Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan resmi ke Papua untuk kedua kalinya pada tanggal 9 dan 10 Mei yang lalu. Di Jayapura ia melakukan dua hal kecil namun menyenangkan hati orang, yaitu memberikan grasi kepada lima orang tahanan politik yang sudah lama dipenjarakan dan mengumumkan tidak ada lagi pembatasan bagi wartawan asing mengunjungi dan menulis tentang Papua. Keesokan harinya ia terbang ke Merauke untuk urusan serius: meluncurkan rencana untuk mengkonversi lahan seluas 1,2 juta hektare milik masyarakat adat setempat menjadi sawah dalam waktu tiga tahun.
Dalam beberapa bulan belakangan ini, jelaslah bahwa Presiden Jokowi bertekad untuk menghidupkan kembali rencana pendahulunya untuk membangun MIFEE, proyek kebun pangan dan energi yang terintegrasi di Merauke. Proyek raksasa yang diresmikan tahun 2010 ini dimaksudkan untuk menjamin ketahanan pangan Indonesia, namun kenyataannya hanya menghasilkan sejumlah konflik atas tanah dan membuka pintu bagi beberapa perusahaan perkebunan sawit dan tebu masuk ke sana.
MIFEE tahun 2010 pada awalnya mengalokasikan lahan seluas 1,2 juta hektare untuk dikembangkan hingga tahun 2030. Apa yang disampaikan Jokowi pada akhir pekan lalu jauh lebih luar biasa: 1,2 juta hektare akan dikembangkan dalam 3 tahun, sebagai tahap awal dari sebuah rencana yang pada akhirnya akan mencakup wilayah seluas 4,6 juta hektare (sebuah wilayah yang lebih luas dari Swiss, Belanda atau Denmark). Namun demikian, karena pemerintah belum mengeluarkan rencana resmi, kami hanya mengutip dari wartawan yang melaporkan apa yang disampaikan presiden pada waktu acara berlangsung. Berikut ini ringkasan dan analisis atas apa yang kami ketahui sejauh ini mengenai rencana tersebut:
Acara di Kampung Wapeko
Jokowi berkunjung ke Merauke untuk menghadiri kegiatan panen raya sebagai tamu pengusaha Arifin Panigoro (pemimpin Medco Group), yang menyampaikan undangannya bulan lalu. Padi dipanen dengan mesin di lahan percobaan seluas 248 hektare di Wapeko, Distrik Kurik. Selain presiden, juga hadir sejumlah menteri dan kepala kepolisian RI serta beberapa komandan militer.
Lalu apa rencananya?
Pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah bahwa seluruh proyek tampak agak mendadak – seolah-olah baru direncanakan saat itu juga. Ketika bisnis.com mewawancarai Jokowi dalam kegiatan berikutnya di hari yang sama, ia menjelaskan
“Tadi pagi sudah saya putuskan harus dimulai tahun ini. Saya beri target 1,2 juta hektare harus diselesaikan dalam waktu tiga tahun.”
Untuk memuluskan rencana, keesokan harinya berlangsung sebuah pertemuan lanjutan antara perwakilan pemerintah Kabupaten Merauke dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Dari pertemuan itu Bintang Papua melaporkan bahwa menteri memberi waktu hanya tiga hari kepada pemerintah daerah untuk menyiapkan kerangka acuan kerja program pengembangan 1,2 juta hektare sawah. Tahun ini akan dikembangkan 250.000 hektare dan setiap semester berikutnya 250.000 hektare. Pemerintah pusat akan menyediakan dana 7 trilyun rupiah setiap semester untuk mendukung rencana ini.
Kunci untuk mengembangkan wilayah seluas itu adalah pertanian dengan mesin. Hampir semua beras Indonesia diproduksi secara tradisional, dikerjakan dengan tangan dan sedikit sekali menggunakan mesin. Namun demikian, cara tradisional memberikan lapangan kerja bagi jutaan petani di seluruh penjuru negeri. Detik.com mengutip Jokowi yang menyatakan
“Tidak mungkin bisa dikerjakan pakai tangan, sampai kiamat tidak mungkin. Harus pakai mesin modern. Nanti Merauke yang pertama pakai mesin modern, di Indonesia belum ada”.
Dalam sistem ‘modern’ ini, satu orang mampu menggarap 50 hektare lahan, kata Jokowi. Namun, modal besar yang dibutuhkan untuk membeli mesin seperti Harvester Combine, mesin pemotong sekaligus perontok padi, jauh di luar jangkauan petani kecil Indonesia. Pertanian skala industri hanya mampu dilakukan oleh negara atau pemodal korporasi.
Berapa hektare?
