Akhir 2016 lalu, Presiden Joko Widodo menyerahkan surat keputusan (SK) penetapan hutan adat kepada sembilan masyarakat hukum adat dari beberapa tempat di Indonesia, dengan total luas hutan adat mencapai 13.100 hektar. Jumlah ini tidak signifikan dibandingkan dengan angka jutaan hektar hutan dan lahan yang dijanjikan untuk diberikan dan diakui kepada rakyat Indonesia selama pemerintahan Jokowi yang sudah lebih dari dua tahun.
Konstruksi tujuan penetapan hutan adat ini umumnya untuk fungsi pokok konservasi atau lindung dan Presiden Jokowi menekankan bahwa hutan adat tidak dapat diperjual belikan saat ini dan hingga anak keturunan. Ketentuan tidak mengkomersialkan hutan adat dan tujuan mengkonservasi hutan adat sejalan dengan persepsi perlunya kepengaturan dan tindakan proteksi terhadap masyarakat adat dari ancaman dan tekanan kekuatan kapital.
Realitasnya dilapangan, keberadaan masyarakat adat atas tanah dan hutan adat terus digerogoti oleh kekuatan kapital melalui berbagai macam cara yang kemudian menyingkirkan (exclusion) dan bahkan menghilangkan akses masyarakat atas tanah dan hutan adatnya. Menurut Derek Hall, dkk (2011), ada empat kekuatan saling terkait dan dibentuk oleh relasi kuasa yang menyingkirkan masyarakat atas tanah, yakni peraturan (regulation) berhubungan dengan aturan negara dan yang berlaku dalam masyarakat; pasar (market) melalui relasi ekonomi yang timpang menyingkirkan masyarakat; legitimasi (legitimation) melalui klaim pemerintah untuk melaksanakan pengatuan dengan alasan ekonomi, politik dan justifikasi moral; dan paksaan (force) dari kekuatan alat keamanan negara militer maupun alat kekerasan pada aktor non negara.
Kebanyakan masyarakat adat dengan modal sosial yang rendah tidak dapat menghindari kekuatan jeratan kapitalisme yang bertahun-tahun menggerogoti secara paksa sistem sosial ekonomi masyarakat dan mengubah sistem nilai atas tanah. Tanah dan hutan adat yang mengutamakan nilai dan fungsi sosial, berubah menjadi sumber daya komoditi komersial dan rebutan klaim pemilikan kelompok ataupun individu tertentu. Jeratan pasar atas kebutuhan subsistensi keluarga membawa mereka dalam kerumitan ekonomi dan tidak jarang desakan subsistensi membuat mereka mengambil keputusan terpaksa dengan menjual mengkomersialkan, seperti tanah, hutan adat dan properti komersial lainnya yang bernilai jual kepada pemilik modal.
Komersialisasi hutan adat yang menyingkirkan masyarakat adat dialami oleh orang asli Papua di Arso, Kabupaten Keerom. Pada Oktober 2011, perusahaan kayu PT. Victory Cemerlang Indonesia Wood Industry (VCIWI) berhasil mendapatkan surat perjanjian pernyataan pelepasan hak tanah ulayat dari lima pimpinan keret yang mengklaim sebagai pemilik hutan adat setempat. Perusahaan PT. VCIWI merencanakan mengkonversi hutan alam yang berada dipinggir Kali Begonggi untuk usaha perkebunan kelapa sawit dengan luas 6.000 hektar. Surat perjanjian tersebut juga diketahui oleh Kepala Pemerintah Kampung, Kepala Distrik Arso, Ketua Dewan Adat dan Kepala Suku. Komersialisasi hutan adat melalui surat perjanjian pelepasan hak ini pula yang dipakai menjadi justifikasi untuk perolehan Izin Lokasi (2013) dan Izin Usaha Perkebunan (2015).
