingga menaikkan harga. Namun, anehnya harga semen Conch asal Manokwari dijual didaerah Tual seharga Rp. 46 ribu per sak.
Perubahan kebijakan hanya dengan mempertimbangkan kepentingan kelompok dan didasarkan kalkulasi ekonomi untung rugi semata-mata, hanya akan mendatangkan konflik, ketidakadilan dan diskriminasi, yang menguntungkan kelompok dan individu tertentu.
Kontroversi SDIC Papua
Perusahaan semen PT. SDIC Papua Indonesia merupakan proyek kerjasama perusahaan negara asal China, SDIC (State Development and Investment Corp) dan Anhui Conch Group, yang ditandatangani pada 25 September 2014. (Lihat: Info SDIC). Merek semen yang dihasilkan dari perusahaan ini adalah Conch. Selain di Maruni Papua, perusahaan semen Conch ini juga beroperasi di Tabalong, Kalimantan Selatan, Maros, Sulawesi Selatan, dan Merak, Banten, serta memiliki 200 pabrik diseluruh dunia dengan kapasitas produksi 300 juta ton per tahun.
Sejak awal, pendirian pabrik semen Conch telah mengundang masalah karena isu lahan dan bagi hasil dari pemanfaatan bahan baku semen dengan masyarakat adat setempat. Dalam pemberitaaan pada awal Januari 2017, diketahui masyarakat adat setempat masih melakukan pemalangan pintu masuk pabrik semen dan menuntut pembayaran kompensasi tanah.
Keberadaan lokasi dan aktivitas pabrik semen yang berada dalam lingkungan perkampungan tempat tinggal warga dan sungai Maruni, maka dipastikan akan membawa dampak pengaruh ataupun berkurangnya kwalitas lingkungan dan dampak sosial lainnya. Karenanya, LMA Papua Barat mendesak pemerintah dan perusahaan untuk menyampaikan dampak dan pengelola perubahan lingkungan dari aktivitas perusahaan (baca: LMA Papua Barat Minta AMDAL PT SDIC di Publis).
Kontradiksi PT SDIC lainnya adalah isu permasalahan buruh. Perusahaan menggunakan buruh dari China yang tidak dilengkapi dengan dokumen legal. Namun, pemerintah telah bertindak untuk memulangkan pekerja tidak legal tersebut. Perusahaan juga memotong upah buruh sebesar Rp. 200 ribu dan tidak sesuai dengan angka yang tertera pada slip gaji. Hal ini memicu aksi mogok buruh. (baca: Pekerja PT SDIC Mogok Kerja).
Sumber: Pusaka http://pusaka.or.id/kepentingan-korporasi-dibalik-alih-fungsi-hutan/