Industri Petrokimia di Teluk Bintuni

gas-bintuni

Sekarang ada upaya untuk menjadikan Bintuni, Papua Barat, salah satu simpul industri terpenting di Indonesia. Dalam waktu dekat pemerintah akan ambil keputusan yang akan membuka pintu untuk beberapa perusahaan multinasional yang ingin membangun pabrik petrokimia di daerah tersebut.

Dalam 20 tahun terakhir Distrik Sumuri di Kabupaten Teluk Bintuni, yang dulu hanya hutan dan mangrove, sudah mengalami perubahan besar. Tahun 1996 PT Varita Majutama membuka perkebunan kelapa sawit di sekitar kampung Tofoi untuk menjadi salah satu pelopor sawit di Tanah Papua. Setelah itu, pada tahun 2005 proyek gas alam cair Tangguh LNG mulai dibangun, hasil kerjasama perusahaan raksasa dari seluruh dunia, dengan BP sebagai pemegang saham utama. Dua ‘train’ LNG sudah beroperasi dan baru bulan ini AMDAL disetujui untuk membangun train ketiga.

Sekarang gas dari Tangguh dibawa keluar lewat kapal, dan sebagian besarnya diekspor ke Cina sebagaimana sudah diatur dalam kontrak yang ditandatangani Presiden Megawati pada tahun 2002. Namun, seiring dengan peningkatan produksi gas, beberapa perusahaan besar sudah muncul yang tertarik dengan membuka pabrik petrokimia di daerah yang sama.

Dua atau tiga perusahaan asing raksasa (dengan sekutu dari Indonesia) sudah punya rencana untuk membangun pabrik methanol. Ferrostaal asal Jerman sudah ajak gabung PT Chandra Asri untuk mengusul proyek bernilai AS$1,8 Miliar. Sementara LG International Corp dari Korea Selatan ingin kerjasama PT Duta Firza untuk sebuah proyek methanol bernilai AS$3 Miliar (( Orang Asli Papua sudah punya pengalaman pahit dengan perusahaan ini yang juga terlibat dengan Medco dalam proyek kayu serpih di Merauke, yang sudah terkenal sebagai bencana untuk masyarakat adat dari suku Marind, khususnya di Kampung Zanegi. Setelah beberapa tahun beroperasi masyarakat tertipu, janji tak dipenuhi, konflik horizontal dalam kampung sudah muncul yang akibatkan korban jiwa dan orang di penjara dan kemiskinan sudah meningkat sampai ada banyak anak kecil yang mengalami gizi buruk. ))  Sojitz dari Jepang juga berminat investasi di daerah Bintuni tapi belum ambil keputusan untuk menjalankan proyek atau tidak. Sojitz sudah punya saham di Tangguh dan juga punya pabrik methanol di Kalimantan ((Sebenarnya awasMIFEE sudah kirim email kepada sejumlah perusahaan disebut di sini untuk meminta informasi lebih lanjut. Hanya Sojitz yang membalas untuk menjelaskan posisinya. Di . )) Methanol adalah bahan baku penting untuk membuat plastik.

Selain methanol, perusahaan BUMN PT Pupuk Indonesia dilaporkan juga berminat untuk membangun pabrik di daerah ini, tampaknya pabrik urea.

Namun tidak satupun proyek ini bisa jalan kalau tidak ada jaminan akan ada pasokan gas. Dalam beberapa bulan terakhir banyak artikel di media massa dan media sektor tambang dan energi menunjukkan bahwa pemerintah segera akan ambil keputusan tentang perusahaan mana dapat alokasi gas, mungkin bulan Oktober ini.

Di dekat Distrik Sumuri ada dua sumber untuk gas yang dibutuhkan. Salah satunya adalah proyek Tangguh. Sumber yang lain ada gas dari Blok Kasuari yang terletak sedikit lebih ke arah selatan dan juga mencakup sebagian Kabupaten Fakfak. Genting Oil dari Malaysia yang punya kontrak eksplorasi untuk blok ini.

Belum jelas kalau ada banyak gas di Blok Kasuari atau tidak. Salah satu berita pada bulan April menginformasikan bahwa Genting belum dapat cadangan gas yang berarti, namun artikel lain pada bulan Juli mengabarkan ada sekitar 2,5 trilyun foot kubic. Walaupun demikian, hampir pasti sejumlah perusahaan petrokimia akan lebih berharap dapat alokasi gas dari proyek Tangguh yang lebih mapan dan pasti.

Awasmifee belum dapat pernyataan sikap dari masyarakat adat setempat tentang investasi baru ini. Dulu, walaupun BP pasti berupaya untuk minimalisir dampak buruk dari aktivitasnya, Tangguh tetap menyebabkan berbagai masalah. Nanti ketika Genting Oil masuk untuk kegiatan eksplorasi, masalah justru meningkat dengan sering ada intimidasi dari aparat . Apa akan terjadi ketika banyak perusahaan baru masuk pada saat yang sama? Dalam kawasan industri yang melibatkan beberapa perusahaan, siapa akan menjamin suara masyarakat adat akan terdengar dan terhormati? Apalagi, perusahaan sawit juga tengah ekspansi tepat di daerah yang sama. PT Varita Majutama baru dapat izin untuk perluasan perkebunan seluas 35371 hektar, dan PT Rimbun Sawit Papua juga belakangan ini dapat izin untuk 30596 hektar. Tidak lama lagi, hutan juga akan dibabat habis, dan masyarakat adat tidak akan punya pilihan lain selain menjadi tergantung pada uang dibagi-bagi oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di tanah ulayat mereka.

Tentunya di belakang semua perkembangan ini ada Master Plan. Dalam kasus ini Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang di Tanah Papua punya tiga prioritas untuk membangun ekonomi, yaitu: MIFEE di Merauke, penambangan tembaga di daerah Timika (baca: Freeport) dan industri migas di Sorong dan Bintuni. Pabrik petrokimia di Bintuni sangat sejalan dengan visi misi MP3EI yang ingin meningkat pengolahan hilir dalam Indonesia daripada hanya mengekspor bahan mentah (dalam kasus ini gas alam cair atau LNG). MP3EI disahkan pada tahun 2011 dan berlaku sampai 2025. Namun sekarang dapat lebih banyak kritik karena semakin banyak orang sadar bahwa hanya petumbuhan ekonomi saja yang diutamakan semertara masyarakat dan lingkungan hidup menjadi korban di mana-mana proyek MP3EI muncul di seluruh nusantara.

This entry was posted in Seputar Tanah Papua and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.