Pernyataan Bersama: Masyarakat Adat korban investasi tanah dan hutan

SURAT PERNYATAAN BERSAMA

Kami perwakilan masyarakat adat dari tanah Papua yang berdiam disekitar dan dalam kawasan hutan, serta organisasi masyarakat sipil dari berbagai daerah di tanah Papua dan luar Papua, telah melakukan konferensi di Sorong, pada tanggal 02 dan 03 Desember 2016, untuk mendiskusikan dan membahas berbagai permasalahan kebijakan pembangunan dan investasi di sektor kehutanan dan lahan, maupun dampaknya terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan.

Kami telah berulangkali menyampaikan fakta-fakta tentang dampak negatif pembangunan investasi kehutanan dan lahan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat di tanah Papua, pelanggaran terhadap hak hidup, hak atas kebebasan, hak atas keadilan dan mendapatkan diskriminasi, tidak disiksa, hak atas rasa aman, hak atas tanah, hutan dan wilayah kami, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip untuk memberikan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan, hak atas pangan, hak atas kesejahteraan dan pembangunan, upah buruh murah dan kondisi kerja yang memprihatinkan, pengrusakan dan penghilangan hutan, serta kerusakan lingkungan hidup.

Kami menyatakan kepedihan dan prihatin yang mendalam, bahwa segala permasalahan pelanggaran hak-hak kami, penderitaan dan kerugian, yang kami alami masa lalu dan hingga kini, sebagai dampak dari investasi dan eksploitasi pemanfaatan hasil hutan, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, yang dikendalikan dan dilaksanakan oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara, tanpa ada penyelesaian dan upaya pemulihan hak-hak kami.

Kami menyatakan prihatian atas kebijakan dan rencana pemerintah untuk percepatan pembangunan di tanah Papua, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada perusahaan pemilik modal, melalui program pembangunan pangan dan energi nasional skala luas di Merauke, perluasan perkebunan kelapa sawit dan tanaman komoditi ekspor lainnya, eksploitasi hasil hutan, hutan tanaman industri, izin-izin pertambangan, sarana dan prasarana transportasi, dan sebagainya, dilakukan tanpa perlindungan memadai sebelumnya terhadap hak asasi kami, hak kami atas tanah dan mata pencaharian, serta kelestarian lingkungan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami merekomendasikan hal-hal, sebagai berikut:

1. Mendesak Presiden RI untuk melakukan Pertemuan Para Pihak, melibatkan pemerintah pengambil kebijakan ditingkat nasional dan daerah, perusahaan pemilik modal, lembaga keuangan, pihak-pihak berkepentingan lain, serta utamanya masyarakat korban. Kegiatan ini sebagai wadah dialog kritis dan penyelesaian permasalahan di tanah Papua.

2. Menuntut dan mendesak pemerintah daerah untuk merumuskan dan menerbitkan kebijakan peraturan daerah khusus tentang perlindungan hak-hak atas tanah dan peradilan adat di tanah Papua.

3. Mendesak dan menuntut pemerintah untuk melakukan evaluasi dan review terhadap kegiatan investasi dan perijinan usaha pemanfaatan hasil hutan, lahan dan kekayaan alam, yang sudah ada dan akan dilaksanakan di tanah Papua.

4. Mendesak dan menuntut pemerintah melakukan pengkajian dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang kontroversial dan bertentangan dengan hak-hak dasar orang asli Papua, yang pelaksanaannya melibatkan masyarakat adat Papua;

5. Mendesak dan menekan perusahaan untuk sungguh-sungguh mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat Papua, serta melakukan pemulihan dan rehabilitasi atas hak-hak masyarakat korban yang telah dirampas haknya;

6. Menuntut pemerintah untuk mempercepat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan perampasan tanah skala luas di tanah Papua, seperti: kasus Wasior Berdarah, Proyek MIFEE di Merauke dan PTPN II di Keerom;

7. Kepada masyarakat korban dan organisasi masyarakat sipil untuk mengupayakan penyelesaian hukum diluar pengadilan dan aksi advokasi kampanye di tingkat daerah, regional, nasional dan internasional, seperti: Laporan pengaduan kasus kepada lembaga- lembaga dibawah PBB berkaitan dengan hak asasi manusia, masyarakat adat dan lingkungan, Laporan Universal Periodik Review di PBB, Laporan pengaduan kepada RSPO (kasus kelapa sawit), Laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

8. Kepada masyarakat korban dan organisasi masyarakat sipil untuk melakukan aksi-aksi advokasi non litigasi, mencakup: kampanye tentang mata rantai produksi dan pasar dari berbagai komoditi hasil hutan dan lahan, yang merampas hak-hak masyarakat, meningkatkan jaringan komunikasi dan media kampanye;

9. Kepada masyarakat korban dan organisasi masyarakat sipil untuk membangun kapasitas dan jaringan paralegal di tingkat dan antar masyarakat adat di Papua, serta jarigan advokat pembela hak-hak legal masyarakat adat Papua pada isu permasalahan sosial, ekonomi dan budaya;

10. Kepada masyarakat korban dan organisasi masyarakat sipil untuk membangun dan memperkuat usaha-usaha ekonomi alternatif masyarakat berdasarkan pengetahuan kearifan masyarakat adat setempat dan potensi sumberdaya alam, yang dikelola secara adil dan lestari berkelanjutan;

11. Kepada masyarakat korban dan organisasi masyarakat sipil untuk memfasilitasi pengorganisasian, pengembangan kapasitas dan penguatan hak-hak masyarakat di tingkat marga, suku, kampung dan antar daerah, melalui pendidikan dan media belajar alternatif, seperti: film dan cerita-cerita, pemetaan tanah adat, memperkuat sistem kepemimpinan lokal, mengupayakan peradilan adat, pengetahuan hukum kritis dan sebagainya;

12. Kepada masyarakat korban dan organisasi masyarakat sipil untuk membangun kekuatan dan gerakan bersama masyarakat adat yang meluas untuk melakukan tekanan mendesakkan perubahan kebijakan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan tanah Papua;

13. Kepada masyarakat korban dan organisasi masyarakat sipil untuk membangun, memperkuat dan memperluas solidaritas antara masyarakat korban lintas daerah, lintas pulau dan lintas kelompok, untuk bersama-sama bergerak melawan penindasan, kekerasan, pelanggaran HAM, perampasan tanah, dan berbagai bentuk-bentuk ketidakadilan;

14. Kami juga mengusulkan dan menetapkan hari masyarakat adat Papua korban investasi pada tanggal 13 Juni, yang dirayakan untuk memperingati korban-korban pelanggaran HAM, perampasan tanah, penghancuran situs-situs budaya dan identitas orang Papua, serta pengrusakan lingkungan. Hari tanggal tersebut akan selalu diperingati.

15. Kami juga mengusulkan dan menetapkan Konferensi Masyarakat Adat Korban Investasi akan dilaksanakan di Merauke, pada 9 Agustus 2017, bersamaan dengan memperingati Hari Masyarakat Pribumi.

Tanah Moi, Kota Sorong, 4 Desember 2016

This entry was posted in Seputar Tanah Papua. Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.