PT. VCIWI sudah lama beroperasi bisnis kayu komersial didaerah ini. Perusahaan telah menciptakan ketergantungan masyarakat pada sumber daya kapital yang dikuasai dan dikendalikan perusahaan. Ketergantungan dan hasrat keuntungan kapital ini yang dibayangkan telah mengsandera para elite masyarakat adat setempat untuk melepaskan tanah dan mengkomersialkan hutan adat kepada perusahaan. Selain itu, menggunakan cara-cara tipu daya disertai dengan janji kesejahteraan.
Ketua Dewan Adat Keerom, Servo Tuamis, mengungkapkan “Perusahaan Victory mengatakan akan menggunakan lahan dipinggiran areal perkebunan kelapa sawit PTPN dan PT. Tandan Sawit Papua, kenyataannya mereka mengambil hutan adat yang merupakan daerah segi tiga emas Orang Arso”. Tuamis menyesalkan ketidak jujuran perusahaan dan ketelanjuran tandatangan para tokoh masyarakat.
Perusahaan tidak lagi menggunakan kekuatan alat kekerasan negara sebagaimana terjadi pada masa lalu ketika perusahaan negara PTPN II memulai beroperasi di daerah ini pada tahun 1983. Perusahaan menggunakan kekuatan non negara, legitimasi keputusan Kepala Keret dan legitimasi dari tokoh adat dan pemerintah untuk hak penguasaan tanah dan izin usaha pengelolaan lahan dan hutan adat, serta memanfaatkan kayu komersial. Posisi dan eksklusi kekuatan elite, serta kekuatan perusahan dalam hubungan produksi telah menyingkirkan kepentingan banyak orang, termasuk kepentingan masyarakat adat Arso sendiri atas hutan adat.
Restu adat dan restu negara digunakan perusahaan membongkar hutan adat, menebang dan memanen kayu komersial. Diketahui lokasi hutan adat yang diambil PT. VCIWI merupakan hutan tersisa, sumber dusun sagu, sumber air telaga Beuyend dan terdapat tempat peninggalan kampung tua Yatmi dan Yamboria, milik dari suku Marap dan Abrap. Juga didalamnya tersimpan kayu komersial berkelas yang bernilai jutaan rupiah sehingga menjadi incaran pemodal dan aksesnya mudah dijangkau dari industri kayu PT. VCIWI.
Masyarakat dijanjikan mendapatkan dana bagi hasil dari usaha perkebunan kelapa sawit sebesar 30 % setelah dikurangi biaya panen dan biaya angkutan TBS, sisanya yang besar 70 % diperuntukkan kepada pemilik. Pembagian manfaat ini tidak sebanding dengan nilai manfaat dan kerugian dari hutan adat yang hilang.
Pada Juli 2016, perwakilan masyarakat adat Arso dari tiga suku Abrap, Marap dan Manem, yang terorganisir dalam Ngkawa Yimnawai Gir melakukan aksi pemalangan dan menghentikan aktivitas penebangan kayu dan pembongkaran hutan adat PT. VCIWI, termasuk melakukan pemalangan pabrik perusahaan perkebunan kelapa sawit PTPN II yang beroperasi di daerah Arso. Organisasi ini juga meminta pemerintah mengembalikan tanah dan hutan adat kepada masyarakat adat Arso.
Jonatan Bate, Kepala Kampung Yamara, Distrik Manam, Keerom, mengatakan, “Kami menginginkan hutan adat kami dikembalikan kepada masyarakat adat. Kami menolak surat persetujuan dari Ondoafi dijalan yang melepaskan lahan tanpa persetujuan masyarakat”.
Aktivitas perusahaan terhenti dan mungkin sudah melanjutkan aktivitasnya ditempat baru, menerobos kampung dan hutan untuk meraup dan melipatgandakan modal. Masyarakat adat Arso masih terus menyuarakan dan memperjuangkan cita-cita mendapatkan kembali tanah-tanah dan hutan adat mereka.
Sumber: Pusaka http://pusaka.or.id/komersialisasi-hutan-adat/