“Protes telah disampaikan sejak tahun 2015, tetapi jawabannya justru lahir ijin pelepasan hutan”
Jakarta – Koalisi masyarakat sipil melakukan aksi protes ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada jumat (23/03/2018), protes tersebut terkait pemberian ijin pelepasan kawasan hutan produksi konversi untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Menara Wasior (MW) di daerah Kali Wosimi, Distrik Naikere dan Distrik Kuriwamesa, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat.
Penolakan masyarakat terhadap pemberian ijin kepada perusahaan perkebunan sawit ini telah disampaikan ke KLHK sejak 2015 silam, akan tetapi hingga kini tak ada respon dari pihak kementerian. Namun, berbalik fakta atas penolakan Menteri KLHK, Siti Nurbaya Bakar justru mengeluarkan ijin SK No. 16/1/PKH/PMDH/2017, tertanggal 20 September 2017 lalu kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Menara Wasior (MW).
Dalam aksi tersebut hadir juga perwakilan masyarakat sipil dari Wasior, Teluk Wondama, Stephanus Marani yang menyampaikan bahwa aktivitas mengancam dan akan menghilangkan tempat hidup masyarakat adat Suku Wondamen, Torowar dan Mairasi.
Hal senada juga disampaikan oleh Yohanes Akwan, ketua Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Papua Barat bahwa, pemberian ijin sepihak yang datang dari Jakarta sangat merugikan masyarakat asli Papua.
“Hutan merupakan sumber kehidupan kami, bukan kelapa sawit, kami tidak mungkin makan sawit jika dusun sagu kami berubah menjadi perkebunan sawit” Ujar Yohanes dalam orasinya.
Menurutnya, masyarakat yang dikawasan ini pernah menjadi korban kekerasan aparat keamanan pada tahun 2001. Sebagaimana diketahui peristiwa Wasior berdarah yang terjadi pada tahun 2001 oleh Komnas HAM pada tahun 2004 telah dinyatakan sebagai kasus PELANGGARAN HAM BERAT. Peristiwa Wasior Berdarah terjadi selama kurun waktu April- Oktober 2001.
Juli 2004, Tim Adhoc Papua dari Komnas HAM yang menyelidiki kasus Wasior Berdarah 2001 dan Wamena Berdarah 2003 menemukan beberapa fakta, meluasnya kekerasan dan menyimpulkan bahwa terjadi kekerasan yang terstruktur oleh militer Indonesia baik TNI/POLRI.
Sementara itu direktur Yayasan Pusaka, Franky Samperante menyoroti tidak konsistennya pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Menurutnya, sepanjang tahun 2017 pemerintah telah mengeluarkan ijin pelepasan kawasan hutan terhadap 3 perusahaan di Papua yang luasnya mencapai 60.000 ha. Tak hanya perusahaan perkebunan, pemberian ijin juga diikuti perusahaan pertambangan yang luasnya capai 85.000 ha.
Aksi protes ini merupakan gabungan dari beberapa lembaga masyarakat sipil yakni Yayasan Pusaka, Foker LSM Papua, KPKC GKI Tanah Papua, Walhi Papua, Wongkei Institute, JERAT Papua, SKP KC Fransiskan Papua, Perkumpulan Belantara, Perkumpulan Bin Madag Kom, GSBI Papua Barat dan Papua Forest Watch.
Sumber: http://pusaka.or.id/2018/03/hutan-sumber-kehidupan-kami-bukan-kelapa-sawit/
Surat Protes KLHK – Kebijakan Kelapa Sawit Papua
Protes keras atas kebijakan dan penerbitan ijin pelepasan kawasan hutan produksi konversi untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Surat Protes
Kasus PT. Menara Wasior di Kab. Teluk Wondama
Kepada Yth,
- Presiden Republik Indonesia di Tempat.
- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI di Tempat.
Dengan hormat,
Sehubungan dengan pemberian ijin pelepasan kawasan hutan produksi konversi untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Menara Wasior (MW) di daerah Kali Wosimi, Distrik Naikere dan Distrik Kuriwamesa, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat, pada September 2017 lalu, sebagaimana SK No. 16/1/PKH/PMDH/2017, tertanggal 20 September 2017, maka kami menyatakan protes keras atas kebijakan dan penerbitan ijin dimaksud.
