Atlas Sawit Papua: Dibawah kendali penguasa modal.

boven clip

Industri kelapa sawit di Indonesia sedang melakukan ekspansi ke arah timur. Karena sudah semakin sulit mendapatkan lahan yang luas di pulau Sumatera atau Kalimantan, perusahaan kelapa sawit semakin mencari lahan baru di wilayah timur, baik di pulau-pulau kecil di Maluku, maupun di Tanah Papua yang sudah bertahun-tahun mengalami berbagai macam konflik.

Sepuluh tahun lalu hanya ada lima perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Tanah Papua. Pada akhir tahun 2014 sudah ada 21 perkebunan beroperasi. Perluasan yang sangat cepat ini sepertinya akan melompat terus dengan 20 perusahaan lainnya yang sudah dalam tahap lanjut proses perizinan, dan puluhan perusahaan lagi yang memegang izin lokasi dari bupati setempat. Kalau semua perkebunan ini jadi, kawasan hutan yang dibutuhkan lebih dari 2.6 juta hektar. Sebagian besar lahan ini masih hutan alami.

Dari 21 perkebunan yang sudah beroperasi, di hampir setiap kasus sudah pernah ada konflik dengan masyarakat adat setempat yang dulu tergantung pada hutan (banyak orang Papua yang tinggal di dataran rendah sering memanfaatkan hutan untuk berburu dan meramu antara lain). Konflik muncul saat masyarakat adat menolak menyerahkan tanah ulayatnya, atau menuntut penyelesaian yang lebih adil kalau mereka merasa sudah tertipu oleh perusahaaan, atau konflik horizontal antara kampung maupun marga, aksi oleh pekerja lokal yang merasa hak mereka sebagai buruh diabaikan, atau kekerasan dan intimidasi dari polisi atau tentara yang diangkat untuk kerja sebagai satpam perusahaan.

Atlas Sawit Papua ini, baru diterbit oleh awasMIFEE dan Pusaka dengan enam organisasi lainnnya, adalah upaya untuk gambarkan industri kelapa sawit yang sedang berkembang di Tanah Papua. Perusahaan yang mana terlibat? Di mana lokasinya? Di mana akan menjadi titik panas dalam tahun-tahun ke depan? Tujuan kami adalah mendorong informasi yang terbuka tentang industri-industri sumber daya alam di Tanah Papua. Biasanya pemerintah daerah dan perusahaan sering tidak mau memberikan informasi tentang perizinan, sehingga masyarakat sering tidak tahu apa-apa tentang rencana membuka perkebunan sebelum didatangi perwakilan perusahaan (ditemani polisi / TNI) dalam rangka negosiasi untuk akuisisi lahan.

Walaupun hak masyarakat adat atas tanah warisan leluhurnya (hak ulayat) memang diakui oleh hukum Indonesia, dalam realitasnya masyarakat adat sering tertekan untuk menyerahkan tanah ulayatnya, dengan uang ganti rugi yang jarang melebihi Rp300,000 per hektar. Harapan kami adalah publikasi ini akan menjadi alat untuk masyarakat adat dan gerakan sosial di Papua yang ingin mengerti industri kelapa sawit dan menghadapi perampas tanah ini demi mempertahankan hutannya atau pilih secara bebas jalur kedepannya. Karena masyarakat adat Papua sendirilah yang punya hak untuk menentukan pembangunan apa akan memberikan manfaat untuk komunitasnya.

Untuk pencinta lingkungan hidup dan pendukung hak masyarakat adat di luar Papua, kami juga berharap bahwa publikasi ini akan membantu pemahaman tentang pola dan sifat industri perkebunan kelapa sawit di Pulau Papua, yang ,memang merupakan hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Dengan dalih konflik Papua Merdeka, pemerintah Indonesia sangat membatasi akses untuk pemerhati mancanegara untuk bekerja di Papua, dan mungkin hal ini juga merupakan salah satu alasan karena rendahnya kesadaran di tingkat internasional tentang ancaman terhadap lingkungan hidup di Tanah Papua. Kemarin (29 April) berbagai organisasi peduli HAM di Papua, di Indonesia dan setidaknya 20 kota di seluruh dunia turut beraksi untuk menuntut akses terbuka ke Papua. Terbitan ini punya tujuan yang sama – agar Tanah Papua tidak lagi terisolasi. Juga karena  masyarakat adat di desa-desa terpencil yang ingin mempertahankan hutannya sering merasa terintimidasi oleh anggota TNI/Polri yang selalu mendampingi perusahaan.

Atlas Sawit Papua bisa diunduh di sini [Bahasa Indonesia]   [Bahasa Inggris]. Salam baca.

Baca pendahuluan

This entry was posted in Seputar Tanah Papua and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.

3 Trackbacks