Mata Sanusi, berkaca-kaca. Rabu, (6/9/17), lelaki asal Gane Dalam itu bertutur soal kondisi menyedihkan dalam tiga tahun ini di kampung mereka. Kumbang tanduk menyerang kebun kelapa, tanaman rusak hingga gagal panen.
Sanusi adalah Ketua Kelompok Petani Kopra. Hari itu, dia bersama Hardi Salman, sesama petani mendatangi Kantor Walhi Maluku Utara di Ternate, untuk menyampaikan masalah mereka.
“Sejak perusahaan sawit PT Korindo masuk di wilayah kami, tanaman diserang hama. Puluhan petani kelapa gagal panen,” katanya.
Mereka pakai perahu bermesin tempel dari Gane Dalam menuju Labuha, Halmahera Selatan. Tiga jam perjalanan di laut dengan medan sulit, dilanjutkan kapal penumpang ke Ternate, sore hari.
Setiba di Ternate, mereka ke Kantor Walhi Malut. Di kantor LSM lingkungan ini mereka mengadu dengan harapan dapat terdengar pemerintah daerah maupun pusat.
“Saya datang ke sini dengan harapan suara kami dari pulau kecil (Gane) dapat terdengar baik pemerintah daerah maupun pusat. Hanya orang-orang yang peduli nasib petani yang akan melihat kami,” kata Sanusi.
Dia bercerita, dulu dari kelapa satu hektar, petani bisa membuat kopra lebih 100-800 kilogram. Sekarang, paling tinggi hanya 50 kilogram.
Ma\’af, tulisan ini hanya tersedia dalam Bahasa Inggris. Kadang-kadang ada artikel ditulis dalam Bahasa Inggris yang perlu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Kalau ada ahli bahasa yang ingin membantu dalam hal ini, tolong kirim email kepada: awasmifee@potager.org
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pada tanggal 9 Agustus 2017 lalu, di Poumako telah terjadi penembakan yang dilakukan oleh anggoat TNI. Penembakan itu berujung pada kematian Theo Kamtar, warga Paomako yang ditembak mati oleh seorang anggota TNI aktif berpakaian sipil pada Rabu 9 Agustus 2017 lalu.
Berikut ini adalah laporan investigasi yang dilakukan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika Papua.
Permasalahan Sebelum Kejadian
Beberapa bulan terakhir ada persoalan antara nelayan tradisional, pemilik hak ulayat (nelayan pribumi) dengan nelayan semi modern yaitu nelayan yang datang dari luar Papua (nelayan pendatang), yang biasanya menggunakan jaring penangkap yang besar seperti pukat harimau. Lantaran sering menggunakan jaring besar yang panjangnya mencapai ratusan meter (apalagi tempat penangkapan nelayan semi modern ini di sekitar tempat penangkapan ikan masyarakat nelayan pribumi), maka penghasilan nelayan pribumi mulai merosot drastis.
Sebagai upaya mencari jalan keluarnya, nelayan pribumi berinisiatif untuk mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan itu, mereka mengusulkan 2 (dua) opsi ini: pertama, nelayan pendatang tidak boleh menjaring ikan di perairan dekat muara sungai, atau kedua, nelayan pribumi dan nelayan pendatang berbagi peran dengan cara nelayan pribumi bertugas untuk menjaring ikan di sungai-laut sedangkan nelayan pendatang berperan sebagai penadahnya. Selain ke-2 opsi ini, ada pilihan lain yang juga dibicarakan, yakni para nelayan pendatang bisa berperan sebagai nelayan pencari, jika wilayah pencariannya jauh, pada jarak mile tertentu di laut lepas.
Persoalan ini secara resmi telah dibicarakan sebanyak 3 (tiga) kali dalam 3 (tiga) bulan terakhir. Pertemuan pertama terjadi pada pertengahan Juni 2017 dan bertempat di Pelabuhan Poumako Mimika. Pembicaraan kedua dilangsungkan pada bulan Juli 2017, bertempat di Kantor Distrik Mimika Timur; sedangkan pertemuan yang ke-3 dilangsungkan pada tanggal 01 Agustus 2017 di Kantor Bupati Mimika (Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan). Ketiga pertemuan ini diikuti oleh semua pihak yang berkepentingan.
Kendati demikian, pada tanggal 07 Agustus 2017, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Mimika, Leentje A.A. Siwabessy, SE menggelar rapat terbatas di ruang rapat Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan. Rapat terbatas ini secara khusus membahas tentang operasional penangkapan ikan bagi nelayan pendatang.
