Pada 5 Desember 2013, Wilmar International, salah satu korporasi agribisnis terbesar di Asia dan pedagang minyak sawit terbesar di dunia, mengumumkan sebuah kebijakan sosial dan lingkungan yang baru, termasuk komitmen untuk tidak melakukan deforestasi dan penggunaan prinsip “Free, Prior Informed Consent” (FPIC) ketika berhubungan dengan penduduk asli.
Karena kebijakan ini tidak hanya berlaku untuk perkebunan yang dikelola Wilmar tapi juga perusahaan lain yang memberi pasokan minyak sawit, kedelai, dan tebu yang diperdagangkan oleh Wilmar, maka kebijakan ini bisa saja berdampak besar pada rekam jejak industri perkebunan, terutama untuk minyak sawit di mana Wilmar menguasai 45% pasar dunia.
Pertanyaannya, bagaimana dengan implementasinya? Kebijakan baru ini diluncurkan pada saat yang bersamaan dengan kesepakatan antara Wilmar dan perusahaan raksasa makanan dan rumah tangga Unilever, yang juga punya sasaran untuk hanya menggunakan minyak sawit yang bisa dilacak pada akhir 2014. Ketika semakin banyak perusahaan multinasional mengalami tekanan untuk menggunakan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan, keuntungan komersial bagi Wilmar dengan menjadi pemimpin di bidang lingkungan cukup jelas.
Akan tetapi, Wilmar sering dituduh melanggar standar yang telah disepakati sebelumnya; sebagai anggota Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan penerima pendanaan dari International Finance Corporation(IFC)-nya World Bank. Ini berarti banyak kelompok yang punya pengalaman dengan rekam jejak dengan Wilmar menjadi skeptis terhadap komitmen baru ini.
PT Anugerah Rejeki Nusantara: sebuah ujian apakah kebijakan baru ini serius.
Di Papua, Wilmar punya rencana membuka 40 ribu hektar perkebunan tebu di Merauke dan dua lagi di Kabupaten Mappi, tetangga Merauke, dan ini bisa menjadi ujian bagi kebijakan Wilmar yang baru. Jika kedua perkebunan ini jadi dibuka, maka akan terlihat jelas pelanggaran terhadap standar mereka sendiri. Mari kita telaah situasi PT Anugerah Rejeki Nusantara (PT ARN), salah satu perkebunan tersebut:
- No deforestation. Wilmar telah berkomitmen untuk mengakhiri deforestasi di hutan “Tinggi Stok Karbon” dan “Tinggi Nilai Konservasi. Definisi yang digunakan relatif luas dan memasukkan kebanyakan hutan yang tidak dibuka selama sepuluh tahun terakhir. Konsesi PT ARN adalah daerah kaya ekologis, sebagian besar tertutup hutan, sebagian lagi ditumbuhi rumput dan rawa-rawa..
- No peat (gambut). Wilmar mengatakan tidak akan membuka kebun di atas tanah gambut dengan kedalaman berapa pun. Data dari Wetlands International menunjukkan pola tanah gambut dangkal dan menengah di dalam konsesi PT ARN.
- Hargai hak-hak warga lokal dan penduduk asli untuk mengikuti prinsip Free, Prior, Informed Consent (FPIC). PT ARN telah berusaha meyakinkan komunitas di wilayah konsesi untuk menyerahkan lahan mereka selama dua tahun terakhir ini, tapi masih banyak warga yang bersikeras menolak. Sebuah riset baru di empat desa yang terdampak oleh PT ARN menunjukkan bahwa perusahaan ini masih belum sepenuhnya mengimplementasikan prinsip-prinsip FPIC principles. Ketika warga jelas-jelas menolak, perusahaan tetap melakukan pendekatan, hingga warga akhirnya merasa tidak punya pilihan. Seringkali Wilmar hanya berhubungan dengan pimpinan warga secara individu, yang malah menimbulkan bibit-bibit konflik di dalam desa. Aparat keamanan yang kerap dibawa dalam acara diskusi pun memberikan efek intimidasi. Ada beberapa lagi cara untuk berbuat curang; di satu desa Manager Humas PT ARN berpura-pura menjadi pendeta untuk mendapatkan dukungan warga.
Kebijakan Wilmar mencakup beberapa area lain, seperti hak-hak pekerja dan menangani masalah konflik lahan. Selengkapnya dapat dibaca di sini.
Bagaimana dengan Ganda Group?
Wilmar berkomitmen untuk menghentikan deforestasi dan pembangunan di atas lahan gambut secara segera, dan tidak akan mulai membeli dari pemasok manapun yang melakukan deforestasi atau penanaman di atas lahan gambut. Pemasok lama diberikan waktu hingga akhir 2015 untuk memenuhi persyaratan. Salah satu hal yang menarik adalah bagaimana ini akan mempengaruhi Ganda Group (Agro Mandiri Semesta Plantations), sebuah perusahaan kelapa sawit yang menjual minyaknya ke Wilmar.
Wilmar memiliki hubungan khusus dengan Ganda Group, yang dimiliki oleh Ganda Sitorus, adik laki-laki dari pendiri Wilmar Martua Sitorus. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Ganda Group telah mengambil alih perkebunan-perkebunan yang tidak memenuhi syarat yang termasuk dalam komitmen Wilmar ke RSPO dan IFC. Kasus paling parah terjadi di Jambi, di mana setelah masalah konflik lahan dengan Suku Anak Dalam Batin Sembilan selama dua tahun dimediasi oleh IFC, Wilmar secara tiba-tiba menjual anak perusahaannya PT Asiatic Persada kepada Ganda Group, daripada menuruti kesepakatan hasil mediasi. Pada hari Sabtu 7 Desember 2013, Ganda Group sekali lagi mengusir komunitas Anak Dalam yang telah menempati ulang tanah leluhur mereka di daerah perkebunan.
Ganda Group juga memiliki rencana untuk membuka dua lahan perkebunan di Merauke: PT Agrinusa Persada Mulia dan PT Agriprima Cipta Persada. Kedua perusahaan dituduh memperdaya warga lokal dan membayar harga yang amat rendah, membuka lahan untuk kebun pembibitan sebelum mendapatkan izin perkebunan. Perkebunan ini, yang juga membuka lahan hutan, nyata-nyata tidak memenuhi standar RSPO yang telah disepakati oleh Wilmar dalam usahanya mencitrakan diri sebagai perusahaan yang bertanggung jawab, tapi Ganda Group terbebas dari kewajiban ini.
Setelah kebijakan Wilmar menyebutkan mereka tidak akan membeli dari perusahaan yang membuka hutan, apakah Ganda Group akan mencari alternatif lain untuk menjual minyak sawit mereka yang ‘tercemar’ ini?
AwasMIFEE mengirim surat ke Wilmar pada tanggal 6 Desember 2013 untuk menanyakan mengenai kebijakan etis yang akan berarti membatalkan rencana mereka di Merauke. Sejauh ini belum ada tanggapan hingga artikel ini dipublikasikan.