‘The Mahuzes’ adalah sebuah dokumentar tentang perjuangan marga Mahuze di Merauke, salah satu film dibuat dalam perjalanan satu tahun Ekspedisi Indonesia Biru. Selama satu tahun Dandhy Laksono dan Ucok Suparta keliling Indonesia naik sepeda motor dengaan tujuan membuat beberapa film tentang keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia, sering di tempat-tampat dimana warga sedang berjuang untuk mempertahankan tanah atau budayanya.
Dalam empat tahun terahkir di sekitar Kampung Muting lima perusahaan sudah membabat hutan adat suku Marind untuk perkebunan kelapa sawit raksasa. Dampak perkebunan-perkebunan ini sangat merugikan marga Mahuze – salah satu marga suku Marind – bahkan air Sungai Bian yang dulu sangat bersih, sudah tidak layak minum. Marga Mahuze menolak jual tanah ulayatnya, dan memasang tanda sasi sebagai larangan perusahaan masuk. Namun perusahaan (dalam kasus ini PT Agriprima Persada Mulia) langsung mencabut saja patok dan tanda sasi . Selain konflik langsung dengan perusahaan, kita bisa lihat konflik horizontal yang sering muncul kalau perusahaan yang tak bertanggung jawab datang membawah uang tunai banyak sebagai ganti rugi. Satu hari ada upacara perdamaian dan persetujuaan batas antara suku Marind dan suku Mandobo, namun nanti kita lihat bahwa ada juga konflik yang muncul dalam marga Mahuze sendiri, karena beberapa tokoh masyarakat dicurigai menerima perusahaan secara diam-diam.
Pada saat peluncuran tahun 2010 Merauke Integrated Food and Energy Estate digambarkan sebagai proyek pertanian industri raksasa, terintegrasi dan modern, namun dalam kenyataan hanya menjadi dalih untuk perampasan tanah. Dalam lima tahun MIFEE hanya memfasilitasi ekspansi perkebunan besar di daerah Muting dan beberapa daerah lain. Namun bulan Mei 2015, President Joko Widodo datang ke Merauke untuk hidupkan kembali rencana awal untuk konversi lebih dari sejutah hektar hutan dan savana menjadi sawah. Pembuat film kunjungi juga tahap percontohan ekspansi persawahan ini, dan memperlihatkan bagaimana pemerintah pusat memerintahkan melaksanakan megaproyek tanpa peduli kondisi social dan lingkungan lokal. Dalam kasus ini salah satu masalah adalah air tanah yang tidak cukup untuk irigasi skala luas. Menurut Irawan, petugas perairan, sebagian besar air di tanah yang datar ini adalah air hujan saja.
Makanan pokok orang Marind adalah sagu yang sejak zaman leluhur selalu mereka panen di dusun-dusun. Sebagai diceritakan Darius Nerob “Kalau kita tanam padi kan, mungkin setengah tahun baru kita panen nanti kita makan. Kalau sagu, tidak – hari ini tidak ada makan, hari ini kita tebang, satu keluarga bisa tahan setengah tahun”