Merauke – Masyarakat di Kampung Kaiburze, Distrik Anim Ha, Kabupaten Merauke terus memperjuangkan haknya untuk pembayaran ganti rugi tanah setelah sejak tahun 1980-an, didiami warga transmigrasi. Lokasi-lokasi yang dimaksud adalah di Rawa Sari seluas 45,5 hektar, Padang Rahaja, 1875,3 hektar dan Suka Maju seluas 1433 hektar.
Selain terus berjuang di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merauke sebagai perpanjangan tangan rakyat, surat pengaduan secara tertulis dilayangkan juga kepada Komnas HAM Perwakilan Papua. Mereka pun telah memberikan jawaban dengan bersurat secara langsung kepada Bupati Merauke, Drs. Romanus Mbaraka, MT agar apa yang menjadi hak dari orang asli Papua, harus segera diselesaikan dan atau dituntaskan.
Ketua Tim Enam yang memperjuangkan hak masyarakat adat, Paulus Samkakai saat ditemui media ini kemarin menjelaskan, pihaknya juga telah bertemu dengan Wakil Ketua I, Ahman Rosyadi. Dari pertemuan tersebut, Rosyadi telah memberikan suatu jawaban pasti untuk akan mempertemukan warga bersama Ketua DPRD Merauke, Ir. Leonardus Mahuze guna dilakukan pembahasan lebih lanjut.
Sesuai rencana, lanjut Paulus, saat pertemuan dengan pimpinan dewan, pihaknya yang nantinya didampingi SKP Keuskupan Agung Merauke, akan meminta agar dilakukan dialog dengan menghadirkan semua anggota dewan. “Kami menginginkan dan mengharapkan agar pertemuan dilakukan secara terbuka. Sehingga hasil akhir dari pertemuan itu, dapat ditindaklanjuti kepada pemerintah setempat,” ujarnya.
Diharapkan juga agar untuk sementara waktu, pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada investor untuk melakukan kegiatan di Kampung Kaiburze dan sekitarnya. Karena belum ada penyelesaian pembayaran ganti rugi tanah yang merupakan hak dari masyarakat adat. “Ya, harus dituntaskan terlebih dahulu pembayaran ganti rugi tanah. Karena itu adalah hak masyarakat adat setempat,” pintanya.
Dia juga meminta agar perlu dilakukan pembayaran ganti rugi terhadap sagu seluas kurang lebih sembilan hektar yang hingga sekarang nyaris punah akibat kebijakan pemerintah pusat untuk berbagai kegiatan disana. “Itu adalah salah satu makanan orang asli Papua yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Sekarang ini, hanya tersisa di beberapa tempat dan sudah sangat berkurang,” tuturnya.
Ditambahkan, masyarakat yang tinggal disana, kurang mendapatkan perhatian yang baik. Sementara orang di lokasi transmigrasi, terus tumbuh dan berkembang. “Ya, ini adalah keluhan dari kami sebagai orang asli dan diharapkan perhatian serius dari pemerintah,” ujarnya.
Source: Aliansi Demokrasi untuk Papua http://www.aldp-papua.com/?p=8646