DPRD dan LMA Keberatan Program Sejuta Hektar di Merauke Dikerjakan TNI

ProyeklahanMerauke – Jubi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merauke, Hendrikus Hengky Ndiken mengungkapkan rasa keberatannya terhadap program 1,2 juta hektar yang dicanangkan oleh Presiden RI, Joko Widodo beberapa waktu lalu. Kekecewaan itu lantaran kegiatan pembukaan lahan pertanian terkesan diambil alih oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dikatakan, mestinya pengusaha lokal yang bergabung dalam wadah Gapensi, dilibatkan dan diberikan kesempatan membuka lahan pertanian tersebut. Sehingga tidak menimbulkan atau memunculkan kesenjangan.

“Saya harus jujur mengatakan, langkah yang dilakukan TNI membuka lahan pertanian tersebut, telah menyalahi aturan. Karena Keppres mengisyaratkan adanya organisasi yang sudah terbentuk untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan,” katanya kepada Jubi di Merauke, Jumat (6/11/2015).

Hengky menambahkan, pihaknya mendukung langkah TNI mengambilalih kegiatan pembukaan lahan pertanian jika telah dikategorikan darurat. “Sepanjang ini kan tidak dan mestinya diberikan ruang dan kesempatan kepada pengusaha untuk bekerja,” pintanya.

Secara terpisah Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Merauke, Ignasius Ndiken juga merasa keberatan jika pekerjaan pembukaan lahan dilakukan TNI. “Kalau TNI yang kerja itu kan masalah. Lebih baik pekerjaan diserahkan kepada pengusaha lokal,” pinta Ignas.

“Bagaimana mungkin mereka punya tanah sendiri, tetapi orang lain bekerja. Aturannya dari mana? Ya, kalau ada klaim dari masyarakat sebagai pemilik hak ulayat, karena faktanya tidak diberdayakan dengan baik,” tuturnya.

Ditambahkan, semestinya masyarakat memberikan dukungan penuh terhadap program pemerintah pusat itu, hanya saja, orang asli Papua, terkesan tidak diberdayakan secara langsung. (Frans L Kobun)

Sumber: http://tabloidjubi.com/2015/11/06/program-sejuta-hektar-di-merauke-dprd-dan-lma-keberatan-tni-yang-kerja/ Read More »

Posted in Berita Merauke | Tag , | Komentar ditutup

Dalam Waktu 9 Bulan, 4 Warga Jadi Korban Kriminalisasi dari Lahan Perkebunan Sawit ANJ

Korban-ANJ-770x450Dalam sembilan bulan, aparat mengkriminalkan 4 (empat) warga pemilik tanah yang dirampas tanahnya oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Permata Putera Mandiri (PPM) dan PT. Putra Manunggal Perkasa (PMP), keduanya adalah anak perusahaan Austindo Nusantara Jaya Agri (ANJ), milik konglomerat George Tahija.

Keempat warga tersebut, adalah Obet Korie (52 thn) dan Odi Aitago (26 thn), keduanya asal Suku Iwaro, Kampung Puragi, Distrik Metamani, Kabupaten Sorong Selatan. Mereka dihukum penjara masing-masing Obet selama 7 (tujuh) bulan dan Odie selama 5 (lima) bulan, atas tindak pidana kekerasan terhadap barang milik PT. PPM, saat melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor PT. PPM, Kota Sorong, 16 Mei 2015.

Dua warga lainnya adalah Ayub Aume (47 thn) asal Kampung Benawa dan Daud Duge (48 thn) asal Kampung Anuni, Distrik Kokoda. Ayub dan Daud ditahan di Polres Sorong Selatan semenjak Desember 2014. Keduanya juga diancam pasal tindak pidana Pasal 170 ayat (1) dan ayat (20 KUHP atas dugaan tindak pidana melakukan pengrusakan tindak pidana bersama-sama dimuka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang.

Pendamping hukum Louiry da costa menerangkan, “Ayub dan Daud adalah aparat kampung sebagai Baperkam dan Kepala Kampung, keduanya bersama warga lainnya diduga terlibat aksi protes menuntut pembayaran hak-haknya yang belum ditunaikan oleh perusahaan kelapa sawit PT. PMP”, jelas Loury.

Pada 16 September 2015, Ayub dan Daud dipindahkan ke Rutan Sorong. Keduanya masih menunggu proses persidangan di Pengadilan Negeri Sorong.