Menurut Berita Acara Pertemuan yang bernomor: 253/435/2017 (yang kemudian diklaim sebagai hasil pertemuan) yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Mimika, yang hadir dalam pertemuan itu, antara lain: 7 (tujuh) Kepala Kampung dari Distrik Mimika Timur (Hiripau, Tipuka, Poumako, Kaugapu, Mware, Pigapu dan Wania) serta sejumlah pejabat terkait, yakni Kapten (P) Rohi King (PASI OPS LANAL Timika), Iptu Barnabas (KASAT POLAIR POLRES Mimika), Kopda Usman (BABINSA Poumako, KORAMIL Mimika Timur), Ir. Rachel Latuheru, M.PI (Kabid Perikanan Tangkap dan Budidaya Kabupaten Mimika), Ir. Wesly Simanungkali, M.SI ( Kabid Pengawasan dan Konservasi SDKP Mimika) dan Lucky J. Wokas, S.PI (Kabid Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kabupaten Mimika). Rapat kali ini tidak menghadirkan nelayan lokal, pihak Lembaga Masyarakat Kamoro (LEMASKO) dan pihak lain, seperti yang terjadi pada ke-3 pertemuan sebelumnya. Pertemuan kali terakhir ini berserta hasil pertemuannya pun tidak diketahui oleh pihak nelayan pribumi dan LEMASKO.
Namun pada tanggal 08 Agustus 2017 sore (malam), ada orang dari pihak nelayan pendatang mendatangi rumah Ketua RT. 09 Poumako dan menyampaikan bahwa mereka (para nelayan pendatang) sudah mendapat izin dari pemerintah untuk menjaring ikan, maka mereka akan segera melaut.
Dan pada tanggal 09 Agustus 2017, terjadilah penembakan di halaman Kantor KP3 Laut Poumako yang menewaskan 1 (satu) orang dan melukai 2 (dua) orang masyarakat sipil serta seorang anggota TNI.
Kronologi
Hari Rabu, tanggal 9 Agustus 2017
Pukul 03.00-05.00 Wit
Warga di sekitar Pelabuhan Poumako mendengar bunyi mesin perahu motor nelayan. Bunyi perahu motor ini sangat khas. Perahu-perahu tersebut adalah perahu nelayan semi modern yang selama ini telah dilarang untuk melaut sambil menunggu adanya kesepakatan antara nelayan pribumi dengan mereka yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Pukul 06.00-07.00 Wit
Nelayan pribumi ke tempat berlabuhnya perahu para nelayan pendatang. Dugaan mereka menjadi benar. Mereka menyaksikan sendiri perahu motor milik para nelayan pendatang sebanyak kurang lebih 20 buah pergi melaut untuk menjaring ikan.
Pukul 07.00 -09.00 Wit
Para nelayan pribumi mulai berkoordinasi dan sepakat untuk menyusul dan menjumpai nelayan pendatang dan mengingatkan mereka agar tidak melakukan aktivitas menjaring ikan di wilayah itu. Namun, karena pada saat yang sama akan datang-masuk kapal penumpang KM. Tatamailau (sekitar jam 10.00 Wit), maka para nelayan pribumi yang sebagai besar lelaki dewasanya juga bekerja sebagai Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) di Pelabuhan Poumako, bersepakat untuk menyusul para nelayan pendatang sesudah bertolaknya KM. Tatamailau.
Namun di sisi lain pelabuhan, datang 2 (dua) Kepala Kampung yaitu Andreas Kaokapaitiparo (Kepala Kampung Hiripau) bersama Jhon Johanis Yakiwur (Kepala Kampung Poumako) dan mengajak Ketua RT. 09 Poumako untuk membicarakan persoalan perizinan nelayan pendatang di Pos Polisi Poumako. Mereka didampingi oleh 2 (dua) orang Polisi yang bertugas. Selain itu, hadir juga beberapa orang nelayan pribumi. Pada kesempatan itu, surat yang dikatakan sebagai surat ijin dibacakan untuk didengarkan secara bersama-sama.
Akan tetapi, pihak nelayan pribumi tidak puas dan memprotesnya. Mereka keberatan, karena pihak nelayan pribumi, tokoh masyarakat Poumako dan LEMASKO tidak diundang untuk berbicara, menyepakati dan memutuskannya bersama-sama. Keberatan ini lalu memicu petengkaran yang kemudian dapat ditengahi oleh polisi. Sewaktu keluar dari kantor polisi, ketua RT 09 Poumako menganjurkan kepada ke-2 kepala kampung tadi untuk segera pulang supaya tidak mengundang keributan. Keduanya pun pergi dengan menumpang angkutan umum.
