Kontroversi Perpres No. 40 tahun 2013: Ada TNI dalam Memperlancar Bisnis di Tanah Papua

15/06/2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden No. 40 tahun 2013 tentang Pembangunan Jalan dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B) yang menimbulkan pertentangan dan kekhawatiran di masyarakat. Perpres 40 menghendaki keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam proyek pembangunan jalan P4B, mencakup teknis pelaksanaan, konstruksi dan pengawasan.

Pasalnya kehadiran TNI masih menimbulkan trauma pada masyarakat Papua dengan bayangan praktik kekerasan, apalagi proyek P4B ini dibarengi dengan kepentingan untuk memperlancar bisnis di tanah Papua, untuk menjalankan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dalam kerangka pengembangan koridor investasi Papua dan Kepulauan Maluku. Bukan rahasia umum, TNI terlibat dalam negosiasi pemanfaatan hasil hutan dan tambang, ikut dalam bisnis jasa keamanan dan bisnis ilegal yang berpihak pada investor dibanding melindungi rakyat. (Lihat http://www.kontras.org/buku/Laporan_Digoel.pdf)

“Sekilas Perpres 40 ini terkesan normal bertujuan mulia untuk membuka, menghubungkan daerah yang terisolasi dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan memperlancar arus barang. Namun setelah dikaji lebih mendalam, Perpres 40 ini erat kaitannya dengan agenda ekonomi global, terutama membangun koridor ekonomi melalui proyek infrastruktur untuk kepentingan mempercepat, memperlancar dan memperluas liberalisasi ekonomi di tanah Papua”, ungkap Franky, Direktur Yayasan PUSAKA, di Jakarta.

Tanah Papua yang memiliki sumberdaya alam yang kaya dan luas menjadi salah satu sasaran empuk perusahaan bermodal besar dan berskala luas untuk menancapkan bisnis meraup laba dan melipatgandakan modal. Untuk membuka dan memudahkan investasi menjangkau, memasuki dan mendekatkan sumber ekonomi ke pusat-pusat pertumbuhan bisnis,  diperlukan institusi yang kuat dan dapat bergerak cepat dan murah.

Perusahaan umum negara dan kontraktor swasta mungkin kurang mampu menjangkau daerah yang sering digambarkan dan dicitrakan sedemikian rupa sebagai daerah “frontier” daerah perbatasan yang rawan secara keamanan dan geografisnya rumit, sehingga diperlukan institusi yang sudah berpengalaman dan memiliki kekuatan dan pendekatan keamanan, seperti TNI, sekalian dapat menjalankan misi perluasan pembangunan keamanan di daerah perbatasan, memperluas kontrol pemerintah dan menawar hati masyarakat Papua.

“Kekuatan TNI dan pendekatan keamanan digunakan pemerintah dan pemodal untuk membuka, menghubungkan dan mengintegrasikan masyarakat Papua melalui jalur pembangunan ekonomi global dan modern dibayangkan akan mendatangkan perubahan bagi orang Papua, seperti proyek raksasa MIFEE di Merauke”, kata Franky.

Keterlibatan TNI dalam proyek prioritas nasional MP3EI pembangunan koridor ekonomi di Papua sama saja mengabaikan suara dan tuntutan rakyat Papua yang menghendaki pengurangan keterlibatan TNI dalam kehidupan sosial dan keinginan membangun tanah Papua dengan damai.

“Kita orang Papua juga punya hak sebagai warga negara untuk hidup aman dan damai, sama seperti warga negara lainnya. Kehadiran TNI dalam bisnis tidak sejalan dengan aspirasi orang Papua untuk menarik pasukan TNI dari tanah Papua, untuk kedamaian di tanah Papua” kata S. Gebze, tokoh pemuda di Merauke.

Seharusnya pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan dan program pembangunan di Tanah Papua terlebih dahulu wajib berkonsultasi dan meminta persetujuan masyarakat adat Papua, apalagi jika hal tersebut menyangkut dan mempengaruhi kehidupan masyarakat dan lingkungan alamnya. “Kewajiban ini sesuai dengan amanat konstitusi dan status kekhususan Papua sebagai daerah otonom. Pemerintahan SBY wajib melakukan ini sebelum menerbitkan Perpres 40 dan kebijakan lainnya. Pembangunan dari atas dan keterlibatan TNI bertentangan sudah terbukti gagal, tidak sesuai dan bertentangan dengan pembangunan demokrasi”, kata Franky.