Ibarat kata, hukum tajam kebawah dan tumpul keatas, mereka yang menuntut haknya dan meminta keadilan harus berhadapan dengan penguasa hukum dan dikriminalisasi. Sedangkan penguasa yang merampas tanah tanpa musyawarah dan kesepakatan dengan masyarakat adat pemilik tanah bebas berkeliaran. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , , , | Komentar ditutup

Semakin Banyak Investor Mengincar Hutan Sorong Selatan

Pertengahan tahun 2013 masih belum ada perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sorong Selatan. Kondisi hutan sudah tidak terlalu baik akibat industry kayu, namun masih ada hutan di seluruh kabupaten. Menurut peta tutupan lahan dari Pemerintah Indonesia, banyak diantaranya masih merupakan hutan primer.

Namun awal tahun 2014 sudah ada dua anak perusahaan Austindo Nusantara Jaya Group yang mulai membuka hutan ini dengan tujuan menanam kelapa sawit, kemudian disusuli PT Varia Mitra Andalan (anak perusahaan Eagle High Plantations Tbk.) pada akhir 2014.

Selain menghancurkan hutan, industri baru ini juga menghadiri konflik ke daerah ini yang berujung kriminalisasi warga. 25 Agustus, majelis hakim di Pengadilan Negeri Sorong memvonis Odi Aitago 7 bulan penjara dan Obet Korie 5 bulan. Bulan Mei lalu kedua lelaki ini ditangkap di Kota Sorong di sebuah demonstrasi penolakan PT Austindo Nusantara Jaya yang dituduh mengabaikan hak masyarakat adat di Distrik Metamani.

Namun kabupaten ini  masih menjadi sasaran untuk perusahaan kelapa sawit baru yang ingin berkembang bisnisnya di Tanah Papua. Minggu lalu para pejabat menggelarkan acara untuk membahas Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL) dual calon investor baru PT Persada Utama Agromulia (PAU) dan PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) yang ingin menanam sawit seluas 25.000 ha (PT PAU) dan 37.000 ha (PT ASI). Dua-duanya diduga anak perusahaan Indonusa Agromulia Group. KA-ANDAL itu adalah tahap awam proses AMDAL. Ini berita tentang acara tersebut, diambil dari web Kabupaten Sorsel:

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , , , , , , | Komentar ditutup

Kehadiran Perusahan Kelapa Sawit Mengancam Kehidupan Orang Asli Kamoro Dan Amungme Di Timika

Oleh Santon Tekege***

not4sale
Pengantar

Dalam amanat UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus “Otsus” di tanah Papua diberikan untuk menjawab isu Papua Merdeka. Bahkan Otsus itu dinilai akan menjawab segala persoalan Papua. Tetapi dengan maksud diberikan Pemerintah Indonesia agar isu Papua merdeka itu padam dengan jalan meningkatkan kesejahteraan.

Keinginan pemerintah itu dinilai benar untuk meniadakan isu Papua Merdeka, memajukan nasionalisme Indonesia di Tanah Papua. Namun kehendak pemerintah Indonesia itu tidak tercapai. Dikatakan demikian karena setelah adanya Otsus untuk Papua malah menambah persoalan yang semakin bahaya bagi orang asli Papua. Bahkan diperkirakan orang asli Papua menjadi minoritas dan pemusnahan pun bisa saja terjadi ketika melihat kenyataan semakin banyak orang asli meninggal atau ditembak aparat keamanan yang bertugas di seluruh di tanah Papua.

Banyak pihak menilai bahwa pemberian Otsus itu sebagai jalan masuk pemerintah Indonesia khususnya aparat keamanannya untuk menegakkan keutuhan NKRI di tanah Papua. Justru karena itu, Orang Asli Papua (OAP) merasa dikorbankan atau terjadi penembakan di mana-mana notabene pelakunya adalah aparat keamanan Indonesia di seluruh Papua. Bukan hanya itu, sumber daya alam Papua pun dikuras habis-habisan oleh pemerintah Indonesia dan para kapitalis Indonesia dan Asing di negeri Papua. Para kapitalis dibuka perusahan di mana-mana dan beckup oleh aparat keamanan pada setiap perusahan yang berada di tanah Papua. Pemerintah Indonesia akan berpikir bahwa kehadiran para kapitalis melalui perusaha-perusahan itu sebagai proses perkembangan dari zaman modernisasi yang akan berdampak baik kepada pemerintahan bahkan akan mendapatkan keuntungan besar tanpa berpikir dampak bencana terhadap lingkungan hidup di tanah air Indonesia ((Baca Pedoman Umat Katolik dalam Melestarikan Lingkungan Hidup dan Kementerian Lingkungan Hidup RI 2014)). Apalagi kalau kita biacara soal kehancuran lingkungan hidup di tanah Papua yang semakin gencar terdengar di mana-mana. Misalnya kehadiran perusahan kelapa sawit yang akan dibangun di mana-mana di seluruh tanah Papua. Perusahan-perusahan yang berada di tanah Papua di belakangnya adalah para aparat keamanan Indonesia (TNI dan POLRI). Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag | Komentar ditutup

