Seperti kampung-kampung lain di Distrik Tubang dan Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, warga Kampung Yowid telah menyatakan sikap penolakan yang tegas terhadap investor perkebunan yang mau masuk ke wilayah mereka. Namun belum lama ini tokoh-tokoh masyarakat di Kampung Yowid sudah terpaksa menandatangani surat yang dibawa PT Mayora (salah satu merek makanan terkenal di Indonesia) yang ingin merampas tanah adat mereka untuk membuka perkebunan tebu. Warga distigma separatis OPM oleh anggota Brimob yang menjadi satpam perusahaan, dan juga dituduh menyimpan senjata atau kekuatan OPN di rumah adat. Ahkirnya tokoh-tokohYowid merasa terpaksa menandatangani surat tersebut karena warga sudah takut dan sudah mulai pikir harus mengungsi ke hutan. Isi surat Mayora belum jelas – warga tidak pernah diberi copy salinan. Seperti sebelumnya, masyarakat di Yowid masih menyatakan penolakan terhadap PT Mayora.
Di Merauke, seperti di tempat lain di Papua yang sudah menderita konflik selama 50 tahun, aparat ada di mana-mana. Kini, dengan banyak perusahaan yang berusaha keras untuk masuk, bukan pertama kali perusahaan dituduh mengunakan stigma separatis untuk mengintimidasi masyarakat adat untuk menyerahkan tanah ulayat mereka. Dengan ancaman ini warga pasti merasa takut, karena mereka sudah tahu sering sekali terjadi aparat melakukan tindakan represif secara sewenang-wenang karena warga dianggap separatis.
Hubungan antara kekuatan militar dan cita-cita perusahaan ini mengingatkan praktek zaman Suharto dulu di tempat lain di Indonesia. Di Sumatra pada tahun 70-an dan 80-an tanah milik petani yang luas sekali dirampas untuk kepentingan perkebunan setelah petani diancam stigma komunis kalau menolak menyerahkan tanahnya.
Video ini adalah testimoni tua-tua adat Kampung Yowid yang menjelaskan bagaimana mereka sudah menjadi korban manipulasi PT Mayora. Selanjutnya, ada penjelasan dari Forum Intelektual Masyarakat Woyu Maklew dan JPIC yang memberikan informasi kronologi tentang kasus ini.
Pernyataan Sikap dari Forum Intelektual Masyarakat Woyu Maklew
Merauke, Jumat (2 Agustus 2013), Forum Intelektual Masyarakat Woyu Maklew menegaskan bahwa PT. Mayora telah melanggar hak asasi masyarakat adat Marind sub suku Woyu Maklew. Ketua adat dan kepala kampung Yowid dipaksa dengan stigma “OPM” kepada warga Kampung Yowid untuk menandatangani surat yang disodorkan oleh pihak PT. Mayora, dan menggunakan beberapa warga kampung untuk melakukan teror kepada warga untuk menerima PT. Mayora di Kampung Yowit, Dokib, Wamal, Bibikem, Woboyu, Wanam dan Dodalim.
Menurut Ketua Adat Kampung Yowid, Ambrosius Laku Kaize, bahwa dirinya terpaksa ikut tanda tangan setelah mendapat tekanan dari staf PT. Mayora. “Saya terpaksa tanda tangan, karena warga Kampung Yowid dituduh anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka)”, ungkapnya. Lebih lanjut Kaize menegaskan bahwa surat yang disodorkan oleh staf PT. Mayora ini terpaksa ditandatangani oleh Kepala Kampung Yowid, Ketua Marga Geb – Zami dan dirinya setelah pihak PT. Mayora menyatakan bahwa warga Kampung Yowid dianggap OPM jika tidak tandatangan surat dari PT. Mayora.
Dari hasil pemantauan Forum Intelektual Masyarakat Woyu Maklew menyatakan bahwa warga masyarakat adat Marind di Kampung Yowid, Dokib, Wamal, Dodalim, Woboyu, Bibikem, Wanam dan Uliuli tidak mendapatkan informasi yang baik dan benar terkait kebijakan investasi di wilayah adatnya, khususnya kehadiran PT. Mayora. Ini adalah indikasi bahwa proses investasi yang ada telah melanggar hak masyarakat adat Marind untuk mendapatkan informasi secara bebas sebelum investasi dijalankan. Selain itu, warga marind sub suku Woyu Maklew telah menyatakan bahwa menolak segala jenis investasi di wilayah adat mereka, karena belum memiliki tenaga siap pakai di perusahan-perusahan, dan PT. Mayora telah menciptakan situasi tidak aman dalam kehidupan warga, seperti PT. Mayora berkunjung ke kampung-kampung dengan didampingi Brimob Polres Merauke yang bersenjatah lengkap dan mengasut beberapa warga kampung untuk menciptakan situasi tidak aman dengan menciptakan teror.
