Perwakilan Lembaga Masyarakat Adat Malind Bian telah kunjungi Jayapura pada bulan Desember lalu serta warga Kebupaten Merauke yang sudah merasa dampak buruk megaprojek MIFEE. Di Jayapura mereka bertemu dengan beberapa media setempat untuk menjelaskan berbagai masalah masyarakat adat di Merauke sedang menghadapi terkait investasi raksasa perkebunan kelapa sawit dan tebu. Dibawah ada sebuah sajian artikel dari media Papua Tabloid Jubi dan Aliansi Demokrasi untuk Papua. Diantara isu-isu disampaikan LMA ada janji perusahaan untuk membagnun sarana kesehatan dan pendidikan yang tidak pernah jadi, janji untuk ganti rugi yang nanti tidak sesuai, pencemaran, kekurangan informasi tentang status legal tanahnya atau keikutsertaan oknum aparat dalam operasi perusahaan. Ketiga warga terima kerja sebagai karyawan perkebunan setelah hutannya dibabat, ternyata upah terlalu rendah untuk menemui kebutuhan sehari-hari. LMA juga minta semua izin perusahaan dibatalkan, karena tidak pernah ada keterlibatan masyarakat adat dalam proces memutuskan tentang pembangunan di tanah ulayat mereka.
Janji Perusahaan Bangun Sarana Pendidikan Bohong
Sumber: http://www.aldp-papua.com/?p=8009
Jayapura – Janji perusahaan yang berinvestasi di Distrik Muting, Elikobel dan Ulilin, Kabupaten Merauke, untuk membangun sarana pendidikan serta kesehatan bagi warga pemilik tanah, tak pernah terwujud.
“Bohong semua, kita tunggu sampai sekarang tapi tidak ada jawaban. Denah sudah dibuat, tapi denah tinggal denah,” kata Ketua LMA Malind Bian, Sebastianus Ndiken di Jayapura, Jumat.
Menurut dia, dalam sosialisasi perusahaan kepada marga pemilik tanah di distrik Muting beberapa waktu lalu, mereka menjanjikan lapangan kerja, memajukan pendidikan juga memberi beasiswa bagi putera daerah. “Kita sudah minta, tapi perusahaan bilang belum, kapan realisasinya, kita tidak tahu, padahal mereka sudah beroperasi beberapa lama di tanah adat kami,” ujarnya.
Ndiken mengungkapkan, salah satu perusahaan yang beroperasi di Muting adalah PT Agriprima Cipta Persada (ACP). Setelah kurang lebih empat bulan beraktifitas, mulai terlihat hutan rakyat di wilayah itu ditebang. “Ini denahnya saya ada bawa, Cuma ada denah sekolah, denahnya dibuat bagus, tapi sekolahnya tidak pernah ada,” katanya lagi.
Perusahaan besar yang beroperasi di Merauke diantaranya PT Korindo Tunas Sawaerma, PT Bio Inti Agrindo, PT Berkat Cipta Abadi dan PT Papua Agro Lestari yang bergerak di bidang perkebunan sawit.
Saat masuk, perusahaan mengatakan hanya meminjam tanah atau mengontrak selama 35 tahun, dan setelahnya dikembalikan kepada pemilik. “Kami percaya itu. Tapi saat ini kami mendapatkan informasi bahwa salah satu perusahaan sawit yaitu PT Bio Inti Agroindo (BIA), telah mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU). Kami menyadari bahwa pada prinsipnya, berakhirnya HGU mengacu pada kembalinya tanah ke Negara setelah 35 tahun digunakan oleh perusahaan. Bagi kami, ini artinya perusahaan telah gagal mengamankan hak-hak adat kami sebagai pemilik tanah yang sesungguhnya,” paparnya.
Ia meminta perusahaan untuk segera memenuhi janjinya. “Kita tidak mau ada masalah, jangan sampai persoalan Mesuji terjadi di tanah Malind Anim. Kita mau ada pembangunan, tapi pembangunan yang tidak menipu masyarakat,” pungkasnya.
Berdasar data terbaru pemerintah Merauke, sebanyak 10 dari 46 perusahaan sudah beroperasi aktif di Merauke sejak awal tahun 2012.