Korban Kriminalisasi Obet Korie dan Odi Aitago Dituntut Hukuman Pidana Penjara

(Sorong, 13 Agustus 2015), Jaksa Penuntut Umum (JPU), Katrina Dimara, SH, dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong mendakwa bahwa Obet dan Odi melanggar Pasal 170 Ayat 1 KUHP dan menuntut Majelis Hakim PN Sorong menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada Obet Korie selama 1 (satu) tahun dan Odi Aitago selama 8 (delapan) bulan, dikurangi masa penahanan.

Obet Korie dan Odi Aitago adalah masyarakat adat Papua asal Suku Iwaro (Sorong Selatan) korban ketidakadilan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Permata Putera Mandiri, salah satu anak perusahaan Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Group yang beroperasi ditanah adat milik masyarakat adat setempat.

Terdapat 3 (tiga) anak perusahaan kelapa sawit ANJ yang berada di daerah Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat, yakni: PT. Putera Manunggal Perkasa (PMP), PT. Permata Putera Mandiri (PPM) dan PT. Pusaka Agro Makmur, dengan keseluruhan total luas lahan 91.209 ha. ANJ juga memiliki bisnis pengusahaan hasil hutan Sagu dan industri pengolahan, PT, ANJ Agri Papua di Distrik Metamani dan Kokonau, Sorong Selatan, dengan luas 40.000 ha.

Pada15 Mei 2015, Obet Korie (52 Tahun) dan Odi Aitago (27 Tahun) dan puluhan peserta aksi dari Suku Iwaro yang melakukan protes di Kantor PT. PPM, di Kota Sorong, ditangkap dan ditahan oleh Polres Kota Sorong, hingga berbuntut penahanan Obet Korie dan Odi Aitago.

Menurut Simon Soren, salah satu perwakilan mahasiswa Iwaro, “Masyarakat protes perusahaan yang merampas hak mereka atas lahan dan kawasan hutan yang tidak adil, pemberian ganti rugi tidak adil (Rp. 75.000 per hektar), tidak transparan dan terjadi manipulasi informasi, praktik intimidasi dan sebagainya, serta praktik kejahatan lingkungan pengrusakan sumber daya alam, penghancuran sumber-sumber pangan dan kehidupan masyarakat”, jelas Simon.

Ketidakadilan dan praktik pembangunan yang melanggar hak-hak hukum masyarakat inilah yang dituntut oleh Obet Korie dan Odi Aitago bersama masyarakat korban, pemuda dan mahasiswa, melalui aksi-aksi protes, dialog dan perundingan. Namun tuntutan keadilan dan pemenuhan hak-hak masyarakat korban tidak dipenuhi dan sebaliknya menjadi korban kriminalisasi. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , , , , , | Komentar ditutup

Mentan Telepon Bupati Merauke, Minta Tolong Proyek Food Estate Dikebut

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menuturkan, pembangunan food estate atau lumbung padi di Merauke terhambat masalah adat. Lahan untuk food estate adalah tanah adat. Hingga kini, belum ada kesepakatan jelas dengan para pemuka adat setempat terkait masalah penggunaan lahan.

Padahal, kata Amran, anggaran dan peralatan untuk food estate sudah disiapkan oleh Kementerian Pertanian. Bila tak terkendala masalah adat, pembangunan bisa segera dikebut. Untuk menyelesaikan masalah ini, Amran mengaku telah menghubungi Bupati Merauke.

“Kami sudah telepon bupatinya 4 hari lalu, tolong dipercepat. Anggarannya sudah siap, peralatan dan tim juga sudah siap,” kata Amran, usai melantik para pejabat eselon II di Kementerian Pertanian, Jakarta, Jumat (7/8/2015).

Pihaknya tetap berupaya agar pembangunan food estate bisa terus berjalan. Saat ini, Kementan telah mulai mengirimkan alat-alat berat ke Merauke. “Sekarang sudah mulai jalan, alat beratnya sudah dikirim,” dia menuturkan.

