Kabar dari Maluku Utara (dari Maluku Online): Polisi menangkap Bokum dan Nuhu, dua orang Togutil yang disangka membunuh. Setelah ditangkap, polisi terus menyisir orang-orang Togutil lainnya di hutan. Penangkapan ini didramatisir media sehingga orang Togutil kian tersudut. Mereka bahkan terkesan hendak diusir dari tanah sebagai rumahnya (homeland). Sungguh mencurigakan sebab di atas tanah adat mereka, terdapat aneka perusahaan tambang dan sawit. Togutil sedang terancam. Berikut ini catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan judul asli: “Mungkinkah Ini Operasi Pengusiran Orang Hutan dari Rumahnya?”
Hari Minggu, 1 Maret 2015, Bokum dan Nuhu ditangkap oleh gabungan anggota Kepolisian Resort Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, Maluku Utara. Penangkapan terjadi pada malam hari jam 02.00 Wit di rumah saudara Melkyanus Lalatang, Desa Woejerana, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah.
Tahanan kemudian dibawa ke Markas Polisi di Weda pada malam itu juga. Setelah diselidiki, kurang lebih jam 22.00 Wit, mereka dibawa ke Markas Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara dan ditahan di Rumah Tahanan Klas IIB. Bokum dan Nuhu tidak bisa berbicara Bahasa Indonesia. Mereka hanya bisa berbahasa Tobelo. Hal ini menghambat proses penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik Polda Maluku Utara.
Sebagai orang hutan, Togutil atau O’Hongana Manyawa, yang sejak lahir sampai meninggal dunia selalu hidup di hutan, sangat tertekan saat dimintai keterangan. Apalagi di bawah pengawalan anggota polisi lengkap dengan senjata. Bokum dan Nuhu mendapat bantuan hokum dari seorang pengacara yang ditunjuk oleh kepolisian, sehingga pengacara yang ditunjuk AMAN, tidak bisa melakukan pendampingan.
Penangkapan Bokum dan Nuhu dilakukan 10 orang anggota polisi yang mengkaitkan mereka dengan pembunuhan empat warga desa Waci Halmahera Timur, pada 18 September 2013. Korban tersebut adalah Arbain Ahmad (53) dan Adanan Rubay (50). Kasus kedua pada 8 Juli 2014. Korbannya Mas’ud (40) dan anaknya Marlan Watoa (9). Secara kebetulan kasus tersebut terjadi di hutan, terus opini dikembangkan bahwa orang hutan atau Togutil sebagai pelaku. Dari situ, operasi polisi, TNI beserta masyarakat mengarah ke Togutil yang hidupnya di hutan.
Sekian lama operasi tidak menemukan warga Togutil. Sementara sorotan terhadap kinerja polisi terus dipertanyakan oleh publik. Togutil yang tersebar di Halmahera Tengah sebanyak tujuh satuan pemukiman. Masing‐masing satuan pemukiman memiliki wilayah adat yang tidak bisa dilanggar. Misalnya Togutil A melewati batas wilayah adat Togutil B, Togutil A bisa saja dibunuh oleh Togutil B.
Nah, hal ini yang cukup aneh. Kasus pembunuhan terjadi di hutan, di wilayah adat Togutil Woesopen bukan Akejira yang merupakan satuan pemukiman Bokum dan Nuhu. Togutil Woesopen memang jarang berinteraksi dengan masyarakat pesisir, sesama Togutil Akejira pun tidak terbangun baik hubungannya. Bokum sendiri sebagai Gimono (kepala adat) di situ. Karena itu sangat tidak mungkin Bokum dan Nuhu harus jalan kaki sekitar 180 km meter dan masuk ke wilayah Togutil Woesopen untuk membunuh orang Waci. Jangankan membunuh orang Waci. Berjalan melewati batas wilayah adat saja, nyawa mereka terancam. Itulah antrolopogi ruang hidup mereka sebagai penjaga hutan Halmahera.
Namun operasi polisi terus mengarah ke Togutil, tidak lagi melihat motif lain yang berhubungan dengan kasus ini. Apakah benar, ketika ada orang meninggal di dalam hutan, secara otomatis dilakukan oleh Togutil. Bukankah di hutan juga ada masyarakat pesisir dan juga perusahan tambang dan sawit di wilayah tersebut.
Media selalu memberitakan dengan mengangkat judul berita “Suku Terasing” sebagai pelaku, polisi pun demikian. Begitu kira‐kira ketika AMAN mengikuti pemberitaan serta komentar pada pihak kepolisian di wilayah tersebut.
Kasus ini menyimpang misteri. Sejak tahun 1980‐an, banyak satuan pemukiman Togutil yang telah dirumahkan oleh Pemerintah. Mereka dikeluarkan dari hutan lalu dibangun rumah‐rumah kumuh yang tidak sesuai dengan karakter mereka. Merumahkan Orang Togutil masih terjadi saat ini. Togutil di Walaino, Miaf (Halmahera Timur) yang ternyata wilayah tersebut ada izin tambang, telah dikeluarkan dari hutan untuk dirumahkan.