Lokasi proyek merupakan tempat tumbuhnya kayu alam, binatang dan sumber makanan pokok satu-satunya bagi suku setempat. Kabupaten Merauke sendiri memiliki luas 4,7 juta hektar dengan 95,3 persen terdiri dari kawasan hutan. (JO/Jayapura)
LMA Minta Perusahaan Besar Ditarik dari Merauke
Sumber: http://www.aldp-papua.com/?p=8004
Jayapura – Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malind Bian mendesak pemerintah mencabut dan membatalkan Izin lokasi sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan serta kelapa sawit di Kabupaten Merauke.
“Aktivitas perusahaan, kami saksikan sendiri telah membongkar hutan adat kami yang selama ini kami lindungi, jaga dan pelihara. Pembongkaran hutan adat telah turut pula menghilangkan berbagai macam obat-obatan tradisional,” kata Ketua LMA Malind Bian, Sebastianus Ndiken, Jumat.
Ia mengatakan, warga semakin sulit mencari sagu, binatang buruan, bahan pakaian tradisional serta perlengkapan adat yang selama ini tersedia di hutan. Bagi mereka, hutan adat yang telah rusak sama dengan menghilangkan budaya Malind Anim.
“Perusahaan datang ke kampung tidak pernah memberi informasi lengkap, jelas dan benar kepada kami. Perusahaan juga tidak melibatkan masyarakat adat dan pemilik tanah sejak awal rencana investasi. Begitu juga hal-hal mengenai peraturan dan perijinan tidak disampaikan secara terbuka, jelas dan terperinci, termasuk perihal dampak yang berpotensi muncul dari ijin-ijin perusahaan tersebut terhadap tanah adat kami,” katanya.
Dalam proses sosialisasi, konsultasi, verifikasi marga pemilik, dan negosiasi yang dilakukan oleh perusahaan, kata Ndiken, tidak pernah pula melibatkan marga secara keseluruhan. Perusahaan hanya mengajak ketua marga dan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk Aparat Pemerintah Distrik agar tanah adat digusur dan dibongkar. Pelibatan dimaksud seperti hadir dalam proses penyusunan AMDAL, konsultasi dan penilaian AMDAL.
“Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang merupakan keterwakilan masyarakat adat justru tidak dilibatkan. Sementara di pihak masyarakat pemilik tanah yang tanahnya belum digusur dan dibongkar, tidak juga dilibatkan. Hal ini berakibat tidak semua keinginan dan aspirasi kami dapat tersampaikan dengan baik,” katanya.
Menurut dia, pemerintah yang seharusnya memiliki tugas dan kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memajukan hak-hak warga, tidak berpihak kepada masyarakat adat dan marga-marga pemilik tanah.
Perusahana besar yang beroperasi di Merauke diantaranya PT Korindo Tunas Sawaerma, PT Bio Inti Agrindo, PT Berkat Cipta Abadi dan PT Papua Agro Lestari yang bergerak di bidang perkebunan sawit.
Saat perusahaan masuk, pemerintah mengatakan tanah adat hanya dipinjam atau dikontrak selama 35 tahun dan setelahnya akan dikembalikan kepada pemilik. “Kami percaya itu. Tapi saat ini kami mendapatkan informasi bahwa salah satu perusahaan sawit yaitu PT Bio Inti Agroindo (BIA) yang beroperasi di atas tanah kami, telah mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU). Kami menyadari bahwa pada prinsipnya, berakhirnya HGU mengacu pada kembalinya tanah ke Negara, setelah 35 tahun digunakan oleh perusahaan. Bagi kami, ini artinya perusahaan telah gagal mengamankan hak-hak adat kami sebagai pemilik tanah yang sesungguhnya,” paparnya.
Ini artinya juga kata dia, bahwa perusahaan telah sengaja melakukan penipuan, pengabaian dan penghapusan hak-hak adat dengan mendapatkan persetujuan atas HGU tersebut. “Untuk itu, perlu kami tegaskan bahwa jika perusahaan ingin melanjutkan penggunanaan tanah adat maka perusahaan wajib meminta persetujuan kami sebagai pemilik tanah dan harus memastikan tanah tersebut akan dikembalikan lagi kepada marga pemilik setelah selesai digunakan,” kata Ndiken.
Lembaga masyarakat adat kata dia juga menuntut segera dicabut izin lokasi dari atas tanah adat. Perusahaan harus pula bertanggungjawab memulihkan hutan dan memberi kompensasi kepada masyarakat di sepanjang pesisir Kali Bian sampai Kaptel. “Pemerintah juga harus mengambil tindakan dan penanggulangan gangguan dan pencemaran lingkungan akibat aktivitas perusahaan,” kata Ndiken.
