Baik di kampung maupun di kota Austindo Nusantara Jaya Group sekarang menhadapi penolakan masyarakat terhadap perkebunan sawit dan sagonya di Kabupaten Sorong Selatan. Sengketa sudah muncul karena warga kampung Saga merasa hutan adat mereka sudah diambil oleh perusahaan tanpa ada musyawarah atau persetujuan – kompensasi hanya diberi kepada tetangga mereka di kampung Puragi. Sementera di kota, mahasiswa juga sempat palang kantor ANJ Agri. Tuntutan antara lain adalah perusahaan harus cabut pasukan TNI/Polri yang mengawal lokasi.
Selain itu, bulan lalu riset dari Greenomics, diterbit di mongabay.com tunjukkan bahwa perusahaan sawit milik ANJ Agri, PT Permata Putera Mandiri, telah membabat hutan secara luas. Namun ANJ Agri biasanya jual minyak sawit kepada Wilmar dan Musim Mas, dua perusahaan yang punya kebijakan ‘nol deforestasi’.
Di bawah dua artikel tentang penolakan masyarakat, diambil dari situs web Yayasan Pusaka. ANJ Agri group punya izin kehutanan untuk ambil sagu dan dua anak perusahaan kelapa sawit yang sejak satu tahun sudah membuka lahan (PT Permata Putera Mandiri and PT Putera Manunggal Perkasa), serta satu perkebunan lain yang belum buka lahan (PT Pusaka Agro Makmur):
Warga Kampung Saga Masih Palang Jalan PT. PPM
Lima Marga asal Kampung Saga, Distrik Metamani, Sorong Selatan, yakni Marga Rariaro, Sinauriago, Korerago, Bawey dan Werisaru, yang mengklaim sebagai pemilik tanah adat, masih palang jalan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Permata Putra Mandiri (PPM), yang beroperasi menggunakan tanah dan hutan adat tanpa musyawarah dan persetujuan Marga pemilik tanah.
Diketahui semenjak tahun 2014 lalu, PT. PPM telah menggusur kawasan hutan dan dusun tanaman pangan masyarakat di daerah Benawa, Distrik Kais dan Jamarema, Kampung Puragi. Distrik Metamani, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. PT. PPM tidak pernah melakukan kajian dan konsultasi secara luas terhadap masyarakat setempat.
Marga pemilik tanah di Jamarema, asal Kampung Saga kaget kawasan hutan mereka sudah digusur dan dibongkar untuk perkebunan kelapa sawit. “Kami tidak pernah diberitahu PT.PPM, masyarakat temukan tanah dan hutan sudah digusur”, jelas Adam Rariaro.
Tanah dan hutan yang dibongkar dan digusur sudah luas mulai dari daerah Benawa hingga Jamarema. Kisah Adam Rariaro bahwa PT. PPM sudah memberikan uang “ketuk pintu” seperti uang penghargaan sebanyak dua kali kepada tujuh Marga di Kampung Puragi, nilainya masing-masing tahap pertama sebesar Rp. 25 juta per marga dan tahap kedua sebesar Rp. 20 juta per marga.
Lima marga asal Kampung Saga yang tidak pernah memberikan izin dan menerima uang ketuk pintu langsung protes karena hutan dan tanah adat mereka di daerah Jamarema sudah digusur tanpa ada kesepakatan. Mereka menuding perusahaan salah orang dalam meminta persetujuan dan memberikan uang ketuk pintu.
Pada Januari 2015, Kelima Marga asal Kampung Saga protes dan melakukan pemalangan jalan perusahaan di tempat bernama Ureko. Pada pertengahan Februari 2015, Kelima Marga tersebut melayangkan surat tuntutan kepada pimpinan PT. PPM untuk memohon ganti rugi sebesar Rp. 15.000.000.000.- atas penggusuran lahan dan hutan untuk jalan dan persiapan lahan perkebunan kurang lebih 20 Kilometer dan lebar 12 meter.
Hingga kini, PT. PPM, milik Austindo Nusantara Jaya Group, belum memberikan tanggapan atas tuntutan masyarakat. Palang yang menandakan adat penghentian aktifitas di lokasi PT. PPM juga belum dibuka. “Kapolres Sorong Selatan merencanakan untuk mempertemukan marga pemilik tanah di Kampung Saga dan Puragi, serta pihak perusahaan untuk menyelesaikan permasalahan dan tuntutan masyarakat, namun hingga saat ini belum ada pertemuan”, jelas Adam Rariaro.
Source: http://pusaka.or.id/warga-kampung-saga-masih-palang-jalan-pt-ppm/
Tak Gubris Tuntutan: IPPMI Lapor Dua Perusahaan ke MRP PB
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Iwaro (IPPMI), Simon Korie mengatakan, hingga kini pihak PT. ANJ Papua dan PT. Permata Putra Mandiri (PPM), belum menjawab tuntutan para mahasiswa yang meminta agar perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit dan sagu itu, mencabut pasukan organik (TNI-Polri) yang mengawal operasional perusahaan tersebut.
Terkait hal itu, Simon mengaku jika pihaknya telah mengadukan hal tersebut ke Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat pada beberapa waktu lalu. Mendengar hal itu, MRP akhirnya meresponnya dengan baik, bahkan kasus ini dijadikan program kerja MRP, untuk meninjau lokasi eksploitasi kedua perusahaan itu.
“Kita telah bertemu dengan Danlanal Sorong secara langsung, untuk meminta agar dapat mencegah keluarnya kayu illegal melalui wilayah hukumnya dari Kabupaten Sorong Selatan” kata Simon, kepada sejumlah wartawan (3/3) sore. Simon menambahkan, masyarakat di Sorong Selatan pun mendukung sepenuhnya agar kasus ini segera diselesaikan.
Hal sena disampaikan Humas IPPMI, Ferry Onim. Menurut Onim, kedua perusahaan itu merupakan perusahaan illegal yang beroperasi tanpa mengantongi izin resmi, sebab kata Onim, dua perusahaan itu tak bisa menunjukkan bukti bahkan izin operasional perusahaan.
“Sejak berdirinya dua perusahaan itu, masyarakat ditipu, masyarakat diperdaya. Kami tidak akan mundur, kami akan proses secara hukum. Perusahaan ambil kayu, katanya ambil sagu padahal kayu juga ikut diambil, sekarang hancur,” kata Onim.
Sementara itu, Ketua Majelis Rakyat Papua, Vitalis Yumte kepada wartawan membenarkan hal tersebut, kata Vitalis pihaknya telah mengagendakan hal ini dan secepatnya akan ditindak lanjuti.
Jika dalam hasil tinjauan dan ditemukan adanya persoalan yang terjadi, pihaknya akan mengkaji dan melakukan langkah hukum. Bukan hanya di Kabupaten Sorong Selatan saja, kata Yumte, perusahaan lainpun akan dikunjungi oleh pihaknya.
Sumber: Harian Cetak Teropong News, Rabu, 4 Maret 2015.
melalui Pusaka: http://pusaka.or.id/tak-gubris-tuntutan-ippmi-lapor-dua-perusahaan-ke-mrp-pb/