Latar Belakang Kasus Ini
Pada tanggal 21 Mei 2013, bertempat di Hotel Swiss Bell di Jl. Raya Mandala Kota Merauke, managemen PT. Mayora dan PT. Astra bertemu dengan warga Marind pemilik hak ulayat dari distrik Tubang, Ilwayab dan Okaba. Dalam pertemuan ini, melalui Forum Intelektual Masyarakat Marind sub Suku Woyu Maklew, warga menyatakan sikap menolak investasi PT. Mayora dan PT. Astra. Alasanya bisa dibaca dalam surat Forum pada link ini: https://awasmifee.potager.org/?p=352&lang=id
Sikap penolakan juga telah disampaikan oleh warga kampung Woboyu, Bibikem, Dadalim, Yowid, Wambi, Wanam, Wamal dan Dokib. Mereka bikin tanda larangan adat dan menulis pada papan pemalangan “Tolak Perusahan, karena tanah adat kami kecil dan ingin mempertahankan budaya Marind, serta masa depan anak dan cucu”. Gerakan pemasangan papan pemalangan dan pembuatan surat pernyataan dibuat pada bulan Maret sampai April 2013.
Sementara warga melakukan protes dan penolakan kepada PT. Mayora dan PT. Astra, dua orang warga Kampung Yowid yang sudah berpihak Mayora bersama dengan seorang anggota Brimob Polres Merauke yang bertugas sebagai Pam untuk PT. Mayora, dan staff PT. Mayora mendapatkan selebaran tentang situasi ham di Papua. Selebaran ini dibuat oleh KNPB Merauke yang berisi tentang rangkuman berita-berita di media massa tentang situasi hak asasi manusia di tanah Papua. Ini terjadi pada minggu kedua Juni. Menurut wakil ketua adat kampung Yowid, bahwa dia yang membawa selebaran itu dan membagikan kepada warga supaya warga tahu tentang situasi ham di Papua. Menurutnya, informasi tentang situasi ham di tanah Papua yang berkembang dan diberitakan di media massa itu harus diketahui oleh warga masyarakat. Ini hak dari warga. Tapi, wakil ketua adat begitu kaget ketika tanggapan yang diberikan oleh pihak PT. Mayora kepada warga terkait selebaran itu. Sebagaimana dari video itu, Ketua Adat Kampung Yowid menegaskan bahwa melalui selebaran itu, pihak PT. Mayora memberikan stigma separatis OPM kepada warga Kampung.
Pada akhir Juli dan awal Agustus, JPIC MSC Indonesia bersama dengan Forum Intelektual Masyarakat Marind Woyu Maklew melakukan pemantauan dan menemukan bahwa warga Kampung Yowid mengalami ketakutan akibat dari stigma separatis OPM yang diberikan oleh pihak PT. Mayora. Ibu-ibu dan anak-anak ingin diungsikan ke hutan. Pada tanggal 27 Juli 2013, warga bikin rapat di Sawiya (Rumah Adat) untuk membahas ketakutan yang sedang mereka alami. Dan pada saat rapat inilah, ketua adat, ketua marga Geb, ketua marga Sami dan pemilik tanah adat menyampaikan bahwa ketua adat dan kepala kampung Yowid terpaksa tanda tangan, karena PT. Mayora telah menuduh warga sebagai anggota separatis OPM dan di dalam rumah adat disimpan senjata dan kekuatan OPM (lihat pada video wawancara). Sementara seorang warga pemilik ikut tanda tangan, karena dipaksa oleh seorang warga yang mendukung PT Mayora. Ketua marga Geb dan ketua marga Sami tidak tanda tangan, tapi tanda tangan mereka dipalsukan.
Ketua adat dan kepala kampung Yowid bersama seorang warga pemilik menandatangani surat yang disodorkan oleh PT. Mayora, tapi mereka tidak diberikan salinan copy surat tersebut. Hal ini pun membuat warga semakin resah, karena kemudian muncul isu yang berkembang dan menyebar ke kampung-kampung tetangga bahwa warga kampung Yowid telah melepaskan tanah kepada perusahan. Ada kesepakatan sebelumnya antara beberapa kampung bahwa siapapun menjual tanah kepada perusahaan pasti terkena sangsi sangat berat.
Pada tanggal 27 Juli 2013, warga Kampung Yowid menulis surat kepada Bupati Kab. Merauke, Bapedalda Propinsi Papua dan Badan pertanaan Nasional RI bahwa warga Kampung Yowid menolak PT. Mayora.
PT Mayora adalah perusahaan Indonesia yang punya beberapa merek yang sangat terkenal di Indonesia seperti Kopiko, Energen, Bengbeng, Torabika, Slai O’Lai, Zupperrr Keju, Kis, Marie Roma, Malkist, Sari Gandum, Biskuit Kelapa dan Choki-Choki.
foto: beberapa bulan lalu, warga Yowid memasang papan pemalangan.