Ingkari Kesepakatan, Perusahaan Kubur Kayu Milik Warga
Sumber: http://tabloidjubi.com/?p=7647
Jayapura (22/12) – Hingga kini, PT. Agri Cipta Persada (ACP) menguburkan kayu yang disepakati perusahaan dan warga dikelola oleh pemilik lahan yakni warga setempat. Pasalnya, kayu itu adalah milik mereka (warga).
Namun, kesepakatan hanya kesepakatan. Ribuan kayu yang ditebang perusahaan dikuburkan secara diam-diam. Tapi, kemudian warga mengetahui ulah perusahaan. Padahal sebelumnya, dalam kesepakatan setelah kayu ditebang, dikembalikan ke warga untuk dikelola. Hal ini dikemukakan Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malind Bian, Sebastianus Ndiken kepada wartawan di Abepura, Jumat (21/12).
Sebenarnya, kata dia, warga berkeinginan keras untuk mengolah kayu-kayu tersebut. Namun, sulit karena tak ada alat. Selain itu, tak ada tempat yang siap untuk dipasarkan. Hingga kini, kayu yang sudah digusur eskavator milik perusahaan di atas lahan seluas 200 hektar dikubur. “Perusahaan tidak jual,” kata Sebastianus.
Jenis-jenis kayu yang dikubur masing-masing jenis kayu meranti, kayu dammar, kayu rahay, kayu bus merah dan putih, kayu matoa, dan kayu dayo. Sebatian mengaku, persoalan itu sudah disampaikan ke pemerintah. Namun, hingga kini belum ada tanggapan. “Kami sudah sampaikan masalah ini ke pemerintah, tapi sampai sekarang belum ada tanggapan,” tuturnya.
Sebastianus menambahkan, PT. Agri Cipta Persada baru beroperasi di kawasan Muting sekitar September 2012 lalu. Perusahaan ini menanam kelapa sawit di areal tersebut. Areal tanah yang dibutuhkan untuk sawit seluas 80 ribu hektare. (Jubi/Musa)
Suku Yeinan Tolak Perusahaan Sawit
Sumber: http://tabloidjubi.com/?p=7652
Jayapura (22/12) – Suku Yeinan di Kabupaten Merauke, Papua, menolak perusahaan kelapa sawit yang hendak berupaya untuk beroperasi di wilayahnya. Perusahaan sawit yang hendak beroperasi di Yeinan adalah PT. Wilmar Group.
David Dagijay, warga suku Yeinan kepada wartawan di Abepura, Jumat (21/12) mengatakan saat ini pihaknya sementara tarik ulur dengan PT. Wilmar Group yang sementara berupaya untuk membuka lahan kelapa sawit di Yeinan. “Kami masih tarik ulur untuk sepakati kehadiran perusahaan itu. Rata-rata masyarakat menolak perusahaan sawit,” katanya.
PT. Wilmar Group berencana membuka lahan sawit seluas 40 ribu hektare. Namun, hingga kini belum dibuka lantaran warga pemilik lahan belum sepakat melepas tanahnya. Menurut David, suku Yeinan memiliki enam kampung masing-masing kampung, Poo, Torai, Erambu, Kweel, Bupul dan Tanas. “Dari enam kampung ini dua diantaranya yang sudah sepakat lepas tanahnya untuk diolah oleh perusahaan. Dua kampung itu adalah Bupol dan Poo. Empat kampung lainnya belum,” ujarnya.
Warga tak mau dibohongi. Suku Malin belajar dari perusahaan sawit yang sudah beroperasi di wilayah warga Malind Anim di Merauke. Kini Mereka (warga malin anim), menderita akibat perusahaan sawit.Warga kehilangan mata pencaharian. Sulit berburu rusa dihutan karena sudah dibabat habis perusahaan. Warga juga tak bisa mengkosumsi air sungai disekitar karena terkontaminasi limbah perusahaan sawit.
David menuturkan, sudah ada satu perusahaan sudah beroperasi di Yeinan yakni PT. Hardayat. Perusahaan Hardayat menanam tebu. “Bagi kami, cukup satu perusahaan saja, jangan tambah lagi. Kalau perusahaan tebu ini kami ijinkan karena masa umur tebu tidak memakan waktu lama. Tapi, sawit membutuhkan waktu yang cukup lama. Kemudian, menguras tanah menjadi tandus dan tak berair,” tuturnya. (Jubi/Musa)
Masih Ada Oknum Aparat Backup Perusahaan di Merauke
Sumber: http://www.aldp-papua.com/?p=8037
Jayapura – Untuk mengamankan wilayah penebangan hutan di Kabupaten Merauke, sejumlah perusahaan menggunakan jasa pengamanan aparat Indonesia.