Pukul 11.30 Wit
Setelah KM. Tatamailau bertolak meninggalkan pelabuhan Poumako, sejumlah pemuda dari nelayan pribumi mulai bergerak menuju muara sungai. Ada sekitar 10 perahu (Longboat) yang mereka gunakan, dengan perkiraan, satu longboat berisi 4-6 orang. Mereka menuju muara-muara sungai yang sudah diduga sebagai tempat pencarian ikan para nelayan pendatang. Gerakan pemuda nelayan pribumi ini sempat membuat kuatir beberapa orangtua; termasuk seorang ibu yang terpaksa juga melaut untuk menasihati para pemuda tentang bahayanya menyelesaikan persoalan di laut, apalagi menggunakan perahu yang kurang memadahi di saat cuaca yang kurang bersahabat. Mendengar anjuran tersebut, beberapa pemuda nelayan pribumi mengurungkan niatnya dan memilih untuk menanti para nelayan pendatang di pelabuhan.
Pukul 13.00 Wit
Beberapa Longboat yang tadi pergi mengejar nelayan pendatang mulai berdatangan. Mereka datang sambil beriringan dengan perahu nelayan pendatang. Ada beberapa pemuda telah naik ke atas perahu motor nelayan pendatang. Setiap perahu ada sekitar 2 pemuda nelayan pribumi.
Kurang lebih pukul 14.30-15.00 Wit
Perlahan-lahan perahu-perahu nelayan pendatang kembali ke pelabuhan bersama dengan beberapa nelayan pribumi yang terus mengiringi mereka. Tidak lama kemudian, Ketua nelayan pendatang menelpon Ketua RT. 09 Poumako dan menyampaikan bahwa nelayan pribumi sedang menyita-menahan perahu-perahu nelayan pendatang. Karena ingin segera memastikan peralatan para nelayan pendatang yang disita, maka 2 (dua) pimpinan nelayan pendatang, yakni Sami Werinusi (anggota Satpol PP kabupaten Mimika / Koordinator nelayan pendatang) dan Budi (Pengusaha perahu Camar Papua) bersama sejumlah orang lain mencari ketua RT Poumako. Setelah bertemu, ketua RT diajak untuk berbicara di kantor KP3 Laut.
Pada waktu itu, para nelayan pendatang sudah memenuhi kantor polisi, bahkan jalan masuk ke kantor polisi. Hal itu membuat kebanyakan nelayan pribumi memilih untuk berada di luar halaman pos polisi, terutama di sekitaran kios-kios panjang di seberang jalan.
Entah apa alasannya, Sami Werinusi marah-marah dan keluar dari Pos Polisi tanpa pamit. Dia menghampiri seorang nelayan pribumi, merampas botol yang dipegang oleh nelayan itu, dan memukulkanya ke kepala nelayan tersebut. Melihat kejadian itu, marahlah para nelayan pribumi dan bersitegang dengan Sami Werinusi bersama rombongan nelayan pendatangnya. Saling dorong-mendorong pun tak terelakkan. Di saat itulah terdengar bunyi tembakan sebanyak 3 (tiga) kali. Theodorus Camtar yang berdiri di dekat tiang bendera, terbidik peluru dan meregang nyawa. Sementara 2 (dua) pemuda lain, yakni Rudi Safan dan Gerardus Namipok masing-masing terkena peluru di lengan dan telapak tangan. Penembaknya adalah Bripka Yusuf Salasar (anggota unit intel KOREM 174/ATN). Dia menembak sambil mengendap-endap di pojok luar bangunan pos polisi.
Melihat kejadian itu, nelayan pribumi menjadi marah. Mereka mengejar Sami Werinusi yang berlindung ke kantor polisi. Di kantor polisi, mereka berusaha untuk mendapatkan Sami Werinusi sambil juga mencari penembak di sekitar kantor tersebut. Dalam upaya pengejaran itulah, mereka merusak sejumlah fasilitas; baik di dalam maupun di luar pos polisi. Di saat yang sama, terjadi juga penikaman terhadap KOPDA ANDI (anggota unit intel KODIM 1710 Mimika). Sesudah situasinya teratasi, polisi mengevakuasi jenazah Theo dan korban lainnya ke Rumah Sakit Umum Daerah Mimika.
Pukul 16.00 Wit
Diantar oleh polisi dan sejumlah kerabat, jenazah Theo dan seorang lain yang tertembak tiba di RSUD Mimika. Jenazah Theo kemudian ditahan beberapa jam di RSUD untuk keperluan autopsi, lalu dibawa pulang oleh keluarga ke Kampung Asmat Poumako, Mimika.