Bahwa, pada tahun 2015 lalu, kami sudah menyampaikan surat protes atas rencana PT. MW dan memohon pemerintah tidak memproses permintaan perusahaan PT. MW untuk mendapatkan ijin pelepasan kawasan hutan konversi bagi perkebunan kelapa sawit PT. MW.
Alasannya ada beberapa:
- Areal kawasan hutan dimaksudkan adalah wilayah adat dan tempat hidup masyarakat adat Suku Wondamen, Torowar dan Mairasi, yang mana menjadi korban pelanggaran HAM peristiwa “Wasior Berdarah 2001”, dan belum terselesaikan hingga hari ini. Masyarakat setempat masih trauma dan tidak punya kebebasan untuk berpendapat bebas membuat keputusan atas proyek ‘pembangunan’ di wilayah adatnya. Karenanya, pemberian ijin dimaksud akan mencederai rasa keadilan, tidak menghormati dan melindungi hak-hak hukum masyarakat adat setempat, mengabaikan hak atas rasa aman dan hak masyarakat menentukan pembangunan;
- Aktivitas perkebunan PT. MW akan mengancam dan menghilangkan kawasan hutan sumber hidup dari masyarakat adat setempat. Kawasan hutan dimaksud merupakan sumber mata pencaharian, sumber pendapatan, sumber pangan dan air, sumber obatobatan, terdapat dusun-dusun pusaka dan tempat suci, dan sebagainya,
- Kebijakan tersebut bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk melakukan
moratorium perkebunan kelapa sawit dan pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan perihal tersebut diatas, demi keadilan dan hukum, Kami nyatakan dan mendesak:
- Kepada Bapak Presiden untuk segera menyelesaikan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) peristiwa Wasior Berdarah 2001, melakukan rehabilitasi dan pemulihan hak-hak korban, secara adil dan memberikan rasa hormat kepada korban dan keluarganya. Demikian pula, kasus pelanggaran HAM lainnya di Tanah Papua;
- Kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera meninjau kembali dan mencabut perijinan pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan kelapa sawit PT.MW dimaksud karena melanggar hak-hak dasar Orang Asli Papua dan berpotensial menambah permasalahan maupun konflik sosial lainnya (Kronologis terlampir).
- Tindakan penting lain yang perlu adalah segera mengakui, melindungi dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat setempat atas tanah, hutan dan kekayaan alam lainnya.
Jakarta, 23 Maret 2018
Hormat kami,
Yayasan Pusaka
Foker LSM Papua
KPKC GKI Tanah Papua
Walhi PapuaWongkei Institute
JERAT Papua
SKP KC Fransiskan Papua
Perkumpulan Belantara
Perkumpulan Bin Madag Kom
Papua Forest Watch
Tembusan:
- Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal RI
- Dirjen Planologi Kementerian Lingkungan Hidup RI
- Sekretaris Kabinet RI
- Kepala Staf Kepresidenan Kantor Staf Presiden RI
- Ketua Komnas HAM RI
- Gubernur Provinsi Papua Barat
Kontak Person:
Franky Samperante (HP. +62 813 1728 6019)
Stephanus Marani (HP. +62 812 9453 5639)
KRONOLOGIS
EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM
DAN KEKERASAN
DI WASIOR
Tahun 2001: Wasior Berdarah Sepanjang Maret – Oktober 2001, terjadi serangkaian aksi protes warga terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan pembalakan kayu yang beroperasi di daerah ini, seperti: PT. Wapoga Mutiara Timber (WMT), PT. Dharma Mukti Persada (DMP, anak perusahaan Kayu Lapis Indonesia), CV. VPP (Vatika Papuana Perkasa), dikarenakan perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajiban dan janji-janji pembangunan terhadap masyarakat adat setempat.
Selanjutanya, aksi protes berlangsung secara keras, aparat keamanan dari Polri (Brimob) terlibat mengamankan bisnis perusahaan dan terjadi ketegangan hingga aksi kekerasan. Pada Juni 2001, Polda Papua didukung oleh Kodam XVII Trikora melakukan operasi penyisiran “Operasi Tuntas Matoa”.
Operasi pengejaran dan penyisiran secara besar-besaran pelaku pembunuhan di desa-desa sekitar tempat kejadian dan hingga ke daerah Nabire dan Serui. Ada banyak warga kampung yang tidak tahu menahu permasalahan, turut ditangkap tanpa surat penahanan, dianiaya, ditahan dan ditembak. Sebanyak 51 rumah-rumah penduduk dibakar dengan harta bendanya di delapan lokasi berbeda, (yakni Wasior Kota, Kampung Wondamawi, Wondiboi, Senderaboi, Sanoba dan Ambumi, serta Yopenggar dan Sanoba di Kabupaten Nabire), hasil kebun dan ternak peliharaan dimusnahkan.
