21/06/2013 Proyek pembangunan pangan dan energi skala luas “MIFEE” yang diluncurkan oleh pemerintah tahun 2010 ini dibayangkan akan menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan nasional dan bahkan untuk memberi makan masyarakat dunia yang jumlahnya miliyaran jiwa.
Semenjak tahun 2007 hingga saat ini, sudah ada 80 an perusahaan skala nasional dan internasional yang diberikan Izin Lokasi untuk investasi pengembangan MIFEE. Ada sekitar 18 perusahaan yang aktif beroperasi di Merauke, di dominasi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tebu. Salah satu perusahaan dalam skema MIFEE yang sangat aktif beroperasi adalah perusahaan hutan tanaman PT. Selaras Inti Semesta (SIS), anak dari perusahaan Medco Group.
PT. SIS sudah melahap isi semesta alam di lingkungan Kampung Zanegi, Distrik Malind, Merauke. Ribuan hektar hasil hutan kayu dirobohkan dan diangkut ke pabrik PT. Medco Papua Industri Lestari di Kampung Buepe, Distrik Kaptel. Potongan kayu-kayu dari hutan alam masuk dalam mesin pabrik penggiling untuk menghasilkan jutaan kayu serpih. SIS mentargetkan dapat menghasilkan 2 – 10 juta ton kayu serpih per tahun dan diperlukan bahan baku kayu sebesar 3 juta kubik per tahun. Diperlukan tanah luas ratusan ribu hektar untuk menghasil kayu serpih.
Minat investasi bisnis serpih kayu sangat diminati investor, apalagi pemerintah memberikan kemudahan dalam bisnis hutan tanaman ini. Perusahaan asal Korea Selatan LG International dan Y Han Internasional, menaruh sahamya dalam bisnis SIS. Nilai harga patokan ekspor kayu serpih di dunia juga tinggi, pada tahun 2010 harga patokan ekspor kayu serpih sekitar USD 350 perkubik. Jutaan ton kayu serpih asal hutan Kampung Zanegi diangkut ke luar tanah Papua untuk kebutuhan energi masyarakat dunia yang mengalami krisis.
PT. SIS datang menguras dan merubah hutan Zanegi untuk menyelamatkan krisis energi dunia, sekaligus mendatangkan peluang bisnis yang menghasilkan dan menjanjikan keuntungan miliaran dan mungkin triliunan rupiah.
Berbeda dengan Orang Malind di Kampung Zanegi pemilik hutan dan dusun-susun di wilayah konsesi PT. SIS, mereka masih hidup miskin, makan susah, terkadang hanya makan sekali sehari. Masyarakat kebanyakan pergi meninggalkan kampung dari Senin sampai Jumat, tinggal di “bevak” Mayo pada hutan tersisa yang belum tergusur. Mereka memangkur sagu, menangkap ikan dari kali, berburu hewan hingga berhari-hari jauh dari “bevak”. Para pemuda kampung pergi ke camp perusahaan menjadi buruh survei dan buruh pengangkut dengan upah Rp. 70.000 per hari, upah yang rendah jika dibanding harga kebutuhan pokok para pekerja. Hanya guru-guru dan anak remaja sekolah yang tinggal di kampung.
Janji perusahaan PT. SIS untuk merubah nasib Orang Malind di Kampung Zanegi dari ketertinggalan menjadi kemajuan, dari kesulitan menjadi kemudahan hidup, dari penonton menjadi pelaku pemilik, tidak pernah terbukti. Isi hutan sudah habis dan kehidupan masyarakat sama saja dengan sebelum ada perusahaan, cerita Amandus Gebze. “Kami hanya dapat uang ganti rugi untuk cacing yang tergusur, perusahaan tipu kami dan memberikan uang penghargaan Rp. 300 juta kepada masyarakat untuk ambil tanah hutan”, ungkap Amandus Gebze. Masyarakat Zanegi menuntut kenaikan harga kompensasi kayu Rp. 2.000 per kubik menjadi Rp. 10.000 per kubik, tapi perusahaan tidak menggubris.