Kamis, 10 Agustus 2017
Pukul 11.00 Wit
Ibu Agustina (seorang Tokoh Perempuan Papua) memimpin ibadat pelepasan jenazah di rumah duka. Kemudian jenazah diberkati oleh P. Yonas Purnama OFM (Pastor Paroki St Emanuel Mapurujaya), lalu jenazah diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir. Sekitar pukul 12.40 Wit, P. Yonas Purnama OFM memimpin upacara penguburan di Pekuburan Umum Kaugapu.
Kondisi Pasca Kejadian
Kondisi umum masyarakat asli di Poumako mulai berangsur pulih. Sejumlah orang sudah mulai beraktifitas seperti semula, kecuali keluarga batih dan kerabat dari almarhum Theodorus Camtar. Walau demikian, suasana duka masih dominan terasa.
Selain itu, masyarakat pribumi ini juga dihantui oleh perasaan was-was dan teramcam. Sebabnya adalah adanya sejumlah teror via telepon dari beberapa pihak; seperti anggota Satuan POLAIR Polres Mimika, anggota unit intel KODIM Mimika dan anggota Satuan Polisi Militer. Dalam pembicaraan pertelepon itu mereka mempertanyakan keberadaan peralatan perahu nelayan pendatang yang dinyatakan hilang. Mereka memerintahkan untuk segera menemukan dan mengembalikannya, jika tidak mau berurusan dan menghadapi masalah baru.
Perlu disadari, bahwa masalah utama dari Kasus Poumako Berdarah ini berlum tuntas ditangani. Semua pihak hendaknya menahan diri. Biarkan polisi atau pun lembaga yang berkompeten dalam penyelidikan untuk bekerja. Jangan mengaburkan persoalan pembunuhan dengan menyebarkan khabar sepele yang berkaitan dengan barang-barang buatan yang dapat diganti. Selain masalah penembakan, kiranya mendesak juga untuk menguak keterlibatan sejumlah pihak dalam jaringan bisnis ikan di Poumako yang sudah meman korban.
Laporan Investigas ini dilaporkan oleh Tim SKP Keuskupan Timika
Ma\’af, tulisan ini hanya tersedia dalam Bahasa Inggris. Kadang-kadang ada artikel ditulis dalam Bahasa Inggris yang perlu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Kalau ada ahli bahasa yang ingin membantu dalam hal ini, tolong kirim email kepada: awasmifee@potager.org
Harian Radar Sorong (19 april 2017), memuat berita mengenai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penandatanganan persetujuan mengalihfungsikan kawasan hutan lindung Gunung Botak, Distrik Momiwaren, Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, Ir. Hendrik Runaweri, pemerintah daerah mengusulkan alih fungsi kawasan hutan lindung Gunung Botak menjadi hutan produksi seluas 2000 hektar dan Menteri LHK menyetujui seluas 40 hektar. Diberitakan pula, alih fungsi hutan lindung ini untuk kepentingan industri semen PT. SDIC Papua Cement Indonesia di Maruni, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, dalam memenuhi bahan baku semen.
Dalam kasus ini, belum ada informasi mengenai bagaimana pemerintah daerah maupun Menteri memenuhi berbagai persyaratan dan prosedur alih fungsi kawasan hutan maupun tukar menukar kawasan hutan, seperti: kajian Tim Terpadu, kajian dampak dan kesepakatan tata batas yang melibatkan masyarakat. Karenanya, opini bermunculan bahwa pemerintah abai dalam melaksanakan ketentuan dan akomodatif terhadap kepentingan korporasi.
Tahun 2014, Menteri LHK (ketika itu masih Menteri Kehutanan) menerbitkan keputusan SK 710 tentang perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan, serta penunjukkan kawasan hutan menjadi kawasan hutan, didalamnya termasuk menetapkan daerah Gunung Botak di Distrik Momiwaren sebagai kawasan hutan lindung. Berdasarkan Dokumen KLHS RTRWP Papua Barat (2013), diketahui daerah Gunung Botak merupakan daerah perbukitan dan pegunungan karst, serta kawasan rawan bencana. Sejalan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst, idealnya kawasan hutan tersebut dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung.
Kebijakan pemerintah mengalihfungsikan dan memberikan izin tukar guling kawasan hutan dimaksud juga mengabaikan hak dan partisipasi masyarakat adat setempat. Tokoh masyarakat dari marga-marga yang mengklaim pemilik tanah adat setempat, Marga Sayori, Ainusi, Tirirbo dan Mukiri, yang berdiam di Kampung Siep, Yekwandi, Mawi, dan sekitarnya, mengungkapkan kalau belum ada musyawarah dengan pemerintah dan perusahaan membicarakan pemanfaatan kawasan Gunung Botak. (Baca: PT SPCI Membohongi Masyarakat Adat Pemilik Gunung Botak)
Masyarakat adat setempat menceritakan mitologi Gunung Botak berhubungan dengan identitas budaya dan leluhur mereka, seperti kisah lubang batu Yaimeki. Kawasan ini juga merupakan lahan sumber pangan dan tangkapan air. Pengetahuan dan nilai ini jarang dipertimbangkan dalam pemberian keputusan proyek-proyek pembangunan.