Menurut laporan Tim Kemanusiaan Kasus Wasior 2001, diketahui ada 94 orang penduduk sipil tidak bersalah ditangkap, disiksa ringan dan berat bahkan menderita cacat seumur hidup, serta terjadi pengungsian massal.
Berdasarkan hasil penyidikan Tim Pengkajian Permasalahan HAM di Papua (Desember 2003 – Juli 2004) dari Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) disampaikan selama proses pengejaran terhadap pihak yang diduga pelaku telah terjadi tindak pembunuhan, penyiksaan termasuk penyiksaan yang mengakibatkan kematian, penghilangan orang secara paksa dan perkosaan disejumlah lokasi.
Tercatat empat orang meninggal, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang dan 39 orang disiksa. Berkas perkara ini terakhir diserahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung pada Juli 2014, setelah beberapa kali dikembalikan oleh Kejaksaan Agung (Juli 2013, Juni 2014) diserahkan kembali oleh Komnas HAM (September 2004, Desember 2004, September 2013, 17 Juli 2014).
Pada awal Mei 2017 di Jenewa, Swiss, Pemeintah RI – diwakili oleh Menteri Luar Negeri Ibu Retno Marsuhi – Dihadapan Dewan HAM PBB saat Indonesia menjalani sidang Universal Periodoc Review (UPR), mengungkapkan komitmen Pemerintah RI untuk menundtaskan pengadilan HAM dibawah UU No. 26 Tahun 2000. Namin hingga kini kami belum mendapatkan bukti bahwa proses persidangan akan digelar.
Tahun 2009: Konsesi Baru dan Kekerasan Berlanjut
Ditengah ketidak jelasan penyelesaian pelanggaran HAM “Wasior Berdarah”, Menteri Kehutanan mengabulkan dan memberikan ijin usaha pembalakan kayu kepada perusahaan PT. Kurnia Tama Sejahtera (KTS, perusahaan milik Arta Graha Group) berdasarkan SK.648/MenhutII/2009, yang lokasinya berada di eks lokasi konsesi PT. DMP, dengan luas 115.800 hektar.
Pemerintah dan perusahaan tidak pernah berkonsultasi dan meminta restu masyarakat adat setempat, sebelum mendapatkan ijin pembalakan kayu. Perusahaan menawarkan pemberian uang kompensasi dan janji pembangunan. Masyarakat adat Mairasi, Miere, Torowa dan Wandamen, tidak pernah memberikan keputusan bebas dan menolak, karena masih trauma dengan peristiwa masa lalu (Wasior Berdarah).
Pada Januari 2013, peristiwa kekerasan berulang, tiga warga Kampung Sararti dan Ambumi, dipukul dan disiksa petugas anggota TNI AD Yonif 753 Sorong di lokasi log pond perusahaan PT.KTS di Ambumi dan di basecamp perusahaan KM48. Pada Februari 2013, tokoh-tokoh masyarakat adat dari Kampung Sararti, Wosimo, Inyora, Undurara, Oyaa dan Yawore, Distrik Naikere, membuat Surat Pernyataan yang memuat sikap penolakan masyarakat adat terhadap aktivitas PT. KTS.
Tahun 2013: Wijaya Sentosa dan Utang Belum Terbayar
Tahun 2013, Menteri Kehutanan kembali memberikan ijin usaha pembalakan kayu kepada perusahaan PT. Wijaya Sentosa (WS, anak perusahaan Sinar Wijaya Group), berdasarkan Nomor SK.33/Menhut-II/2013, tertanggal 15 Januari 2013, berlokasi di Distrik Kuri Wamesa hingga Distrik Nikiwar, Kabupaten Teluk Wondama. Berbatasan dengan areal perusahaan PT. KTS.
Sebelumnya, areal konsesi PT. WS adalah milik PT. WMT yang tidak aktif semenjak perstiwa Wasior Berdarah. Banyak hutang masa lalu yang belum dibayarkan oleh PT. WMT, termasuk hutan atas kompensasi kayu-kayu komersial yang telah roboh ke tanah, hutang dan janji pembangunan yang belum lunas dipenuhi.
