13/12/2012 Perusahaan perkebunan tebu Rajawali Grup, melalui anak perusahaan PT. Karyabumi Papua dan PT. Cendrawasih Jaya Mandiri, yang sedang mengembangkan bisnis kebun tebu di Distrik Malind dan Kurik, dikeluhkan dan digugat oleh warga Suku Malind di Kampung Domande dan Kaiburse.
Perusahaan sudah melakukan aktifitas sejak tahun 2011 lalu di Kampung Domande. Perusahaan membuat jalan dan membongkar kawasan hutan untuk pembangunan kebun dan infrastruktur pabrik. “Awalnya, perusahaan menjanjikan akan merekrut warga lokal sebagai tenaga kerja, tapi kenyataanya tidak benar. Banyak pekerja perusahaan berasal dari luar Kampung Domande yang membuat warga setempat kecewa”, ungkap Hubertus, salah satu tokoh pemuda Domande.
Ada 10 janji perusahaan yang disepakati bersama masyarakat Domande, isinya tentang pembangunan sarana dan prasarana umum dan rekruitmen tenaga kerja, semuanya manis. Tapi perjanjian dan ingkar janji perusahaan sudah seringkali terjadi ketika warga menuntut hak-haknya. Merasa bosan menunggu janji untuk ganti rugi tanaman pohon yang sudah ditebang, warga dan pemilik hak di Kampung Domande melakukan pemalangan jalan untuk menghentikan kegiatan perusahaan pada November 2012 lalu. Perusahaan berhasil bersepakat dengan tokoh masyarakat setempat untuk memenuhi tuntutan masyarakat membayar ganti rugi tanaman pada awal Desember 2012, tapi hingga saat ini belum ada tanda-tanda perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang dijanjikan.
“Perusahaan banyak tipu saja,” ungkap Hubertus kesal.
Di Kampung Kaiburze, Ketua LMA (Lembaga Masyarakat Adat) Malind di Kaiburze, Ursus B. Samkakai, melayangkan surat kepada pemerintah dan perusahaan, yang memberitahukan dan menegaskan bahwa semua pemberian ijin dan perjanjian untuk investasi tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat dan LMA Kaiburze dianggap tidak sah.
Paulus Samkakai, Sekretaris LMA Kaiburze, menceritakan bahwa warga Kaiburze bersama LMA Malind Kabupaten Merauke sudah meminta Komisi Nasional HAM di Papua untuk mengeluarkan surat rekomendasi kepada pemerintah daerah dan perusahaan Rajawali, guna melakukan pertemuan membicarakan ganti rugi dan sikap warga Domande yang menolak keberadaan investasi di wilayah Kaiburse.
Alasan warga Kaiburze menolak perusahaan karena mereka tidak memiliki tanah yang luas lagi. Kebanyakan tanah adat Kaiburse berada di perkampungan transmigrasi, jumlahnya mencapai 40.000 ha. Masalahnya, pemerintah dan warga trans yang berasal dari luar daerah, sering menguasai, menggunakan dan menjual tanah adat tersebut, tanpa seijin warga Kaiburze dan marga pemilik hak atas tanah. Termasuk memberikan kepada perusahaan.
Warga berharap ada kebijakan dan dukungan pemerintah daerah untuk melindungi hak-hak adat orang malind.
Sumber: Pusaka http://pusaka.or.id/2012/12/perusahaan-tebu-rajawali-manis-janjinya.html
Perusahaan Tebu Rajawali Manis Janjinya
Perusahaan perkebunan tebu Rajawali Grup, melalui anak perusahaan PT. Karyabumi Papua dan PT. Cendrawasih Jaya Mandiri, yang sedang mengembangkan bisnis kebun tebu di Distrik Malind dan Kurik, dikeluhkan dan digugat oleh warga Suku Malind di Kampung Domande dan Kaiburse.
Perusahaan sudah melakukan aktifitas sejak tahun 2011 lalu di Kampung Domande. Perusahaan membuat jalan dan membongkar kawasan hutan untuk pembangunan kebun dan infrastruktur pabrik. “Awalnya, perusahaan menjanjikan akan merekrut warga lokal sebagai tenaga kerja, tapi kenyataanya tidak benar. Banyak pekerja perusahaan berasal dari luar Kampung Domande yang membuat warga setempat kecewa”, ungkap Hubertus, salah satu tokoh pemuda Domande.
Ada 10 janji perusahaan yang disepakati bersama masyarakat Domande, isinya tentang pembangunan sarana dan prasarana umum dan rekruitmen tenaga kerja, semuanya manis. Tapi perjanjian dan ingkar janji perusahaan sudah seringkali terjadi ketika warga menuntut hak-haknya. Merasa bosan menunggu janji untuk ganti rugi tanaman pohon yang sudah ditebang, warga dan pemilik hak di Kampung Domande melakukan pemalangan jalan untuk menghentikan kegiatan perusahaan pada November 2012 lalu. Perusahaan berhasil bersepakat dengan tokoh masyarakat setempat untuk memenuhi tuntutan masyarakat membayar ganti rugi tanaman pada awal Desember 2012, tapi hingga saat ini belum ada tanda-tanda perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang dijanjikan.
“Perusahaan banyak tipu saja,” ungkap Hubertus kesal.
Di Kampung Kaiburze, Ketua LMA (Lembaga Masyarakat Adat) Malind di Kaiburze, Ursus B. Samkakai, melayangkan surat kepada pemerintah dan perusahaan, yang memberitahukan dan menegaskan bahwa semua pemberian ijin dan perjanjian untuk investasi tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat dan LMA Kaiburze dianggap tidak sah.
Paulus Samkakai, Sekretaris LMA Kaiburze, menceritakan bahwa warga Kaiburze bersama LMA Malind Kabupaten Merauke sudah meminta Komisi Nasional HAM di Papua untuk mengeluarkan surat rekomendasi kepada pemerintah daerah dan perusahaan Rajawali, guna melakukan pertemuan membicarakan ganti rugi dan sikap warga Domande yang menolak keberadaan investasi di wilayah Kaiburse.
Alasan warga Kaiburze menolak perusahaan karena mereka tidak memiliki tanah yang luas lagi. Kebanyakan tanah adat Kaiburse berada di perkampungan transmigrasi, jumlahnya mencapai 40.000 ha. Masalahnya, pemerintah dan warga trans yang berasal dari luar daerah, sering menguasai, menggunakan dan menjual tanah adat tersebut, tanpa seijin warga Kaiburze dan marga pemilik hak atas tanah. Termasuk memberikan kepada perusahaan.
Warga berharap ada kebijakan dan dukungan pemerintah daerah untuk melindungi hak-hak adat orang malind.