Selama beberapa bulan, kami telah mencoba untuk mengumpulkan data sebanyak kemampuan kami tentang industri kelapa sawit di Papua. Kami telah melakukan ini melalui proses penelitian internet, komunikasi dengan LSM lokal Papua, organisasi gereja, lembaga adat dan aktivis lainnya, dan mengupayakan menghubungi sumber-sumber pemerintah dan korporasi. Kami berharap publikasi ini adalah panduan yang cukup baik tentang situasi industri kelapa sawit di Papua dan implikasinya bagi masyarakat setempat.
Sayangnya informasi ini tidak selengkap seperti yang kami kehendaki. Tujuan kami adalah menyajikan gambaran tentang setiap perusahaan kelapa sawit yang memiliki izin untuk beroperasi di Papua, dilengkapi dengan peta lokasi, informasi tentang pemilik perusahaan, dan jenis perizinan yang dimiliki.
Namun, mewujudkan tujuan itu tidak selalu mudah. Kami belum bisa mendapatkan daftar lengkap perusahaan tersebut dari kantor-kantor pemerintah daerah di sebagian besar Tanah Papua, sehingga kekurangan tersebut harus kami lengkapi dari laporan masyarakat setempat, media dan penelitian kami sendiri. Kesulitan terbesar seringkali adalah upaya mendapatkan informasi dari pemerintah daerah, banyak yang menolak untuk memberi informasi, kebanyakan tidak mau menerima telepon dan menjadi lebih sulit lagi jika para narasumber ini tidak mau ditemui langsung.
Jika sebuah perusahaan kelapa sawit ingin mengajukan permohonan izin, biasanya harus mendekati Bupati, pemimpin terpilih masing- masing Kabupaten. Jika secara prinsip Bupati setuju, mereka akan mencari lahan yang cocok dan mengeluarkan Ijin Lokasi. Kemudian perusahaan akan membutuhkan rekomendasi di tingkat provinsi. Jika tanah tersebut diklasifikasikan sebagai hutan negara, maka akan membutuhkan izin dari Menteri Kehutanan untuk melepaskan lahan itu dari kawasan hutan negara. Menariknya, ditemukan kecenderung meningkatnya pemberian izin lokasi berlangsung sejalan dengan masa berakhirnya pemimpin daerah dan menjelang pemilihan kepala daerah, sehingga menimbulkan opini bahwa sumber daya alam dijadikan komoditi untuk membiayai kepentingan aktor-aktor politik. Perusahaan maupun tim teknis juga mengeluarkan rekomendasi menggunakan argumentasi “hutan sekunder” untuk dapat lolos dari ketentuan kebijakan moratorium dalam pelepasan kawasan hutan. Hampir sedikit sekali dipertimbangkan situasi sosial setempat dalam pelepasan kawasan hutan.
Bagi masyarakat adat di dalam dan sekitar hutan yang berdiam di tanah yang diincar perusahaan, sangat penting bahwa mereka mendapatkan informasi lengkap dan memadai tentang perusahaan dan rencana perusahaan pada tahap sedini mungkin. Karena mereka adalah pemilik hutan berdasarkan hukum adat dan hidup mereka bergantung pada hutan, mereka memiliki hak untuk membuat keputusan yang bebas atas penggunaan tanah-tanah mereka. Namun, seringkali terjadi mereka baru mendengar untuk pertama kalinya tentang rencana perusahaan ketika perusahaan mendekati mereka dengan proposal untuk perolehan dan pengadaan tanah. Perusahaan sudah mengantongi izin dan hak pengelolaan tanah hutan tanpa musyawarah dan persetujuan masyarakat. Perusahaan sering menggunakan cara ‘tipu-tipu’ (manipulasi) atau intimidasi, melibatkan oknum aparat pemerintah dan aparat keamanan maupun lembaga perantara berasal dari warga setempat. Sangat mudah bagi perusahaan menciptakan konflik dalam masyarakat dengan cara ini, memecah-belah mereka menjadi pro dan kontra. Konflik-konflik ini digunakan demi keuntungan perusahaan. Idealnya, komunitas-komunitas dapat diberikan dan memperoleh informasi sebelum situasi menjadi rumit yang tentu akan mempunyai posisi lebih baik untuk membuat keputusan mengenai pemanfaatan hutan mereka.
Perusahaan-perusahaan ini diketahui masih mempunyai hubungan dan dikendalikan para “taipan” penguasa modal besar. Meraka menggunakan dan berada dibawah payung group-group perusahaan besar dan bekerjasama dengan perusahaan transnasional. Mereka juga mengendalikan bisnis sektor usaha lainnya, seperti pembalakan kayu, hutan tanaman industri, pertambangan, penangkapan hasil laut di tanah Papua maupun di daerah lainnya di Indonesia. Atlas Sawit Papua ini juga menyajikan informasi keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah menguasai lahan skala luas dan mengendalikan industri kelapa sawit di tanah Papua. Perusahaan tersebut sering menggunakan nama lokal dan nama tertentu untuk memberi kesan “pencitraan” pro rakyat dan pro lingkungan, meskipun faktanya berbeda, seperti: hijau lestari, matoa lestari, agro lestari, sawit lestari, agung sejahtera, nabire baru, sarmi sejahtera, dan sebagainya. Grup perusahaan bisnis kelapa sawit di tanah Papua yang dimiliki pengusaha kaya Indonesia versi Forbes (2014), antara lain: Musim Mas Group milik Bachtiar Karim (2 miliar USD), Raja Garuda Mas Group milik Sukanto Tanoto (2,11miliar USD), Sinar Mas Group milik Eka Tjipta Widjaja (5,8 miliar USD), Salim Group milik Anthony Salim (5,9 miliar USD), Rajawali Group milik Peter Sondakh (2,3 miliar USD). Mereka mempunyai perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua lebih dari satu anak perusahaan. Musim Mas Group bahkan mempunyai 6 (enam) anak perusahaan bernama lokal dengan luas lahan yang dikuasai sebesar 163.000 hektar. Perusahaan ini juga mempunyai usaha lainnya, seperti Rajawali Group yang sedang mengusahakan perkebunan tebu di daerah Merauke.