Pemerintah berdalil, ekstraksi potensi pasir kuarsa dari Gunung Botak akan menurunkan harga semen merek Conch yang diproduksi PT. SDIC di pasar lokal sebesar Rp. 57 ribu per sak (Baca: Menghadap Bupati SDIC Janji Turunkan Harga). Selama ini bahan baku pasir kuarsa semen Conch dibawa dari Kalimantan, sehingga menaikkan harga. Namun, anehnya harga semen Conch asal Manokwari dijual didaerah Tual seharga Rp. 46 ribu per sak.
Perubahan kebijakan hanya dengan mempertimbangkan kepentingan kelompok dan didasarkan kalkulasi ekonomi untung rugi semata-mata, hanya akan mendatangkan konflik, ketidakadilan dan diskriminasi, yang menguntungkan kelompok dan individu tertentu. Read More »
Pagi itu, langit cerah, panas matahari terik membakar kulit. Ratusan warga dari komunitas adat Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat berdatangan ke perempatan jalan masuk ke ibukota Distrik Klaso, menutup jalan sambil membentangkan spanduk, menolak rencana ekspansi perkebunan sawit di wilayah adat mereka.
Aksi pemalangan jalan pada Rabu pagi (22/03/2017) ini dilakukan oleh masyarakat Moi dari tiga Distrik di Kabupaten Sorong, yaitu Distrik Klaso, Saengkeduk dan Distrik Persiapan Selekobo. Bertepatan dengan adanya pertemuan antara pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong dan operator perusahaan sawit PT. Mega Mustika Plantation dengan warga setempat, tepatnya di ibukota Distrik Klaso.
PT. Mega Mustika Plantation sendiri adalah satu dari sejumlah perusahaan perkebunan sawit yang telah mendapatkan izin dari pemerintah setempat, melalui Surat Keputusan Bupati Sorong Nomor: 66.1/127/Tahun 2014 tentang Izin Usaha Perkebunan (IUP) Kelapa Sawit di lahan seluas 9.835 ha, berdasarkan izin lokasi Nomor 221/2011 yang terbit pada 23 Desember 2011.
Menurut Agus Kalalu, salah seorang warga Moi, aksi penutupan jalan tersebut adalah wujud rasa frustasi warga, karena sejumlah aksi yang telah dilakukan sebelumnya tidak juga mendapat respons yang baik dari pemerintah dan perusahaan.
“Ini adalah aksi yang kelima kalinya dilakukan oleh warga dari tiga distrik tersebut,” ujar Agus.
Aksi pertama sendiri dimulai di kampung Saengkeduk, yang dilanjutkan aksi kedua di Kampung Klaben di tahun 2012. Aksi ketiga di depan halaman gedung DPRD Kabupaten Sorong pada 2016 dan pada pertemuan dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong pada 2016.
David Ulimpa, salah seorang tokoh masyarakat adat Moi yang sekaligus pemilik hak adat atas tanah di Distrik Klaso dalam orasinya menyatakan alasan penolakan atas perkebunan sawit tersebut karena dianggap tidak akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Justru sebaliknya akan membawa kesengsaraan. Read More »
Akhir 2016 lalu, Presiden Joko Widodo menyerahkan surat keputusan (SK) penetapan hutan adat kepada sembilan masyarakat hukum adat dari beberapa tempat di Indonesia, dengan total luas hutan adat mencapai 13.100 hektar. Jumlah ini tidak signifikan dibandingkan dengan angka jutaan hektar hutan dan lahan yang dijanjikan untuk diberikan dan diakui kepada rakyat Indonesia selama pemerintahan Jokowi yang sudah lebih dari dua tahun.
Konstruksi tujuan penetapan hutan adat ini umumnya untuk fungsi pokok konservasi atau lindung dan Presiden Jokowi menekankan bahwa hutan adat tidak dapat diperjual belikan saat ini dan hingga anak keturunan. Ketentuan tidak mengkomersialkan hutan adat dan tujuan mengkonservasi hutan adat sejalan dengan persepsi perlunya kepengaturan dan tindakan proteksi terhadap masyarakat adat dari ancaman dan tekanan kekuatan kapital.