Jokowi menyebutkan target 1,2 juta hektare dalam tiga tahun ke depan, namun banyak artikel media massa melaporkan bahwa Jokowi menyebutkan jumlah total bakal 4,6 juta hektare (( Misalnya, tiga hari kemudian dalam sebuah acara di Jakarta, Jokowi dikutip mengatakan 4,6 juta hektare dapat ditawarkan untuk dijadikan sawah )) dan bahkan menghitung total potensi hasil beras di kawasan tersebut ((Ia mengklaim 60 juta ton, kemungkinan dihitung berdasarkan hasil 7 ton/ha dari dua kali panen per tahun, yang berarti lebih dari produksi beras nasional saat ini)). Faktanya, 4,6 juta hektare adalah kurang lebih luas Kabupaten Merauke secara keseluruhan sudah termasuk Taman Nasional Wasur, wilayah hutan lindung lainnya, perkebunan sawit yang ada saat ini serta tanah pertanian dan daerah perkotaan. Apakah Jokowi sungguh-sungguh menginginkan seluruh wilayah? Atau barangkali dalam hal ini ada kesalahpahaman?
Tidak jelas apakah angka 1,2 juta hektare yang siap dibangun dalam tiga tahun ke depan diambil secara acak begitu saja. Kita belum tahu di mana lahan yang sedang mereka bicarakan itu. Barangkali angka 1,2 juta hektare itu adalah lahan yang awalnya direncanakan untuk MIFEE pada tahun 2010, yang dibagi menjadi 10 cluster atau kelompok. Jika benar demikian, sangat tidak realistis membayangkan kawasan itu akan dibangun dalam tiga tahun. Pertama-tama, izin perkebunan sawit dan tebu yang sudah diterbitkan praktis mencakup seluruh kawasan. Selain itu, di banyak tempat komunitas adat Marind, pemilik hak atas tanah, telah secara jelas mengungkapkan tekad untuk tidak melepaskan tanah mereka kepada perusahaan perkebunan.
Sesungguhnya, fakta bahwa semua tanah di Merauke dimiliki oleh komunitas adat tidak disebutkan oleh satu pun media massa yang melaporkan kunjungan Jokowi. Komunitas adat bergantung terhadap hutan untuk bertahan hidup dan kegiatan mata pencarian lainnya. Selain itu hutan memiliki hubungan mendalam dengan budaya dan identitas mereka sebagai masyarakat. Maka dari itu, ada perlawanan kuat dari banyak komunitas di kawasan MIFEE terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan. Hal yang sama pasti akan terjadi terhadap rencana yang terbaru ini.
Siapa yang akan mengembangkan lahan?
Medco yang mengundang Jokowi ke Merauke, dan sejauh yang kami tahu Medco adalah satu-satunya perusahaan yang bereksperimen dengan pertanian padi di kawasan itu. Medco adalah salah satu perintis MIFEE dan memiliki berbagai kepentingan di Merauke. Namun reputasi Medco hingga hari ini belum pernah baik. Anak perusahaannya di bidang kehutanan, PT Selaras Inti Semesta, dikenal sebagai salah satu perusahaan terburuk di sana, setelah menjebak masyarakat kampung Zanegi untuk melepaskan hutan mereka dengan ganti rugi kecil sekali. Disusul kemiskinan dan konflik, perusahaan itu sendiri akhirnya tutup beberapa tahun kemudian setelah gagal menghasilkan keuntungan, meninggalkan hutan luas yang hancur berantakan dan penduduk tidak punya hutan lagi serta tidak berpenghasilan.
Walaupun di masa awal MIFEE banyak perusahaan mengungkapkan minat untuk investasi sawah padi, sebagian besar mundur teratur karena risiko tinggi untuk mengembangkan sawah padat modal padahal tidak jelas siapa yang akan membayar biaya infrastruktur. Segelintir perusahaan yang masih tertarik berinvestasi tanaman pangan utama tidak berhasil membuat kemajuan. Perusahaan-perusahaan sawit (yang paling tidak terlalu tergantung terhadap infrastruktur) yang bertahan. Tidak muncul nama baru perusahaan swasta yang mungkin terlibat sejak Jokowi mengumumkan menghidupkan kembali rencana lumbung padi.
Karena besarnya jumlah dana publik yang terlibat, tampaknya negaralah yang akan menjadi pemain utama. Sekembalinya di Jakarta, beberapa hari kemudian Jokowi menegaskan kepada merdeka.com mengenai pemikirannya sebagai berikut:
“Siapa yang akan kerjakan? Nanti diberikan ke swasta semuanya, tidak mungkin. Maka kita putuskan, kita bagi 30% pakai swasta dan 70% pakai BUMN.”
Suatu peran untuk tentara
Panglima Angkatan Darat Jenderal Moeldoko menyertai Jokowi dalam kunjungannya ke Merauke, dan beberapa wakil militer juga hadir dalam pertemuan lanjutan keesokan harinya. Dalam laporan Bintang Papua mengenai pertemuan tersebut disebutkan bahwa “unsur TNI akan dilibatkan dalam rangka mempercepat program.”
