PRESS RELEASE:
Sebanyak 27 Organisasi Masyarakat Sipil Meminta Komisi CERD untuk melaksanakan prosedur tindakan peringatan dini dan mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan dengan segera setiap bagian proyek MIFEE yang mengancam kelangsung hidup Orang Malind.
Pada hari ini, 25 Juli 2013, sebanyak 27 organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk memajukan hak asasi manusia dan hak atas lingkungan, yang berbasis di Indonesia, Inggris dan Jerman, mengajukan surat permohonan sebanyak 40 paragraf kepada Pemberantasan Diskriminasi dan Rasial (Convention on the Elimination of Racial Discrimination, CERD) di Jenewa yang mendesak dan merekomendasikan kepada Komisi PBB memperhatikan dan mempertimbangkan situasi Orang Malind dan masyarakat adat lainnya, yang ada di wilayah pemerintahan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, melalui prosedur Aksi Mendesak dan Peringatan Dini dari CERD ini.
Meskipun Komisi CERD sudah mengungkapkan keprihatiannya tentang situasi di Papua melalui surat yang disampaikan kepada misi permanen Indonesia untuk PBB pada waktu yang lalu (2 September 2011), tetapi pemerintah Indonesia telah gagal mengambil langkah-langkah perbaikan dan situasi semakin memburuk dan mengancam keberlangsung hidup Orang Malind di Merauke, serta ancaman kerusakan lingkungan setempat, sehubungan dengan program nasional pembangunan pangan dan energy skala luas, MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), yang sudah mencaplok kawasan hutan, padang, areal gambut dan rawa seluas 2,5 juta hektar.
Semenjak tahun 2007 hingga 2013, pemerintah telah menerbitkan Ijin Lokasi dan Rekomendasi untuk akusisi lahan demi kepada 80 perusahaan untuk berbagai jenis bisnis dalam proyek MIFEE dan proyek besar pembangunan jalan, jembatan dan kanal-kanal irigasi untuk mendukung pergerakan barang dan sumber daya ke dan dari proyek MIFEE. Saat ini, sudah ada sebanyak 20 perusahaan yang aktif dilapangan untuk pengembangan bisnis perkebunan tebu, perkebunan kelapa sawit dan tanaman pangan, serta hutan tanaman industry, semuanya berlangsung di tanah adat Orang Malind yang dilakukan tanpa sepenuhnya melibatkan masyarakat setempat, tanpa persetujuan mereka dan mengabaikan hak-hak Orang Malind, sebagaimana diatur dalam kebijakan dan peraturan di tingkat lokal, nasional dan internasional, serta syarat social dan lingkungan dalam disain program MIFEE yang belum dipenuhi.
Y.L. Franky, pimpinan Yayasan PUSAKA, mengungkapkan Orang Malind yang kehidupannya sangat tergantung pada tanah, kawasan hutan, padang dan rawa, telah megalami kesulitan dan terbatasnya akses untuk memanfaatkan sumber kehidupannya, utamanya pangan. Perusahaan mengambil alih tanah-tanah masyarakat dengan cara curang manipulasi, dengan pemberian ganti rugi yang rendah sebesar Rp. 2000 hingga Rp. 300.000 per hektar untuk waktu selama 35 tahun. Orang Malind disekitar perusahaan kehilangan mata pencaharian atau menjadi “buruh kasar” secara terpaksa dan dengan upah borongan yang nilainya dibawah standard hidup layak Rp. 70 ribu perhari. Mereka didiskriminasi dan dikalahkan oleh penduduk pekerja yang baru datang dalam jumlah yang besar. Perusahaan menggunakan aparat keamanan TNI/Polri yang melakukan tekanan dan tindakan kekerasan dalam proses negosiasi mendapatkan tanah, mengamankan dan memperlancar operasi perusahaan, menghadapi dan menghalangi protes warga.
Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 40 tahun 2013 tentang Pembangunan Jalan dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, yang melibatkan TNI dalam proyek pembangunan jalan untuk mendukung program pembangunan koridor ekonomi Papua, termasuk MIFEE. Kebijakan ini sangat memprihatinkan mengingat peran militer dalam pelanggaran HAM terhadap Orang Papua, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan tekanan terhadap Orang Malind.