Realitasnya dilapangan, keberadaan masyarakat adat atas tanah dan hutan adat terus digerogoti oleh kekuatan kapital melalui berbagai macam cara yang kemudian menyingkirkan (exclusion) dan bahkan menghilangkan akses masyarakat atas tanah dan hutan adatnya. Menurut Derek Hall, dkk (2011), ada empat kekuatan saling terkait dan dibentuk oleh relasi kuasa yang menyingkirkan masyarakat atas tanah, yakni peraturan (regulation) berhubungan dengan aturan negara dan yang berlaku dalam masyarakat; pasar (market) melalui relasi ekonomi yang timpang menyingkirkan masyarakat; legitimasi (legitimation) melalui klaim pemerintah untuk melaksanakan pengatuan dengan alasan ekonomi, politik dan justifikasi moral; dan paksaan (force) dari kekuatan alat keamanan negara militer maupun alat kekerasan pada aktor non negara.
Kebanyakan masyarakat adat dengan modal sosial yang rendah tidak dapat menghindari kekuatan jeratan kapitalisme yang bertahun-tahun menggerogoti secara paksa sistem sosial ekonomi masyarakat dan mengubah sistem nilai atas tanah. Tanah dan hutan adat yang mengutamakan nilai dan fungsi sosial, berubah menjadi sumber daya komoditi komersial dan rebutan klaim pemilikan kelompok ataupun individu tertentu. Jeratan pasar atas kebutuhan subsistensi keluarga membawa mereka dalam kerumitan ekonomi dan tidak jarang desakan subsistensi membuat mereka mengambil keputusan terpaksa dengan menjual mengkomersialkan, seperti tanah, hutan adat dan properti komersial lainnya yang bernilai jual kepada pemilik modal.
Komersialisasi hutan adat yang menyingkirkan masyarakat adat dialami oleh orang asli Papua di Arso, Kabupaten Keerom. Pada Oktober 2011, perusahaan kayu PT. Victory Cemerlang Indonesia Wood Industry (VCIWI) berhasil mendapatkan surat perjanjian pernyataan pelepasan hak tanah ulayat dari lima pimpinan keret yang mengklaim sebagai pemilik hutan adat setempat. Perusahaan PT. VCIWI merencanakan mengkonversi hutan alam yang berada dipinggir Kali Begonggi untuk usaha perkebunan kelapa sawit dengan luas 6.000 hektar. Surat perjanjian tersebut juga diketahui oleh Kepala Pemerintah Kampung, Kepala Distrik Arso, Ketua Dewan Adat dan Kepala Suku. Komersialisasi hutan adat melalui surat perjanjian pelepasan hak ini pula yang dipakai menjadi justifikasi untuk perolehan Izin Lokasi (2013) dan Izin Usaha Perkebunan (2015).
PT. VCIWI sudah lama beroperasi bisnis kayu komersial didaerah ini. Perusahaan telah menciptakan ketergantungan masyarakat pada sumber daya kapital yang dikuasai dan dikendalikan perusahaan. Ketergantungan dan hasrat keuntungan kapital ini yang dibayangkan telah mengsandera para elite masyarakat adat setempat untuk melepaskan tanah dan mengkomersialkan hutan adat kepada perusahaan. Selain itu, menggunakan cara-cara tipu daya disertai dengan janji kesejahteraan.
Ketua Dewan Adat Keerom, Servo Tuamis, mengungkapkan “Perusahaan Victory mengatakan akan menggunakan lahan dipinggiran areal perkebunan kelapa sawit PTPN dan PT. Tandan Sawit Papua, kenyataannya mereka mengambil hutan adat yang merupakan daerah segi tiga emas Orang Arso”. Tuamis menyesalkan ketidak jujuran perusahaan dan ketelanjuran tandatangan para tokoh masyarakat. Read More »
Tutup Freeport dan Seluruh Perusahaan asing, yang merupakan Dalang kejahatan kemanusiaan, Kerusakan Lingkungan di Papua ; ”Berikan Kebebasan Dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua”
Pada Senin, 20 Maret 2017, dilakukan aksi demo damai yang dikoordinir oleh mahasiswa. Aksi ini dilakukan di beberapa daerah secara serempak seperti di Kota Jayapura, Timika, Jogjakarta, Bandung, Manado, Bogor, Palu, Jakarta. Tuntutan aksi adalah menutup PT Freeport dan Memberikan Kebebasan dan Hak Penentuan Nasib Sendiri.