Kini, kesulitan dan penderitaan yang baru mulai muncul dan dirasakan masyarakat di Kampung Zanegi. Semenjak Januari hingga April 2013, sudah ada empat orang anak meninggal di Kampung Zanegi, karena masalah gangguan ISPA, muntah berak dan kekurangan gizi. Puluhan anak kecil menderita busung lapar dan penyakit kulit.
Vitalis Gebze, memperlihatkan anaknya yang sudah dipulangkan dokter dari rumah sakit di Kota Merauke. Anak perempuan Vitalis bernama Agustina usianya tiga tahun tapi berat badannya hanya tiga kilo. Semestinya anak itu berwajah riang tetapi wajahnya cemberut seperti orang dewasa, lingkar kepalanya besar dan mata melotot sayu, tubuhnya kurus dengan tulang berbalut kulit yang keriput, perutnya besar dan susah berjalan. “Dokter pulangkan anak ini karena tidak ada masalah penyakit”, kata Vitalis. Pelayanan medis sangat buruk disini dan tidak ada tanggapan pemerintah daerah terhadap situasi luar biasa ini. Perusahaan PT. SIS juga punya tenaga dokter dan klinik pengobatan, tapi hanya untuk karyawan. Janji PT. SIS membangun fasilitas kesehatan tidak pernah terealisasi.
Kebanyakan warga di Kampung Zanegi yakin penyakit dan penderitaan yang dialami anak-anak ini berhubungan dengan kehadiran perusahaan PT. SIS. “Perusahaan (PT. SIS) kerja diatas, air mengalir dari atas masuk ke rawa, dusun sagu dan Kali Sakau di kampung. Masyarakat minum, makan dan mandi dari air itu”, cerita mama Magdalena Mahuze.
Air hujan membawa limbah racun pestisida dari penyemperotan bibit dan tanaman mengalir masuk ke rawa, tanah, kali hingga ke kampung, yang bercampur dengan limbah minyak buangan beracun dari alat dan kendaraan perusahaan. Air dan rawa tercemar dikonsumsi masyarakat mengakibatkan anak-anak yang lemah daya tahan tubuhnya menderita sakit perut, kulit gatal-gatal, penyakit gangguan pernapasan, banyak ikan yang mabuk dan mati. “Rasa airnya berubah,” kata Matias Kaize.
Aktifitas pembukaan hutan yang luas dengan mesin-mesin pemotong dan pembelah pohon kayu yang bising membuat hewan-hewan melarikan diri ketempat jauh. “Saat ini sulit mendapat daging hewan buruan. Jalur tempat mencari makan hewan terganggu dan sumber makanan tidak ada dalam hutan, mereka pergi ke tempat yang jauh. Akibatnya pendapatan warga menurun dan sudah jarang makan daging hewan, kalaupun kebetulan beruntung ada hanya sekali sebulan”, ungkap Bonafasius Gebze.
Bonafasius menceritakan warga juga mengkonsumsi pangan dari dalam hutan, seperti: umbi-umbian, buah-buahan, daun, kacang-kacangan dan jamur, maupun obat-obatan kampung. Tapi sumber pangan tersebut semakin sulit didapat karena hutan disekeliling kampung telah berubah. Isi tanaman kebun pun kadang-kadang tidak bisa di panen karena hewan babi dan rusa yang terlebih dahulu memanen.
Satu-satunya sumber pangan yang sering digunakan masyarakat dari program pemerintah untuk bantuan beras orang miskin dan program pengadaan makanan tambahan. Meskipun beras bantuan yang diterima kurang baik tapi masyarakat tidak protes. Sumber pangan lainnya dari kios di kampung yang dimiliki penduduk pendatang, dengan harga yang mahal. Upah buruh Rp. 70.000 per hari, hanya digunakan untuk membeli beras dua kilo Rp. 22.000.-, daging rusa Rp. 25.000 se kilo, bumbu masak Rp. 5.000, untuk sekali masak, kopi, teh, gula Rp. 15.000 untuk sehari, sisanya untuk pinang kering tiga bungkus Rp. 3.000. Biasanya warga terpaksa berhutang untuk memenuhi tambahan kebutuhan, seperti: supermi, biskuit, susu, rokok, dan sebagainya.
