Masyarakat Adat Mpur Mengembalikan 100 Juta Rupiah Ke Pt Bintuni Agro Prima Perkasa, Sebuah Upaya Untuk Mengambil-Alih Kembali Tanah Mereka.

Pada 5 Juni 2018, masyarakat adat Mpur, orang-orang lembah Kebar, di kawasan Tambrauw, Provinsi Papua Barat bergerak menuju ke tempat di mana bulldozer-bulldozer sedang beroperasi. Sesampainya di tempat itu mereka langsung mengkonfrontasi perusahaan perkebunan PT Bintuni Argo Prima Perkasa yang tengah menggunduli hutan di kawasan tersebut untuk membuat sebuah perkebunan jagung.

Setelah saling meluapkan amarah dalam kata-kata, mereka lanjut menuju kantor lapangan perusahaan. Begitu sampai di kantor, salah satu orang dari marga Ariks menjelaskan bahwa mereka hendak mengembalikan uang yang mereka terima dari perusahaan tersebut beberapa tahun sebelumnya, memegang segepok uang yang dibungkus sejumlah 100 juta rupiah. Semuel Ariks, perwakilan dari marga tersebut, menghimbau para pekerja perusahaan “Kami sudah meminta perusahaan stop bekerja tapi perusahaan tetap membongkar terus. Dengan demikian, tanah adat kami cabut kembali dan uang kami kembalikan. “

Namun tak ada satu pun dari pihak perusahaan yang berani mengambil uang tersebut, karena akan melemahkan klaim perusahaan atas tanah tersebut. Tidak memperdulikan sikap dari pihak perusahaan, Semuel Ariks memutuskan untuk menaruh uang itu di kantor perusahaan dan kembali pulang bersama masyarakat adat yang datang bersamanya. Perusahaan segera membawa uang tersebut pada kepolisian lokal. Polisi lokal sudah berupaya untuk membujuk kaum adat Ariks untuk menerima uang tersebut, namun mereka tetap menolaknya.

Marga Ariks telah mengetahui bahwa pada Februari tahun ini marga Arumi juga telah mencoba mengembalikan uang pada perusahaan, sejumlah 50 juta rupiah, namun terpaksa membawa uang tersebut kembali ke rumah setelah perusahaan menolak keinginan mereka.

Marga Ariks dan marga Arumi, serta empat marga lainnya pemilik tanah adat di Lembah Kebar, dimana PT BAPP sedang mengembangkan perkebunan jagung seluas 19368 hektar, mengaku telah menerima uang dari perusahaan. Masalahnya, ujar mereka, adalah perusahaan tidak sepenuhnya jujur mengenai rencananya, sehingga hal ini tidak bisa dipandang sebagai pelepasan hak atas tanah adat mereka.

Kontak pertama antara para pimpinan marga dengan perusahaan terjadi ketika mereka dipanggil untuk bertemu di desa Arumi. Tak ada yang ingat persis tanggalnya, menurut mereka pertemuan itu terjadi pada akhir 2015. Mereka menunggu sampai jam 3 sore ketika perwakilan perusahaan akhirnya datang dan menjelaskan mengenai rencana mereka untuk menanam jagung di lembah Kebar.

Para anggota marga bersaksi perihal pihak perusahaan yang berkata bahwa rencana mereka hanyalah melakukan uji-coba studi perkebunan selama dua tahun. Para anggota klan dibuat yakin bahwa mereka hanya menggunakan areal tanah padang rumput yang tidak luas. Saat pertemuan itu terjadi perusahaan justru telah menanam jagung dalam satu areal alang-alang. Perwakilan perusahaan menawarkan uang ‘tali asih’. Arti istilah ini sebenarnya agak ‘kabur’ namun cukup sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan di Tanah Papua. Walaupun istilah itu sebenarnya arti ‘ikatan persahabatan,’ maksud perusahaan adalah mendapatkan tandatangan pemilik hak ulayat sebagai bukti ‘pelepasan hak atas tanah’. Uang yang ditawarkan sebesar 50 atau 100 juta Rupiah untuk setiap marga. Setelah semua marga menerimanya, pada sore harinya perwakilan perusahaan dan masyarakat meninggalkan tempat pertemuan.