Berikut ini adalah refleksi dan pernyataan sikap dari Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport di Kota Jayapura
Disvestasi Saham PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2017 kini menjadi hangat dikalangan masyarakat Papua, mulai dari Gubernur Papua, Lukas Enembe Yang mendukung Kebijakan Indonesia, hingga lembaga-lembaga yang berkepentingan, juga birokasi Papua. Tetapi, mereka itu entah orang Papua atau dari mana pun yang mendukung soal disvestasi 51% saham atau perpanjangan kontrak karya, dapat berkesimpulan naif.
Kisruh Pemerintah Indonesia dan PTFI, antara disvestasi 51% dan Investasi 100%; antara status kedudukan PTFI di Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Kontrak Karya (KK), polemik yang terjadi adalah tentu kepentingan para pemodal dan birokrat yang mengatasnamakan Rakyat. Bukan untuk rakyat Papua, pada khususnya.
Dampak dari kisruh yang terjadi, telah banyak korban PHK para Buruh PTFI. Mereka dipecat tanpa mempertimbangkan hak hidup (Tunjangan) dan tenaga kerja mereka. Jelas-jelas kapitalisme punya prinsip yang jelas bahwa buruh dibutuhkan disaat kapitalnya semakin bertambah dan menimbun. ketika krisis, mereka tidak segan-segan memikirkan nasib buruh.
Begitu pula dengan keberadaan Sosial rakyat West Papua. PTFI dikenal di dunia internasional bahwa salah satu perusahaan pertambangan terbesar, nomor 1 di dunia. Tetapi, apa yang didapatkan oleh rakyat Papua? Kemiskinan, Pelanggaran HAM, Genosida, penjajahan; dan alam dihancurkan oleh sistim kapitalisme yang memproduksi lebih banyak tanpa mempertimbangkan hukum alam dan dampak balik pada kehidupan manusia.
Kita telah ketahui bahwa adanya Freeport tidak serta-merta ada tiba-tiba dalam satu negara yang sama. Apalagi, sangat tidak mungkin jika sama-sama mempunyai niat mengelola Sumber Daya Alam [SDA] milik Papua bersama segelintir elitis yang telah menjadikan pemilik sebagai benalu. Peradaban Barat telah masuk dalam ruang dan waktu Orang Asli Papua [OAP] bersama kepentingan Imperialisme global. Read More »
Malalilis adalah satu kampung dari masyarakat Suku MOI di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Letak kampungnya agak jauh dari jalan raya dan penduduknya tidak terlalu banyak, tetapi hutannya begitu luas. Bagaimana keadaannya saat ini? Mungkin karena hutan luas dan penduduknya sedikit, maka orang luar menganggap bahwa hutan ini tak ada pemiliknya, sehingga 40.000 HA dibongkar dan membangun perkebunan sawit. Sebelumnya kawasan ini merupakan HPH yang telah dikonversi menjadi HGU. Di sinilah masyarakat adat Suku Moi hidup dalam ketidakpastian di tengah perkebunan sawit milik PT. Henrison Inti Persada (HIP). Selanjutnya, cerita masyarakat yang terekam, ketika peserta Konferensi Masyarakat Adat Korban Investasi Di Tanah Papua berkunjung ke sana pada Minggu, 04 Desember 2016. Sediiiiihhh…!!!
“Kami tidak menolak pembangunan, tetapi yang kami mengerti bahwa pembangunan juga harus menguntungkan kami. Tetapi apa yang terjadi? Pihak yang membongkar hutan kami itu, tidak menghargai kami, bahkan kami diperlakukan sebagai yang bukan pemilik. Beberapa perilaku terhadap kami, seperti: 1) Kami dilarang berjalan di sekitaran sawit untuk cari makan pada siang hari, katanya silahkan cari makan tapi pada malam hari; 2) Kami tak boleh memelihara ternak di rumah. Dorang (mereka) operasi dari rumah ke rumah dan bunuh peliharaan kami, terutama anjing, padahal anjing ini yang kami biasa pakai untuk berburu cari makan.”
“Masih banyak lagi yang kami alami. Kami sudah berteriak ke mana-mana, tetapi semua pintu seakan tertutup dari kami. Anak-anak kami yang memperjuangkan hak-hak kami malah ditangkap dan dipenjara oleh polisi. Bahkan laki-laki maupun perempuan yang bekerja sebagai buruh sawit pun, tanpa alasan mendasar mereka telah dipecat tanpa pesangon. Sementara kami sudah tidak punya lahan hutan untuk bertahan hidup.”
“Lebih sadis lagi, kami pernah bekerja saat perusahaannya baru mulai, dan ketika haus air lalu kami minta air minum, tetapi kami malah dibilang: Minum air parit saja. Waktu belum buka hutan, kami bisa minum genangan air, air rawa, air sungai, dan tanpa dimasak pun kami tak kena penyakit. Sekarang sudah banyak semprotan kimia, lalu disuruh minum? Kau dari mana? Kau ini siapa? Kenapa kami disuruh minum air parit yang sudah disemprot kimia?”