“Tidak semua orang di Zanegi kerja dengan perusahaan (PT. SIS), saat ini hanya ada 26 orang menjadi karyawan CSR perusahaan, pada bulan Maret lalu hanya 9 orang saja”, cerita Vitalis Gebze, yang kerja dengan PT. SIS sejak tahun 2012 lalu. Kebanyakan warga tidak bekerja, tidak punya pendapatan dan makan sekedarnya, hanya makan sagu bakar dan pisang rebus saja. Ketidakcukupan pangan dan kelaparan sering terjadi.
Bayi dan anak-anak lah yang menjadi korban kelaparan dan gizi buruk. Dampak dari situasi buruk tersebut, antara lain: pertumbuhan fisik anak menjadi lebih kecil dan pendek, gangguan kecerdasan, penurunan IQ dan rendahnya kemampuan belajar, menurunnya daya tahan tubuh, menurunnya produktivitas dan kesehatan sering terganggu. Orang-orang Malind yang fisiknya tinggi, besar, kuat dan jago berperang, terancam akan tersingkir, punah dan menjadi orang yang lemah. Situasi ini kami temukan juga di kampung sekitar Distrik Animha dan Distrik Malind.
Pantas saja Orang Malind di Kampung Zanegi mempertanyakan apa tujuan dan manfaat proyek MIFEE. Bagaimanapun persoalan busung lapar, kekurangan gizi, kemiskinan dan kehancuran lingkungan adalah masalah serius yang harus diselesaikan.
Ank, Juni 2013
[Kabar duka diterima Selasa 25/06 dari penulis:
Dear kawan2,
Pagi ini saya terima SMS berita duka dari Vitalis, warga Zanegi dari camp SIS, Medco di Mayo, Kali Bian:
“kaka ni dgn vitalis ni, saya sampaikan saya pu anak sakit tua suda meninggal”.
Tahun 2013 (Januari – Juni) ini sudah ada lima orang anak kecil meninggal dengan penyakit yang sama. Warga sendiri tidak punya istilah untuk penyakit yang baru itu dan mengisukan sebagai penyakit tidak wajar karena “suanggi” (santet). Sewaktu kami berkunjung Mei lalu, kami menduga masalah “busung lapar” (sudah konfirmasi gejala dan gambar dengan dokter di Jakarta). Kawan seperjalanan saya aktivis FPP yang pernah kerja di UNESCO, mengkonfirmasi gejala ini dan menceritakan situasi tersebut mirip yang dialami anak-anak di Afrika.
Mama-mama di Zanegi menceritakan penyakit ini masih baru dan muncul setelah ada perusahaan HTI PT. SIS (Medco). Kematian anak-anak di Merauke juga kian meluas karena muntaber dan demam berdarah.
Saya ajak kawan2 untuk mengirimkan keluhan dan kecaman terhadap persoalan ini kepada pihak pemerintah yang bertanggung jawab dari pusat hingga Merauke.
Di Papua, bisa disampaikan ke:
1. Pemerintah Provinsi Papua: Jl. Soa Siu Dok II, Jayapura, Papua, Telp. 0967 – 533381, 533084 dan Fax 0967 – 531044
2. UKP4B: Jl. Prof. Moh. Yamin SH. III No. 1 A, Angkasapura, Jayapura, Prov. Papua (99113), Telp: 0967 521649 dan 0967 521619.
3. MRP Papua: Jl. Raya Abepura, Kotaraja, Jayapura (99351), Telp. 0967 – 531 033 dan Fax 0967 – 531 033.
4. DPRD Papua: Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 2, Jayapura, papua. Telp. 0967 533580 dan Fax 0967 533691
5. Pemda Merauke: Jl. Brawijaya, Merauke, Telp. 0971 321001
6. DPRD Papua: Jl. Brawijaya No. 107, Merauke (99616) Telp. 0971 – 321265 dan 323803
Silahkan kirim pengaduan ke Pemprov Papua melalui SMS (0812 40881967).]