(7/6/2014) Sudah berulang kali manager perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Inti Kebun Sejahtera (IKS) mengunjungi rumah Frans Kalawen dan mengajak bertemu di kantor IKS di Aimas, untuk menegosiasikan tanah hutan adat ribuan hektar milik keluarga Frans Kalawen di Matawolot, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Frans Kalawen yang berprofesi sebagai petani dan juga menjabat Ketua Bamuskam di Kampung Klawotom, Distrik Salawati, tidak tawar hatinya dan tetap berkeras menolak kehadiran perusahaan kelapa sawit tersebut. “Meskipun saudara-saudara lainnya sudah menyerahkan tanah hutan adatnya, tetapi saya tidak mau takluk pada perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut. Saya sudah melihat dampak kehadiran perkebunan kelapa sawit yang tidak memberikan manfaat pada kami masyarakat adat Papua”, ungkap Frans Kalawen, menyikapi tawaran dan keinginan PT. IKS.
Perusahaan IKS menawarkan uang Rp. 22 juta untuk tanah hutan adat ribuan hektar milik Frans Kalawen. Nilai tersebut tidak sebanding dengan potensi kekayaan yang terkandung dalam kawasan hutan tersebut, seperti: kayu merbau, bintanggur, dusun buah langsat, sagu, pohon tikar, binatang dan sebagainya. Frans Kalawen menceritakan bahwa masyarakat mengalami kerugian karena perusahaan tidak mengganti kekayaan alam tersebut. “Nilai uang yang diberikan dan janji-janji tidak sebanding dengan kerugian masyarakat dan hutan yang hilang. Marga hanya menerima uang Rp. 7 – 11 juta dan janji-janji yang belum direalisasikan”, jelas Frans.
Terungkap perusahaan IKS sudah mulai membuka hutan setempat (land clearing) semenjak tahun 2003 dan mulai melakukan penanaman pertama di daerah Ninjemur dan Modan, Distrik Moisigin, pada tahun 2008. Artinya perusahaan telah melanggar hukum karena kegiatan penebangan dilakukan sebelum ada izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan (Menhut), yang baru dikeluarkan pada September tahun 2012, berdasarkan SK Menhut Nomor SK.516/Menhut-II/2012, dengan luas areal 19.655,35 hektar di Distrik Salawati dan Segun. [lihat catatan di bawah]
Berdasarkan Laporan Telapak/EIA (2012), ditemukan perusahaan terlebih dahulu melakukan pengelolaan lahan dan penanaman pada Januari 2008, sedangkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) baru dikeluarkan pada September 2008. Disinyalir aktifitas PT. IKS yang menyimpang berlangsung dan diketahui oleh petugas Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat, tetapi tidak melakukan tindakan penegakan hukum.
Kebanyakan lahan perusahaan kebun kelapa sawit PT. IKS dimiliki masyarakat adat Moi Sigin dari Kampung Klawotom, seperti: marga Kalagilit, Kalawen dan Sawat. Diketahui kepala marga menandatangani surat perjanjian sewa dan penggunaan lahan, tetapi mereka tidak memegang dan memiliki arsip perjanjian tersebut, termasuk janji-janji bantuan pendidikan, pembangunan perumahan warga dan biaya pengobatan, serta pemberian lahan plasma. Masyarakat juga tidak menerima dokumen formal perusahaan, seperti: izin perusahaan, AMDAL dan sebagainya. Sehingga masyarakat tidak pernah mengkontrol penyimpangan yang dilakukan perusahaan.
Dilapangan lokasi baru di daerah Matawolot ditemukan, perusahaan melakukan penimbunan kayu hasil penebangan, penggusuran dusun-dusun sagu dan beroperasi beberapa puluh meter dari tepi sungai. Hal-hal ini menyalahi ketentuan dalam SK Menhut 516 tahun 2012 dan ketentuan perlindungan hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value).
Idealnya pemerintah dan aparat penegak hukum segera mengambil tindakan untuk menegakkan hukum terhadap tindakan perusahaan-perusahaan yang menyimpang. Pembiaran terhadap pelanggaran yang berulang-ulang terjadi akan menimbulkan guncangan sosial dan merugikan pemerintah, masyarakat dan perusahaan.
Ank, Juni 2014
Sumber: http://pusaka.or.id/menolak-takluk-pada-iks/
[Informasi tambahan dari awasMIFEE terkait dengan legalitas penebangan hutan oleh PT IKS sebelum tahun 2012: Menurut data Pemkab Sorong pada tahun 2011, di lokasi PT IKS ada 850 ha di Distrik Seget dan 2700 ha di Distrik Salawati dengan status Areal Penggunaan Lain yang bukan hutan negara, maka tidak perlu izin dari Menhut. Kalau kita lihat data deforestasi di globalforestwatch.org, sebagian besar deforestasi pada tahun 2008-2012 memang ada di dalam dua areal APL ini. Semua pelanggaran lain disebut di artikel ini tidak diragukan.]