Tak satupun dari marga-marga tersebut menyangka kalau mereka telah memberikan tanah leluhur mereka kepada perusahaan sore itu. Mereka bersaksi bahwa informasi yang disampaikan pada mereka sangat minim dan menyesatkan. Pihak perusahaan, kata mereka, bahkan tidak menyebut nama perusahaan. Orang-orang yang berbicara pada pertemuan tersebut seolah-olah sedang merencanakan untuk mengimplementasi sebuah program yang diinisiasi oleh Dinas Pertanian Kabupaten Tambrauw. Tak ada peta yang diperlihatkan saat itu, mereka juga tidak diajak untuk berpartisipasi dalam menukur batas tanah setiap marga. Mereka juga tidak diberikan salinan dari dokumentasi-dokumentasi yang dilakukan oleh perusahaan, semuanya dipegang oleh perusahaan.

Ternyata perusahaan tidak hanya membuka padang rumput namun mulai melakukan penggundulan hutan, termasuk dusun sagu. Ketika ini terjadi, masyarakat mulai protes. Mereka menantang perusahaan di lapangan, namun akhirnya harus membubarkan protes ketika polisi dan tentara bersenjata lengkap datang.

Sekarang ini ada sekitar sepuluh anggota Brimob yang bertugas untuk melindungi perusahaan. Suasana intimidasi ini membuat masyarakat lokal menjadi berhati-hati untuk mengekspresikan penolakan mereka terhadap perkebunan, namun gelombang protes terus berlanjut.

Masyarakat juga sudah meminta dukungan gereja perihal kasus ini. Tahun lalu, setelah perwakilan sinode GKI (Gereja Kristen Indonesia Tanah Papua) berhasil memperoleh dokumen dari perusahaan, masyarakat menemukan bukti bahwa perusahaan sudah memiliki izin yang disahkan oleh Bupati. Izin ini meliputi 19368 hektar tanah perkebunan yang meliputi keseluruhan lembah Kebar, lebih dari 40 km dari ujung ke ujung.

Oleh karena protes tersebut masyarakat mulai menyadari bahwa projek perusahaan tidak ada kaitannya dengan Dinas Pertanian pemerintah melainkan dikelola oleh PT Bintuni Agro Bima Perkasa. Saat itu juga mereka sadar bahwa itu adalah perusahaan yang sama yang bertemu dengan mereka pada 2014 di kantor distrik (camat), pada saat itu perusahaan tersebut mengajukan izin untuk sebuah perkebunan kelapa sawit. Kala itu masyarakat menolak proposal tersebut dengan tegas.

Dari cerita ini, cukup jelas bahwa ini merupakan sebuah kasus perampasan tanah. Perusahaan tidak melakukan sebuah pendekatan yang baik dan jujur dengan enam marga di wilayah itu, yang mana secara hukum Indonesia merupakan pemilik sah atas tanah-tanah yang dimaksud. Cerita atau kejadian seperti ini merupakan hal yang cukup sering terjadi di Tanah Papua, dimana pihak perusahaan yang telah berhasil membujuk para kepala suku atau kepala marga untuk menandatangani dokumen apasaja sebagai bukti sah bahwa masyarakat telah menyerahkan hak kolektif mereka atas tanah yang dimaksud. Hal ini mudah terjadi juga karena hukum pertanahan masih sangat ambigu dan kurang spesifik, sehingga sulit untuk menjadi perlindungan formal bagi masyarakat adat, apalagi ketika berhadapan dengan perusahaan-perusahaan yang jahat dan sangat kuat.

Sekarang ini, masyarakat Kebar menggugat perusahaan agar izinnya dicabut. Setelah diperiksa, ternyata banyak sekali ketidakberesan yang cukup serius dalam izin-izin tersebut, sehingga ini merupakan tuntutan yang sangat wajar.

