Menteri mengumumkan rencana perkebunan gula baru seluas 500.000ha di Merauke, Aru dan Sultra

20130829_015506Pejabat tinggi di Jakarta terus-menurus menyatakan rencana baru untuk ekspansi pertanian skala luas di ujung timur wilayah negara Indonesia. Bulan Mei lalu Presiden Joko Widodo mengumumkan 1,2 juta hektar hutan adat akan dikonversi menjadi sawah dalam tiga tahun mendatang. Sekarang Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, menyatakan bahwa pemerintah telah mensiapkan 500.000 hektar untuk menjadi perkebunan tebu yang akan menyuplai sepuluh pabrik gula baru di Merauke, Kepulauan Aru dan Sulawesi Tenggara. Ini laporan dari MetroTV News:

Metrotvnews.com, Jakarta: Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman telah menyiapkan lahan sebanyak 500 ribu hektare (ha) untuk dibangun pabrik gula. Kesiapan lahan tersebut tersebar di tiga lokasi, yakni Sulawesi Tenggara, Pulau Aru dan Merauke.

Amran mengakui, kesiapan lahan tersebut untuk menyambut para investor untuk menanamkan modalnya dalam membangun pabrik gula di dalam negeri. Pasalnya, hingga kini Indonesia masih mengimpor raw sugar sebagai bahan baku gula industri atau gula rafinasi.

“Kita rapat bersama membahas tentang investasi. Pertama, investasi untuk pabrik gula yang rencananya di Sulawesi Tenggara, Aru dan Merauke. Ada tiga alternatif (lokasi lahan),” ujar Amran ditemui di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jalan Jenderal Gatot Subroto No 44, Jakarta Selatan, Rabu (17/6/2015).

Sebanyak 500 ribu ha lahan tersebut, lanjut dia, maka kapasitas per satu pabrik nantinya sebesar 10 ribu ton tebu per hari. Lahan seluas itu untuk dibangun 10 pabrik dengan luas satu lahan pabrik gula sebanyak 50 ribu ha.

“Mereka juga kan harus punya kebun tebu. Jadi satu pabrik nanti butuh luas lahan sebanyak 50 ribu ha,” papar Amran.

Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengungkapkan, sebanyak 26 investor telah menyatakan minatnya untuk menanamkan modal di sektor gula. Dana yang disiapkan investor tentu tak sedikit, pasalnya untuk mendirikan satu pabrik gula membutuhkan investasi hingga Rp5 triliun.

“Ada 11 ditambah 15 investor atau total 26 investor. 11 investor berbasis gula rafinasi sedangkan lainnya yang 15 investor itu yang terintegrasi dengan kebun,” pungkas Franky.

Sekali lagi, pemerintah pusat tidak mempertimbangkan sikap warga di daerah-daerah jauh dari ibukota sebelum mengumumkan proyek raksasa seperti ini. Namun tidak mungkin sang Menteri ini tidak sadar bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini masyarakat adat telah berjuang untuk menolak perkebunan tebu di dua dari tiga kawasan tersebut, yaitu Kepulauan Aru dan Merauke. Dalam kasus Kepulauan Aru tahun 2013-2014 seluruh masyarakat di Aru bersatu dalam gerakan penolakan rencana Menara Group untuk membuka perkebunan tebu seluas 500,000 hektar. Sementara di Merauke, dari sekitar 24 perusahan yang dapat izin lokasi untuk membangun perkebunan tebu sejak tahun 2010, sampai saat ini hanya ada dua yang berhasil membuka lahan. Salah satu alasan penting investasi tidak berhasil adalah penolakan dari masyarakat adat pemilik hak ulayat, misalnya di Kab. Merauke bagian barat di mana PT Astra dan PT Mayora terpaksa angkat kaki setelah aksi penolakan dari masyarakat pada tahun 2013.

Baik di Aru maupun di Merauke, semua lahan dimiliki oleh masyarakat adat yang punya hak ulayat di atas tanah tersebut. Seorang menteri tidak boleh tawarkan tanah mereka kepada para investor kecuali kalau ada persetujuan dari pemegang hak ulayat lebih dahulu.

Jacky Manuputty, salah satu tokoh koalisi #savearu tahun lalu dikutip dalam siaran pers Forest Watch Indonesia:

“Penetapan kembali Kepulauan Aru oleh Menteri Pertanian sebagai salah satu kawasan pengembangan industri gula di Indonesia Timur adalah suatu sikap arogan dan sepihak, tanpa mempedulikan aspirasi masyarakat adat Aru yang telah dengan keras menolak rencana ini sebelumnya”.  Dengan adanya penetapan ini, masyarakat adat Aru jelas merasa dibohongi oleh pemerintah.  Penetapan sepihak ini akan menimbulkan gejolak sosial baru di Kepulauan Aru. “Kami akan kembali menggerakan perlawanan terhadap penetapan sepihak ini, dan pemerintah harus bertanggung jawab terhadap hal ini” tegas Manuputty.

Belum ada informasi atau peta tersedia yang menunjukkan lokasi tepat lahan ini. Khususnya dalam kasus Merauke, belum ada indikasi bagaimana lahan untuk perkebunan tebu ini akan dicocokkan dengan izin yang sudah ada atau rencana rice estate seluas 1,2 juta hektar. Dalam kasus Aru dulu, ketika mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hassan akhirnya menolak melepaskan kawasan hutan kepada PT Menara Group, dia memberikan alasan bahwa lahan tidak cocok untuk menanam tebu. Sekarang,sepertinya, sudah cocok lagi! Belum muncul juga daftar calon investor untuk perkembangan ini.

This entry was posted in Seputar Tanah Papua, Berita Merauke and tagged , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.