Freeport: Solidaritas Mahasiswa Untuk Sebuah Perubahan

FRONT PERSATUAN MAHASISWA TUTUP FREEPORT [FPM-TF]

Tutup Freeport  dan Seluruh Perusahaan asing, yang merupakan Dalang kejahatan kemanusiaan, Kerusakan Lingkungan di Papua ;
 ”Berikan Kebebasan Dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua”

Pada Senin, 20 Maret 2017, dilakukan aksi demo damai yang dikoordinir oleh mahasiswa. Aksi ini dilakukan di beberapa daerah secara serempak seperti di Kota Jayapura, Timika, Jogjakarta, Bandung, Manado, Bogor, Palu, Jakarta. Tuntutan aksi adalah menutup PT Freeport dan Memberikan Kebebasan dan Hak Penentuan Nasib Sendiri.

Berikut ini adalah refleksi dan pernyataan sikap dari Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport di Kota Jayapura

Disvestasi Saham PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2017 kini menjadi hangat dikalangan masyarakat Papua, mulai dari Gubernur Papua, Lukas Enembe Yang mendukung Kebijakan Indonesia, hingga lembaga-lembaga yang berkepentingan, juga birokasi Papua. Tetapi, mereka itu entah orang Papua atau dari mana pun yang mendukung soal disvestasi 51% saham atau perpanjangan kontrak karya, dapat berkesimpulan naif.

Kisruh Pemerintah Indonesia dan PTFI, antara disvestasi 51% dan Investasi 100%; antara status kedudukan PTFI di Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Kontrak Karya (KK), polemik yang terjadi adalah tentu kepentingan para pemodal dan birokrat yang mengatasnamakan Rakyat. Bukan untuk rakyat Papua, pada khususnya.

Dampak dari kisruh yang terjadi, telah banyak korban PHK para Buruh PTFI. Mereka dipecat tanpa mempertimbangkan hak hidup (Tunjangan) dan tenaga kerja mereka. Jelas-jelas kapitalisme punya prinsip yang jelas bahwa buruh dibutuhkan disaat kapitalnya semakin bertambah dan menimbun. ketika krisis, mereka tidak segan-segan memikirkan nasib buruh.

Begitu pula dengan keberadaan Sosial rakyat West Papua. PTFI dikenal di dunia internasional bahwa salah satu perusahaan pertambangan terbesar, nomor 1 di dunia. Tetapi, apa yang didapatkan oleh rakyat Papua? Kemiskinan, Pelanggaran HAM, Genosida, penjajahan; dan alam dihancurkan oleh sistim kapitalisme yang memproduksi lebih banyak tanpa mempertimbangkan hukum alam dan dampak balik pada kehidupan manusia.

Kita telah ketahui bahwa adanya Freeport tidak serta-merta ada tiba-tiba dalam satu negara yang sama. Apalagi, sangat tidak mungkin jika sama-sama mempunyai niat mengelola Sumber Daya Alam [SDA] milik Papua bersama segelintir elitis yang telah menjadikan pemilik sebagai benalu. Peradaban Barat telah masuk dalam ruang dan waktu Orang Asli Papua [OAP] bersama kepentingan Imperialisme global.

Semangatnya Freeport ternyata sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen mengatakan bahwa dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg [Gunung Tembaga] di Irian Barat [Papua] yang ditulis Jean Jacques Dozy di tahun 1936.

Sejarah Papua adalah, sejarah yang termanipulasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi politik Imperialisme Amerika Serikat, yang akhirnya mendorong Indonesia untuk melakukan aneksasi atas Papua, dan mengskenariokan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sebelum proses PEPERA dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia. Maka Klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sehingga dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak dalam proses penentuan nasib sendiri, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat. Selama 32 tahun Papua dalam kontrol rezim militeristik Soeharto, telah banyak terjadi kasus pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia melalui berbagai Operasi Militer yang diterapkan di Papua. Situasi ini tidak berhenti setelah masa reformasi di Indonesia tahun 1998.

Walalupun, pergantian rezim terus terjadi dan pembahasan-perpanjangan KK atau pergantian IUPK, hingga Rezim Jokowi – JK tidak disertai perubahan mendasar terhadap sistem di Indonesia. Pelanggaran HAM yang dilakukan aparat Militer Indonesia sampai saat ini masih terus terjadi, bukti penembakan yang membabi buta terhadap 5 pelajar di Enarotali Kab. Pania pada; tanggal 8 Desember 2014 oleh TNI-Polri, Penyisran terhadap masyarakat kampung Utikini, Dan masih banyak lagi berbagai kasus kejahatan terhadap kemanusian yang dilakukan Militer Indonesai terhadap Rakyat Papua lainnya yang tidak terhitung jumlahnya. Sederhananya, di tengah polemiknya kisruh Freeport, apa yang didapatkan oleh, setelah sebelumnya, tindakan militeristik yang terjadi di Dogiyai, dan setelahnya, terjadi konflik di Intan Jaya, yang telah menewaskan 6 orang dan 600 lainnya mengalami luka-luka kritis.

Hal ini telah memberikan sebuah kebingungan dan kebutaan melihat kondisi keberadaan sosial rakyat Papua, dikarenakan napsu akumulasi modal. Itu ciri khas dari kapitalisme. Kapitalisme tak memihak kepada kaum tertindas. Negara Demokrasi hanya ilusi para koruptor, Petinggi perwira, Parlemen, dan menteri, juga kapitalis-kapitalis yang gentayangan dibalik layar. Melihat semua kompleksitas, semua persoalan di Papua saat ini, dimana tidak ada lagi pengakuan terhadap hak-hak demokratis rakyat Papua dan rasa tanggung jawab akibat dampaknya.

Dengan kehadiran PT. Freeport milik Imperialisme Amerika yang merupakan dalang kejahatan terhadap rakyat papua, Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport menyatakan sikap kepada Rezim Joko widodo – Jusuf Kala dan Kapitalis Freeport untuk SEGERA :

  1. Angkat Kaki Dari Tanah Papua dan Tutup Freeport! Bersama Aktifitas Eksploitasi Semua Perusahaan Multy National Coorporation (MNC) milik Negara-negara Imperialis ; BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo, dan lain-lain dari Tanah Papua.
  2. Audit Kekayaan dan Kembalikan Freeport, serta Berikan Pesagon untuk Buruh.
  3. Audit Cadangan Tambang dan Kerusakan Lingkungan.
  4. Tarik TNI-POLRI Organik dan non-Organik dari Tanah Papua.
  5. Berikan “Hak Menentukan Nasib Sendiri” Sebagai Solusi Demokratik Bagi Rakyat Bangsa Papua.
  6. Usut, Tangkap, Adili, dan Penjarakan Aktor Pelanggaran HAM Selama Keberadaan Freeport di Papua.
  7. Biarkan Rakyat dan Bangsa Papua Menentukan Masa Depan Pertambangan Freeport di Tanah Papua.
  8. Freeport Wajib Merehabilitasi Lingkungan Akibat Eksploitasi Tambang.
  9. Hentikan Aktivitas MP3EI dan STOP Pembangunan Pangkalan Militer di Seluruh Tanah Papua.

Sumber: Fransiskan Papua: http://www.fransiskanpapua.net/2017/03/1697/solidaritas-mahasiswa-untuk-sebuah-perubahan.php

This entry was posted in Seputar Tanah Papua and tagged . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.