“Dan itu sudah menjadi rahasia, kita mau bilang apa. Mereka terlibat mulai dari sosialisasi sampai pelaksanaan di lapangan,” kata Paustinus Ndiken, Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Malind Bian di Jayapura.
Menurut dia, keikutsertaan oknum petugas, membuat proses penyerahan lahan kepada perusahaan menjadi mulus. “Ada kejadian dimana mereka ikut meminta masyarakat menyerahkan lahan pada perusahaan, bahkan ada tokoh adat kita dipukul saat sosialisasi. Waktu itu situasinya panas, tidak tahu kenapa, tiba-tiba tokoh adat dipukul aparat,” ujarnya.
Ia menambahkan, warga tidak setuju dengan adanya pihak keamanan dalam proses penyerahan lahan. “Kalau mereka mau amankan daerah, tidak apa, tapi jangan ikut campur dalam proses, ini kaitan pemilik ulayat, pemerintah dan perusahaan,” katanya lagi.
Ketua LMA Malind Bian, Sebastianus Ndiken mengatakan perusahaan mengontrak tanah mereka dengan harga di bawah. Pada tahun 2007, tanah perhektar dilepas Rp50 ribu. Kemudian naik menjadi Rp70 ribu per hektar dan kini Rp350 ribu/ha. “Kami mengalami dampak yang luar biasa. Kami minta harga tanah dinaikan menjadi lima juta. Tapi perusahaan tidak mau,” ucapnya.
Perusahaan kata dia juga berjanji untuk membangun sarana pendidikan serta kesehatan. “Tapi tidak pernah dipenuhi, janji tinggal janji,” katanya.
David Dagijay, warga Suku Yeinan di Merauke mengungkapkan orang Malind Anim tak ingin dibohongi. “Kami memang ragu perusahaan bisa membuat sekolah. Sementara kontrak lahan selama 35 tahun. Jangan sampai setelah itu, tanah kami jadi milik perusahaan,” pungkasnya.
Wilayah Yeinan meliputi kampung Toray, Poo, Erambu, Tanas hingga Kweel. Yeinan adalah bagian dari suku besar Malind Anim.
Karyawan Kecewa Perusahaan Bayar Gaji Tak Sesuai
Sumber: http://www.aldp-papua.com/?p=8047
Jayapura – Ratusan karyawan PT Berkat Cipta Abadi di Merauke kecewa perusahaan tak memberi upah sesuai kerja mereka. Karyawan bekerja menurut kelompok dengan insentif perhari sebesar Rp62 ribu.
“Itu sangat kecil, sementara kita kerja di lapangan panas-panas. Kita minta dinaikan sampai delapan puluh atau seratus ribu perhari,” kata Melkias Basik Basik, karyawan Berkat Cipta Abadi di Jayapura
Ia mengatakan, selama enam bulan bekerja di lahan pembibitan, tak pernah seharipun ia absen. “Tapi ini kerja fisik. Iya, uang itu pakai untuk kebutuhan sehari-hari,” kata pria 27 tahun itu.
Menurut dia, selayaknya perusahaan membayar gaji sesuai ketentuan perundang undangan. Dengan hanya menerima Rp62 ribu/hari, dalam sebulan Melkias mendapat upah rata-rata Rp1,8 juta. Sementara apabila disetarakan dengan gaji para petinggi perusahaan, berbeda jauh dibawah. “Ini yang buat kita kecewa, kita minta ada penaikan,” ucapnya.
PT Berkat Cipta Abadi bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit. Selain BCA, ada juga PT Korindo Tunas Sawaerma, PT Bio Inti Agrindo, dan PT Papua Agro Lestari. PT Korindo misalnya mempekerjakan hingga ribuan karyawan dengan luas lahan sawit puluhan ribu hektar. Korindo adalah perusahaan patungan Korea dan Indonesia yang menguasai lahan antara Kabupaten Boven Digoel dan Merauke.
Neles Tuwong, aktivis Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke menambahkan menjadi tanggungjawab perusahaan memberi kesejahteraan bagi karyawan. “Ini adalah masalah sendiri yang perlu diatasi. Saya kira pemilik tanah perlu mendapat porsi yang lebih besar,” ucapnya.