“Dorang (mereka) buka kebun plasma. Tebang kami punya hutan sampai rata dengan tanah, tetapi tidak ditanam, dan lihat sendiri rumput dan semak-semak tebal di sebelah ini. Kami tak tahu ada pemerintah untuk kami masyarakat atau tidak, karena kami seperti dibiarkan dalam perjalanan menuju kepunahan; Perempuan yang kerja harus keluar jam 04.00 pagi untuk kerja, lalu bagaimana dengan anak-anak di rumah sebagai generasi kami. Apakah sengaja mau musnahkan kami kah? Kami ini warga negara atau tidak? Perempuan yang sakit bulanan juga kalau mau ke klinik untuk berobat, harus bawa kapas (softex) untuk ditunjukkan baru bisa dilayani.”
“Sekarang kami seperti hidup di penjara. Kami mau keluar ke kota juga wajib lapor di pos security dan saat mau masuk kembali juga begitu. Perilaku ini yang mendorong kami untuk menolak penanaman sawit di lahan plasma. Biar hutan sudah dibongkar, biarkan saja, nanti hutan tumbuh kembali.”
Melihat posisi kampung ini, agak ke dalam, jauh dari jalan raya, sehingga perilaku buruk lebih bebas bercokol. Kalau posisinya di tengah keramaian, dan dapat diakses banyak orang, maka pelaku para se- pihak itu akan kelihatan lebih berhati-hati. Hal mirip di Kabupaten Merauke (Papua Selatan), di mana ada cabang perusahan sawit (besar) yang mengambil posisi ke arah muara sungai Digoel, yang posisinya sulit diakses banyak orang, sehingga ada berita dari seorang pemilik hutan di sana bahwa praktek ketidakadilan, intimitasi, dan pencaplokan bercokol di sana. Jika demikian, siapa yang sebenarnya melanggar aturan (hukum) dalam negeri ini? Para pelaku itu atau kami? Sadarlah, bahwa yang akan menghancurkan KAMI – KITA – bahkan NEGARA itu bukan kami, melainkan DORANG (mereka). Semoga Nasib ini bukan Kutukan bagi Kami. Walahualam…!!!***
Ditulis oleh Pastor Felix Amias, SKP Keuskupan Agung Merauke
Titus Mahuze, warga asal Kampung Afkab Makmur, Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua, mengadukan permasalahan perusahaan kelapa sawit PT. Agriprima Cipta Persada (ACP) yang menggusur tanah dan hutan adat milik Marga Mahuze Kewamese, tanpa musyawarah dan persetujuan masyarakat.
Tahun 2015, PT. ACP mulai melakukan survei potensi dan tata batas konsesi di wilayah adat marga Mahuze Kewamese dan marga Basik-Basik Alizan. Aktivitas PT. ACP ini dilakukan tanpa musyawarah dan menunggu keputusan pihak marga Mahuze Kewamese. April 2016, PT. ACP melanjutkan dengan penggusuran hutan adat, pembersihan lahan dan sudah ditanami kelapa sawit hingga saat ini.
Tidak ada perlawanan dan upaya marga melakukan penghentian operasi perusahaan, “Kami marga hanya bisa menonton dan pasrah saja tanpa bisa berbuat apa-apa”, ungkap Titus Mahuze, yang juga Ketua Marga Mahuze Kewamese.
Pernah ada undangan perusahaan PT. ACP untuk melakukan negosiasi pemanfaatan hutan dan lahan dengan menghadirkan Marga Mahuze dan marga lain pemilik wilayah adat setempat pada Tahun 2014. Pertemuan dihadiri Kepala Kampung, anggota TNI AD, Titus Mahuze, sedangkan perusahaan PT. ACP dan anggota marga lainnya tidak hadir.
“Pertemuan gagal dan kami memasang palang adat memagari tanah hutan dan dusun-dusun marga Mahuze Kewamese, tapi perusahaan tetap menggusur tanah dan hutan adat kami”, cerita Titus Mahuze.
Perusahaan PT. ACP menjanjikan memberikan dana kompensasi atas tanah dan hutan adat milik marga yang digusur dan dijadikan kebun kelapa sawit. Namun hingga saat ini, Marga Mahuze Kewamese belum menerima dana dimaksud dan belum tahu nilainya, juga belum ada perjanjian penggunaan lahan tersebut. Padahal perusahaan sudah menggusur dan menanam lahan dengan kelapa sawit.