Mohammad Islah, pengkampanye Pangan dan Energi Walhi, mengatakan eksploitasi pembongkaran hutan dan rawa skala luas yang ekstrim, serta menggusur tempat penting Orang Malind telah menimbulkan dampak besar sangat berarti bagi perubahan relasi masyarakat dengan kawasan hidupnya, mengancam kelangsungan kehidupan social ekonomi dan budaya Orang Malind, menurunnya kwalitas dan daya dukung lingkungan alam. Tempat bernilai konservasi tinggi kawasan hutan dataran rendah yang spesifik dan perariran rawa luas tempat hidup flora dan fauna endemic tergusur sebelum diteliti dan diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Hal ini menggambarkan situasi gawat yang “membutuhkan perhatian segera untuk mencegah atau membatasi besarnya atau jumlah pelanggaran serius terhadap konvensi (CERD)” dan untuk mengurangi risiko diskriminasi rasial lebih lanjut. Iklim kekerasan yang meluas dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat di Papua, termasuk diskriminasi yang mengakar di semua tingkat masyarakat, merupakan faktor yang memperburuk yang membuat situasi ini semakin mendesak dan ekstrim untuk melindungi masyarakat adat Papua, untuk mendapatkan perhatian dan pengawasan internasional.
Berdasarkan situasi tersebut, organisasi pemohon meminta dan merekomendasikan sebanyak delapan point kepada komisi CERD untuk melaksanakan prosedur tindakan peringatan dini dan mendesak, mencakup: mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan dengan segera setiap bagian proyek MIFEE yang mengancam kelangsung hidup masyarakat adat dan untuk segera memberikan dukungan kepada masyarakat adat yang terampas alat-alat bertahan hidupnya. Untuk mendesak pemerintah Indonesia menjamin kondisi kerja dalam proyek MIFEE untuk melaksanakan standard pekerja internasional, tidak diskriminatif, serta menghargai atas hak-hak teritorial masyarakat adat setempat.
Pemohon juga mengungkapkan keprihatinan mendalam atas pelanggaran HAM di Papua dan untuk mendesak pemerintah Indonesia agar terlibat dalam dialog resmi dengan perwakilan masyarakat adat Papua untuk menyikapi konflik di Papua tanpa kekerasan dan dialog konstruktif. Merekomendasikan dan mendesak kepada pemerintah Indonesia, untuk menetapkan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Papua.
Mendesak Indonesia untuk mendukung secara aktif dan menerapkan Deklarasi Bali mengenai HAM dan Agribisnis bersama dengan Komnasham, organisasi-organisasi masyarakat adat, pihak bisnis dan LSM.
Merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia meminta atau mengabulkan permintaan untuk kunjungan lapangan dari Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak atas Pangan agar mendukung pemenuhan kewajiban internasional, termasuk yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat di Papua; dan meminta bahwa prosedur-prosedur khusus tersebut di atas dilaporkan kepada Komisi atas setiap temuan atau kemajuan dalam pengaturan dan pelaksanaan kunjungan lapangan.
Merauke, 25 Juli 2013
Kontak Person:
Y.L. Franky, PUSAKA (081317286019)
Emil Kleden, FPP (081311683111)
Moh. Islah, WALHI (081808893713)
Rahma, HUMA (08122840995)
Organisasi Pemohon:
Forest Peoples Program, UK
PUSAKA, Jakarta
Sawit Watch, Bogor
SKP KAME, Merauke
HUMA, Jakarta
YASANTO, Merauke
FOKER LSM PAPUA, Jayapura
Walhi, Jakarta
Sajogyo Institute, Bogor
ELSAM, Jakarta
Down to Earth, UK
Watch Indonesia, Jerman
AMAN, Jakarta
JERAT Papua, Jayapura
JASOIL Papua, Manokwari
NAPAS, Jakarta
VIVAT Indonesia, Jakarta
JPIC MSC Indonesia, Jakarta
Debt Watch Indonesia, Jakarta
CAPPA Keadilan Ekologi, Jambi
Solidaritas Perempuan, Jakarta
Sarekat Hijau Indonesia, Jakarta
Yayasan Anak Dusun Papua, Abepura
IHCS, Jakarta
AGRA, Jakarta
West Papua Netzwerk, Jerman
Greenpeace Indonesia, Jakarta