Sekilas Kondisi lapangan

Di daerah perbatasan Merauke, pada kawasan frontier (Kondo, Jagebob, Bupul, Muting sampai pedalaman Selil) yang mana pemerintah tengah mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur, memperlebar dan memuluskan jalan dan jembatan mulai dari Merauke  hingaa Waropko. Kehadiran aparat keamanan dengan puluhan pos keamanan yang berdiri disepanjang jalan perbatasan tersebut, tidak sekedar mengkontrol dan mengamankan daerah tersebut, tetapi juga terlibat dalam bisnis keamanan, jasa transportasi untuk pengangkutan sumberdaya hasil hutan distribusi BBM.

Kasus kekerasan hingga kematian orang Papua yang melibatkan aparat keamanan tidak sedikit terjadi di kampung dan hutan sepanjang jalan di perbatasan.

Disana, sudah ada lebih dari 7 perusahaan sawit dan tebu serta pembalakan kayu, yang bernegosiasi dan membuka hutan. Pemiliknya masih mempunyai hubungan dengan pengusaha lokal, nasional dan multinasional, seperti: Korindo Group, Daewoo Group, Wilmar Group dan Hardaya Group, merekalah yang diuntungkan dari pembangunan koridor ekonomi (MP3EI) karena dilapangkan jalan bisnisnya hingga ke gudang, pelabuhan dan pusat-pusat ekonomi setempat. Mereka dilindungi dan dikendalikan oleh regulasi,  Mereka ditemani oknum “anggota” TNI dalam setiap negosiasi tanah hingga bertamu malam hari, mulut rakyat bungkam dan dimanipulasi “tipu-tipu” dalam negosiasi.

Pemerintah daerah mengajak para pemodal setempat bekerjasama membuka kawasan hutan disepanjang jalan Sota – Muting diantara pos-pos keamanan, Pemda berdalih, proyek tersebut  untuk “perkebunan karet rakyat”, ratusan hektar hutan yang kaya dengan gambir dan tempat penting orang Marind dan Yei dibongkar, untuk perkebunan karet atas nama rakyat, tidak ada AMDAL, tidak ada informasi pembagian lahan, tidak ada informasi pasar, semua menduga-duga saja dalam mimpi-mimpi “gula-gula” yang dipidatokan pejabat, “anggota” dan broker perusahaan.

Pemerintah juga sedang merintis dan membongkar hutan, rawa dan padang, untuk fasilitas jalan dan jembatan yang menghubungkan areal MIFEE, Klaster V Okaba, Klaster VI Wanam, Klaster VII Tubang, juga di Klaster II Kali Kumbu, yang menghubungkan Kampung Wayau dan poros jalan, membeton dan membelah Rawa Inggun dengan jalan tanah sejauh tiga kilo, melabrak jalur leluhur dan tempat penting, tidak ada AMDAL, berjalan  liar dan masyarakat seolah pasrah menerima ongkos ganti kayu yang ditebang dengan harga ganti sekenanya saja.

Kayu-kayu Rahai jutaan rupiah per kubik digesek dan dibawa ke kota oleh para pemodal asal kampung trans bekerjasama dengan “anggota” petugas Polpos setempat. Para pemodal perusahaan tebu dan pangan, seperti: Astra Group, Mayora Group, Wilmar Group, Medco Group, CGAD Group, tidak menunjukkan tanda-tanda untuk memperlihatkan bahwa mereka juga perusahaan yang bersih dan taat pada aturan. Ketika bertanya kepada Pejabat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) setempat mengenai hal ini, jawaban sang pejabat  terkesan mengabaikan hak rakyat dan mengikuti apapun keinginan perusahaan. “Kita justeru berharap dan perlu kerjasama dengan perusahaan”, katanya.

Source: Pusaka http://pusaka.or.id/2013/06/kontroversi-perpres-no-40-tahun-2013-ada-tni-dalam-memperlancar-bisnis-di-tanah-papua.html

 

This entry was posted in Berita Merauke and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink. Comments are closed, but you can leave a trackback: Trackback-URL.