Masyarakat Suku Dusner, Kuri dan Wamesa, yang memiliki areal konsesi dan berdiam dikawasan ini juga tidak mampu menolak kehadiran perusahaan PT. WS. Aparat TNI dan Brimob mengawal seluruh aktivitas perusahaan sejak meminta persetujuan Rencana Kerja Tahunan hingga pengangkutan kayu di logpond. Perusahaan bekerja tanpa peduli dengan suara masyarakat. Hutan keramat dibongkar, kayu-kayu komersial sepanjang sungai dan tepi pantai ditebang, sungai penuh lumpur tak ada jalan air dan dusun sagu mati. Meskipun demikian perusahaan tetap mendapatkan penghargaan sertifikat hijau.
Tahun 2017: Ancaman Deforestasi Kebun Kelapa Sawit
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, menerbitkan izin prinsip pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan kelapa sawit kepada perusahaan PT. Menara Wasior (MW, masih berhubungan dengan Salim Group) di daerah dataran sepanjang Kali Wosimi, Kampung Ambumi, Distrik Kuriwamesa, seluas 32.170 hektar. Arealnya berbatasan dengan konsesi perusahaan pembalakan kayu PT. KTS.
Tahun 2017, pemerintah menerbitkan surat pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit PT. MW melalui SK No. 16/1/PKH/PMDH/2017, tertanggal 20 September 2017. Beberapa kali perusahaan dan pemerintah melakukan sosialisasi rencana dan konsultasi AMDAL, tapi masyarakat menolak dan tidak menghadiri pertemuan tersebut.
Tahun 2015, PUSAKA mengirimkan surat protes kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk menghentikan proses pemberian ijin pelepasan kawasan hutan kepada PT. MW karena tuntutan dan penolakan warga, karena kehadiran perusahaan tidak sepatutnya sebelum menyelesaikan permasalahan masa lalu, pelanggaran HAM dan berbagai peristiwa yang terjadi di daerah ini. Pemerintah tidak menanggapi dan tidak konsisten dengan komitmen atas ‘moratorium perkebunan kelapa sawit’.
Kawasan hutan alam disekitar Kali Wosimi terancam adanya deforestasi. Masyarakat setempat Suku Wondamen akan terkena dampak langsung dari rencana ini. Hutan adat, tempat keramat dan dusun-dusun pusaka milik masyarakat setempat, seperti Sanebuh, Iwagasi, Koine, terancam hilang. Tempat-tempat sumber mata pencaharian akan tergusur dan masyarakat akan kehilangan sumber pangan dan sumber pendapatan.
Selain perusahaan kelapa sawit, ancaman juga berasal dari rencana kegiatan pertambangan emas di daerah tersebut. Tahun 2014, pemerintah daerah Kabupaten Teluk Wondama memberikan ijin eksplorasi kepada PT. Abisha Bumi Persada berdasarkan ijin Nomor 543/06A/BUP-TW/2014, berlokasi di Distrik Kuriwamesa, Rasiei dan Naikere, seluas 23.324 ha. Kini perusahaan sedang melakukan konsultasi AMDAL.
Salim Group di Papua
Perusahaan PT. Menara Wasior diduga masih berhubungan dengan bisnis dan kepemilikan perusahaan raksasa Salim Group, milik pengusaha kaya keluarga Sudono Salim (Liem Sioe Liong). Pada era pemerintahan Soeharto, Sudono Salim terkenal salah satu kroni Soeharto dan mempunyai bisnis pembalakan kayu di Papua melalui PT. Hanurata.
Di Papua, bisnis perkebunan kelapa sawit yang terkait dengan Salim Group adalah PT. Rimbun Sawit Papua (RSP, 2014) berlokasi didaerah Bomberay dan Tomage, Kabupaten Fakfak, seluas 10.102 ha, PT. Subur Karunia Raya (SKR, 2014) berlokasi didaerah Maskona, Kabupaten Teluk Bintuni, seluas 38.770 ha dan PT. Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP, 2014) berlokasi didaerah Kebar, Kabupaten Tambrauw, seluas 19.369 hektar.
Keberadaan dan aktivitas perusahaan Salim Group ini menuai protes penolakan. Di Tambrauw, warga protes karena ijin dan komoditi PT. BAPP yang tidak sesuai dan mengancam lingkungan setempat.
Sumber: Pusaka: http://pusaka.or.id/2018/03/surat-protes-klhk-kebijakan-kelapa-sawit-papua/