Kalimat yang agak miring ini senada dengan beberapa pernyataan Jokowi sejak awal tahun ini. Setelah menetapkan sendiri target ambisius untuk swasembada pangan dalam tiga tahun, ia menugaskan militer, terutama petugas Babinsa di kampung-kampung, untuk terlibat dalam produksi pangan. Bagi pengritik, hal ini menguatirkan dan mengingatkan akan program “ABRI masuk desa” zaman Suharto, yang membiarkan tentara memantau masyarakat dengan mudah dan menekan gerakan petani.
Di Merauke tampaknya militer bersemangat dengan peran baru mereka. Minggu ini mereka mengadakan pameran mengenai ketahanan pangan sebagai bagian dari festival seni budaya memperingati 52 tahun berdirinya Kodam Cenderawasih di Papua.
Jadi, apakah kita akan menyaksikan terjadinya kekerasan ataukah tentara akan meminjamkan peralatan dan tenaga mereka untuk membuka lahan? Kita masih harus lihat apa yang akan terjadi. Namun jika pembukaan lahan akan berlangsung dalam skala dan kecepatan seperti yang diharapkan Jokowi, maka kita perlu mengantisipasi adanya sejumlah komunitas adat yang tidak mau menyerahkan tanah leluhur mereka. Dari pengalaman masyarakat lokal beberapa tahun belakangan ini, ketika mereka menolak perusahaan sawit dan tebu kehadiran tentara atau polisi yang melindungi perusahaan sudah cukup membuat mereka sangat terintimidasi.
Jadi, apa yang mungkin terjadi?
Dalam dekade terakhir Merauke menjadi target serangkaian panjang proyek raksasa: Sinar Mas Group berencana mengembangkan 1 juta hektare kebun kelapa sawit, Bin Laden Group menginginkan 500.000 hektare sebagai bagian dari Merauke Integrated Rice Estate, lalu datang MIFEE pada tahun 2010 dan kini ada proyek sawah padi yang baru. Semua rencana sebelumnya gagal mencapai apa yang dituju, walaupun mereka sudah membuka jalan untuk perluasan industri kelapa sawit khususnya. Rencana baru ini tampaknya sangat terburu-buru dan tidak diragukan juga akan menemui masalah besar, yang akan semakin menambah beban orang Marind yang sudah lama menderita.
Tampaknya Jokowi hanya datang ke Merauke untuk menghadiri sebuah upacara, melihat dataran rendah yang luas dengan banyak air, dan seperti para pemimpin sebelumnya, ia pikir cukup dengan memberi perintah ia bisa mengubah Merauke menjadi kawasan industri pertanian. Tidak ada tanda-tanda Jokowi merenungkan sejenak dan berpikir mengapa rencana-rencana sebelumnya gagal, dia juga tidak mendengarkan suara orang Marind yang harus menanggung semua beban rencana-rencana besar ini. Jadwal rencananya yang fantastik tidak memungkinkan adanya proses diskusi dengan komunitas yang perlu memberikan kesepakatan awal tanpa paksaan (FPIC) atas tanah mereka untuk digunakan, juga tidak ada waktu untuk melakukan kajian dampak lingkungan yang seksama. Dengan banyaknya dana dan militer yang terlibat, apapun yang terjadi kemungkinannya akan lebih kacau dan tidak dapat diduga, karena akan ada desakan untuk menunjukkan sejumlah bukti keberhasilan walaupun atas dasar rencana awal yang tidak realistis.
Dari semua laporan media yang melaporkan kunjungan Jokowi ke Merauke, hanya satu yang menyebutkan situasi yang dihadapi masyarakat adat Merauke, dan bagaimana upaya membangun ketahanan pangan Indonesia akan menghancurkan sumber pangan tradisional mereka sendiri. Sanimala Bastian, seorang mahasiswa Papua menulis sebuah analisis menarik mengenai “kolonialisme pangan Indonesia” di Papua untuk Majalah Selangkah. Mari kita tutup tulisan ini dengan kutipan dari artikel tersebut:
“Khusus soal proklamasi beras di Merauke, Jokowi dengan jelas-jelas mengabaikan kenyataan bahwa rakyat asli Papua adalah pengonsumsi sagu dan menggantungkan hidupnya dari hutan sagu. Itu artinya, membabat hutan sagu demi produksi sawah untuk ketahanan pangan (beras) nasional adalah program membunuh kelangsungan hidup rakyat asli Merauke karena menghancurkan sagu sebagai makanan pokok mereka.”
One Trackback
[…] the website awasMIFEE! points out, it sounds almost as if Jokowi was making it up as he went along. He told bisnis.com […]