Bokum dan Nuhu di balik terali besi, tahanan polisi (foto mira jutek)
Togutil di Akejira dan Woesopen masih memegang tradisi nomaden. Namun nomeden hanya dalam wilayah adat mereka, tidak melewati batas wilayah adat Togutil lain. Mereka hidup dengan hutan yang dalam kosmologi mereka sebagai rumah. Dalam tradisi anak lahir, jika satu orang anak perempuan lahir, tiga pohon ditanam. Jika satu anak laki‐laki yang lahir, 10 pohon yang ditanam. Mereka tidak pernah membuat rumah dengan menebang pohon. Ranting keringlah yang digunakan untuk membuat rumah.
Wilayah adat Togutil Akejira dan Woesopen ditempati oleh PT Usaha Kita Kinerjatama, PT Bumi Sentosa Jaya, PT Karya Cipta Sukses Lestari, PT Bangun Perkasa, PT Weda Bay Nikel, PT Halmahera Sukses Mineral, PT Sinar Bahtera Sejahtera, PT Darma Rosadi Internasional, PT Global Utama, PT Tekindo Energy, PT Dwi Mitra Awwalun, PT Nikel Gebe, PT First Pacific Mining, PT Harun Sukses Mining, PT Bhakti Pertiwi Nusantara, PT Pela Sakti, PT Karya Wijaya, PT Algifari Wildan Sejahtera, PT Cetara Bank Perkasa, PT Bumi Halteng Mining, PT Putra Prima Sejahtera dan juga dua izin lokasi sawit milik PT Algo Palma Nusantara.
Izin tersebut dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur, Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Kami berasumsi bahwa kasus pembunuhan warga Waci ini harus dilihat secara luas. Sebelum kasus pembunuhan terjadi, penolakan warga Bicoli‐Waci sendiri terhadap perusahan sawit dan dua perusahan tambang di belakang kampong Bicoli‐Waci sangat kuat. Penolakan warga ini karena tidak menginginkan wilayah mereka dirusaki oleh tambang dan sawit.
Asumsi lain, ada upaya kuat Togutil mau dirumahkan agar aktifitas pertambangan yang izinnya telah keluar berjalan secara lancar dan tidak melanggar Hak Azasi Manusia Togutil yang dilindungi oleh Undang-Undang. Namun jika asumsi ini tidak benar, AMAN secara kelembagaan mendukung sepenuhnya polisi untuk mengungkapkan siapa pelaku utamanya. Tidak pandang bulu, suku dan agama. Hukum harus ditegakkan.
Kembali ke Bokum dan Nuhu. Lagi‐lagi kami ingin sampaikan, Bokum dan Nuhu tidak mungkin sampai ke lokasi pembunuhan yang merupakan wilayah adat satuan pemukiman Togutil lain (belum tentu Togutil Woesopen pelakunya. Karena itu perlu pengungkapan fakta mendalam). Informasi yang kami peroleh dari warga Kobe, Lelilef dan Woejerana sendiri, Bokum dan Nuhu sangat intens berkomunikasi dengan warga pesisir. Beberapa warga pesisir menyebut bahwa Orang Togutil itu tidak pernah menyimpan rahasia, jika mereka membunuh, dia akan mengatakan mereka adalah pembunuh, jika tidak maka dia akan katakan tidak.
Informasi lain lagi yang kami peroleh dari beberapa karyawan perusahaan tambang PT Weda Bay Nikel, pada saat kejadian pembunuhan terjadi, mereka melihat Nuhu mengambil beras di perusahan sebagai jatah mereka. Jika informasi ini benar, maka Bokum dan Nuhu bukan pelaku yang sesungguhnya. Namun saat ini mereka ditahan. Keluarga Bokum dan Nuhu saat ini keluar ke kampung mencari mereka berdua yang saat ini sudah berada di Rutan Ternate. Keluarga mereka sangat marah. Warga pesisir pun panic dan harus mengungsi karena tidak menginginkan hal-hal yang berdampak buruk terjadi.
Bokum dan Nuhu saat ini hidup dalam kurungan 4×4 meter. Padahal mereka orang bebas yang hidup dengan alam. Setelah sorotan public yang begitu keras atas penangkapan ini, polisi masih melakukan operasi kedua untuk menyisir orang Togutil yang masih berada di hutan. Ada apa dengan operasi ini?
Ternate, 5 Maret 2015
Sumber: Maluku Online: http://malukuonline.co.id/2015/03/bokum-nuhu-dan-togutil-yang-terkepung-investor/ (kecuali peta lokasi dari awasMIFEE)