Pertama, tidak adanya AMDAL dari proyek terkait. Kerangka Acuan sudah disiapkan pada April 2016, namun proses dalam membahas dokumen terakhir ditunda oleh karena adanya penolakan. Hal ini berarti tidak adanya evaluasi dari efek lingkungan dibuatnya perkebunan di kawasan lembah Kebar yang mempunyai keberlimpahan ekologis, suatu lansekap di Papua yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Lembah Kebar dengan ketinggian yang sedang, dipenuhi rerumputan dan rawa-rawa yang melintasi hutan, kawasan yang biasanya rumah bagi komuniti-komuniti ekologis yang unik dan sangat memungkinkan terdapat spesies-spesies yang endemik. Namun hampir seluruh bagian bawah lembah Kebar ini termasuk di dalam izin area perkebunan. Perusahaan juga belum melakukan evaluasi dampak perkebunan pada dua area konservasi seperti Arfak dan pegunungan Tambrauw yang mengelilingi lembah tersebut. Evaluasi juga tidak dilakukan untuk mengetahui efek dari jumlah besar limbah kimia agrikultur yang sudah pasti akan mengalir ke hulu sungai Kamundan yang nanti akan mengotori sungai sepanjang ratusan kilometer melalui hutan dan rawa-rawa di Semenanjung Kepala Burung/Domberai. Tidak pula ada studi mengenai dampak perkenalan pertanian berpola industri dan skala besar pada masyarakat adat di lembah Kebar, yang juga tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi mereka perihal dampak proyek tersebut dalam hidup mereka.

Izin pelepasan kawasan hutan untuk lahan-lahan tersebut adalah sangat bermasalah. Izin ini diterbitkan oleh mantan menteri kehutanan Zulkifli Hasan di hari terkahirnya dalam jabatan sebagai menteri kehutanan, yakni pada 29 September 2014, yang mana pada waktu itu ia sibuk membersihkan mejanya dengan menandatangani semua permintaan perizinan yang ditunda, yang dalam banyak kasus pengesahan perizinan ini tidak melalui proses yang teliti. Dalam hal ini, surat keputusan yang ia tandatangani menyatakan bahwa dari 32390 hektar lahan diminta, sekitar 13021 tidak akan dilepas karena merupakan hutan primer, sehingga hanya 19368 hektar yang akan dilepas. Anehnya, peta yang menyertai surat keputusan tersebut memperlihatkan 32390 hektar penuh–seseorang telah melakukan kesalahan dalam buat peta. Lahan sebesar 13021 ha ini sekarang tidak mendapatkan perlindungan dari negara.

Lebih jauh lagi, surat keputusan pelepasan kawasan hutan sangat jelas menyatakan bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk minyak sawit, namun perusahaan yang beroperasi justru menanam jagung. Apa yang sepertinya terjadi adalah, ketika diketahui bahwa proyek kebun kelapa sawit akan banyak menuai penolakan, pihak perusahaan kembali mendekati Bupati Tambrauw, Gabriel Asem dengan rencana baru. Pada 28 September 2015 ia mengeluarkan surat izin lokasi untuk perusahaan (SK 521/296/2015), dan di hari yang sama juga, ia mengeluarkan surat izin usaha tanaman pangan. (SK 521/297/2015).

Kedua izin tersebut seluas 19,368 hektar, luas sama dengan yang dilepas dari kawasan hutan oleh Zulkfli Hasan. Namun kali ini, peta izin hanya tunjukkan areal yang bukan hutan primer, tanda perusahaan dan pemerintah daerah sudah sadar atas kesalahan yang dibuat oleh mantan menteri tersebut.