Perusahaan besar kelapa sawit yang memiliki usaha besar lainnya di tanah Papua adalah Austindo Nusantara Jaya Group milik pengusaha kaya George S Tahija, yang sedang mengembangkan industri pengolahan sagu di daerah Metamani, Sorong Selatan, dan pengusaha listrik di Tembaga Pura, Mimika. Perusahaan Kayu Lapis Indonesia Group, yang memiliki bisnis pembalakan kayu dengan areal konsesi terluas di tanah Papua. Medco Group yang aktif juga dalam bisnis hutan tanaman industri, bubur kertas dan pertambangan di beberapa daerah di Papua.
Perusahaan modal asing (PMA) Korindo Group, asal Korea Selatan, yang sedang mengusahakan eks lahan pembalakan kayu untuk perkebunan kelapa sawit. Selain Korindo Group, ada cukup banyak PMA melakukan bisnis kelapa sawit di tanah Papua, yakni: Tadmax Group asal Malaysia dan Pacific Interlink asal Yemen beroperasi di Boven Digoel; The Lion Group asal Malaysia;Noble Group berkantor di Hongkong dan Carson Cumberbatch asal Sri Lanka yang mengelola perkebunan kelapa sawit di Nabire. Sedangkan perusahaan kelapa sawit milik negara hanya ada satu, yakni PTPN II Arso. Sebelumnya terdapat PTPN II Prafi, belakangan PTPN II Prafi dikelola oleh perusahaan asal Cina, Yong Jing Investment.
Namun riset kami juga temukan bahwa ada banyak perusahaan ‘misterius’ yang mempelopori investasi dengan mendekati pemerintah daerah untuk mengurus izin perkebunan. Perusahaan-perusahaan ini biasanya beroperasi secara diam-diam dan menghindari ada informasi muncul di muka umum. Mereka tidak punya situs web, dan di kantornya di Jakarta tanpa tanda identifikasi apapun. Dua contoh adalah Menara Group yang dapat izin untuk tujuh anak perusahaannya di Boven Digoel (salah satu komisarisnya adalah mantan Kapolri) dan PT Pusaka Agro Sejahtera Group yang berhasil dapat izin lokasi di Sorong Selatan, Maybrat, Mimika dan Jayapura.
Ada contoh lain di Boven Digoel, di mana tiga anak perusahaan punya alamat di sebuah law firm, tapi law firm tersebut ketika dikunjungi menolak memberikan informasi tentang perusahaan kelapa sawit. Di kantor PT Mega Mustika Plantation dan PT Cipta Papua Plantation yang akan beroperasi di Sorong Kota, kami dapat penolakan yang sama. Ada indikasi bahwa keterlibatan perusahaan-perusahaan seperti ini spekulatif – kalau sudah dapat semua izin, nanti perusahaan dijual kepada perusahaan lain (milik taipan atau asing misalnya) yang punya modal lebih besar untuk bisa mengoperasikan perkebunan. Pola kerja perusahaan yang sangat tidak terbuka seperti ini sama sekali tidak memungkinkan proses Free Prior Informed Consent dengan masyarakat adat pemilik hak ulayat di lokasi perkebunan.
Membawa informasi yang diperlukan dan selama ini disembunyikan ke dalam ruang publik memerlukan upaya kolaborasi dari banyak orang, seperti halnya memastikan informasi ini sampai kepada masyarakat di kampung-kampung yang mungkin akan terkena dampak proyek-proyek pembangunan.
Namun, kami percaya bahwa sangat penting untuk berjuang untuk mendapatkan informasi lengkap dan dapat diakses tentang perkebunan dan rencana pembangunan lainnya, sehingga dapat menjadi alat perjuangan yang lebih luas bagi masyarakat untuk mengambil kendali atas masa depan mereka sendiri. Jika data sulit diakses, itu karena sengaja sedang disembunyikan oleh orang-orang dengan kepentingan tertentu yang mengingkari hak-hak masyarakat. Semoga publikasi ini memberikan manfaat dan kontribusi untuk perjuangan keterbukaan informasi dan akses informasi data investasi perkebunan dan kehutanan di Papua. Kami harap publikasi ini dapat dikembangkan. Sampai ada perubahan sistem, dibutuhkan lebih banyak orang untuk pro-aktif mencari dan
Idealnya publikasi ini tidak akan menjadi proyek statis, tetapi bisa menghasilkan edisi lanjutan. Bagaimanapun, kelengkapan dari publikasi sangat tergantung pada informasi yang dapat dipercaya di tingkat lokal. Oleh karena itu kami menghimbau kepada aktivis setempat, anggota masyarakat atau mereka yang memiliki akses terhadap data pemerintah untuk mengakui pentingnya informasi yang terbuka dan dapat diakses, lalu mempublikasikan informasi sendiri, atau bisa juga menghubungi kami. Tentu saja kami sangat senang untuk memberikan informasi lebih lanjut yang mungkin kami miliki tentang perusahaan yang dicantumkan di sini.
Unduh laporan lengkap di sini: [Bahasa Indonesia] [Bahasa Inggris]