Sudah cukup jelas bahwa proses perizinan untuk perkebunan ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Seharusnya izin lokasi diterbit terlebih dahulu, izin yang berlaku selama tiga tahun, sehingga perusahaan dapat melengkapi persyaratan-persyaratan lainnya, termasuk mempersiapkan AMDAL. Setelah semua ini telah dipenuhi, surat izin usaha dapat dikeluarkan (peraturan yang relevan adalah Regulasi Menteri Pertanian 39/2010 tentang izin usaha tanaman pangan). Menurut regulasi Menteri Kehutanan sendiri yang berlaku pada September 2014 (Regulasi Menteri Kehutanan 33/2010 dan 29/2014), bahwa hutan tidak bisa dilepas bila perusahaan belum memiliki izin usaha (sehingga mereka harus melalui proses EIA terlebih dahulu). Kendati demikian, Zulkifli Hasan sering mengabaikan regulasi yang ia buat sendiri sebagaimana ia telah melepas 900,000 hektar kawasan hutan Papua selama lima tahun ia menjabat sebagai menteri kehutanan.

Perusahaan akhirnya menggunakan izin usahanya yang cacat hukum bersama izin dari masyarakat untuk mengelola tanah adat yang mereka peroleh melalui tipu daya untuk mendapatkan Hak Guna Usaha yang akan berlaku selama 35 tahun.

Perusahaan juga menggunduli hutan yang sudah diatur sebagai Kesatuan Hidrologi Gambut dengan fungsi lestari, dan dengan demikian mereka telah melanggar peraturan 57/2016 yang melarang penggundulan atas zona-zona ini, meski perusahaan bersangkutan sudah memiliki izin.

Kawasan rawa-rawa ini merupakan habitat utama bagi pohon sagu, sumber pangan pokok tradisional bagi orang Papua di lembah Kebar. Perusahaan menyisakan beberapa pohon sagu ketika menggunduli hutan, dan sekarang pohon-pohon tersebut dikelilingi oleh tanaman jagung, sehingga membuat pohon sagu menjadi rentan keberadaannya dikarenakan kawasan-kawasan yang tadinya basah sekarang telah mengering.

PT Bintuni Agro Prima Perkasa adalah salah satu dari sekitar sepuluh perusahaan perkebunan di Tanah Papua yang terhubung dengan Salim Group. Tiga perusahaan sedang aktif membuka hutan dan tanah lainnya, yaitu: PT Rimbun Sawit Papua, PT Subur Karunia Raya, dan PT Bintuni Agro Prima Perkasa, dan ketiga perusahaan tersebut semuanya ditentang oleh komunitas masyarakat. Ada tiga lagi yang diyakini mempunyai izin lengkap sehingga mungkin akan mulai beroperasi dalam waktu dekati: PT Menara Wasior, PT Tunas Agung Sejahtera, dan PT Permata Nusa Mandiri.

Tak ada satupun dari perusahaan yang disebut di atas dimiliki secara langsung oleh Antoni Salim sendiri, namun banyak sekali bukti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dikendalikan oleh Salim Group, mungkin sekali melalui praktik “nominee agreement” yang memungkinkan bagi pemilik benar yang akan dapat untung dari usaha (beneficial owner) untuk tidak tercantum dalam daftar saham. Salim Group tidak pernah membantah secara publik kaitannya dengan perusahaan-perusahaan perkebunan tersebut, yang sekarang ini beroperasi di bawah nama Indogunta Group.

Sebagai salah satu dari produsen makanan olahan terbesar di Indonesia, Salim Group adalah pengkonsumsi besar jagung. Mereka menggunakan jagung untuk usaha makanan ringan, yang mana usaha Indofoodnya beroperasi bersama dengan Pepsico. Usaha patungan ini, Indofood Fritolay Makmur memiliki franchise untuk produk Pepsico di Indonesia, seperti merek snack Cheetos dan Doritos. Keluhan mengenai hak pekerja di perusahaan perkebunan sawit IndoAgri yang dimiliki Salim Group, serta keluhan yang tidak spesifik perihal keterlibatan Group dalam penggundulan hutan dan sengketa sosial/lahan, sudah membuat Pepsico menekan Salim Group bahwa kerjasama antara dua perusahaan tidak akan lagi menggunakan minyak kelapa sawit dari IndoAgri pada Januari 2017. Komitmen ini diberlakukan hanya untuk minyak sawit saja, belum ada komitmen yang spesifik mengenai jagung.

This entry was posted in Seputar Tanah Papua and tagged , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.