Akibat adanya masalah tanah adat ini, pembangunan food estate yang rencananya tahun ini dikembangkan hingga 250 ribu hektar, tidak dapat terlaksana sepenuhnya. Paling banyak, tahun ini hanya dibangun 10 ribu ha. “Di sana yang kita hadapi ada masalah tanah adat. Kita maunya sih tahun ini bisa bangun 250 ribu ha, tapi situasi di lapangan tidak memungkinkan,” tutur Amran.

Diharapkan, pembangunan food estate bisa dikebut mulai 2016, agar dapat diselesaikan seluruhnya sebelum 2019. “Tahun ini kami rancang dulu 10 ribu hektar. Kami lihat dulu, kita rancang untuk tahun berikutnya,” tutupnya.

Read More »

Posted in Berita Merauke | Tag , , , , | Komentar ditutup

Demo Menuntut PT. PPM, Dua Warga Dipidanakan

Aksi-PT.PPM-1Pada 15 Mei 2015 silam, puluhan mahasiswa dan warga suku Iwaro asal Metamani dan Inanwatan, Kabupaten Sorong Selatan, melakukan aksi protes menggelar spanduk, orasi dan memalang kantor perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Permata Putera Mandiri (PPM), di Jalan Ahmad Yani, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat.

Menurut Simon Soren, salah seorang peserta aksi, “warga menuntut perusahaan PT. PPM menyelesaikan permasalahan kasus perampasan tanah, pengrusakan hutan dan dusun sagu, pembalakan kayu ilegal dan ganti rugi yang tidak adil, dan indikasi eksplorasi sumur minyak dan gas secara ilegal”.

Pihak PT. PPM menolak bertemu peserta aksi, aparat Polisi Kota Sorong yang sudah ada dilokasi aksi lalu membongkar paksa dan menangkap puluhan peserta aksi. Setelah diperiksa beberapa warga dipulangkan secara berkala dan terakhir menahan dua warga asal Kampung Puragi, Distrik Metamani, Sorong Selatan, yakni: Obed Korie dan Odie Aitago.

Pada 14 Juli 2015, Obed Korie dan Odie Aitago menghadiri sidang pertama di Pengadilan Negeri Sorong untuk pembacaan dakwaan oleh Jaksa. Menurut Loury Dacosta, pendamping hukum warga, “Jaksa Ola Dimara membaca dakwaan yang disangkakan kepada kedua warga dikenai Pasal 170 KUHP, melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dengan ancaman pidana penjara selama lima tahun”, jelas Loury Dacosta, yang turut hadir dalam sidang pertama di PN Sorong.

Keadilan masih jauh dari warga korban PT. PPM, tuntutan tidak dipenuhi dan sebaliknya pemerintah mempidanakan warga korban. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , , , , | Komentar ditutup

Suku Mairasi dan Miere: Tanah Tidak Kami Jual

Konsul-Publik-Wasior-Menara-WasiorPertengahan April 2015, Pemda Kabupaten Teluk Wondama dan Badan Lingkungan Hidup mengumpulkan  perwakilan masyarakat dari Suku Mairasi, Miere dan Wamesa, yang bermukim di kampung sekitar Distrik Naikere, Kuriwamesa dan Rasiei, Kabupaten Teluk Wondama, di ruang pertemuan Kantor Distrik Rasiei.

Sejak awal pertemuan, sikap masyarakat sudah kurang suka dengan tema yang dibahas, yakni konsultasi publik rencana perkebunan kelapa sawit PT. Menara Wasior. Pesertanya juga ada dari operator dan konsultan perusahaan PT. Menara Wasior.

Peserta yang hadir kasak kusuk saat konsultan perusahaan berbicara. Saat tanya jawab, masyarakat menumpahkan segala kritik dan amarah mereka atas kehadiran perusahaan di daerah Wasior, mulai dari pembangunan perkantoran pemerintah daerah yang ganti rugi belum diselesaikan, eksploitasi hasil hutan kayu yang tidak memberikan manfaat, bencana banjir yang menyeramkan warga, hingga kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu yang membuat masyarakat trauma.

Kebanyakan warga peserta tidak setuju dan menolak rencana perusahaan, “Kami tidak setuju dengan perusahaan, walaupan tiga sampai empat kali pertemuan seperti ini, kami tetap tidak setuju. Kami ingat dampaknya, kami ingat dampak lingkungannya terhadap kehidupan masyarakat dan terhadap tanah perjanjian ini, kami tidak mau, titik”, kata salah seorang warga dari Rasiei. Disusul sambutan peserta lainnya, “Aminn”.

Pertemuan informal sudah beberapa kali dilakukan oleh operator perusahaan difasilitasi oleh oknum-oknum pemerintah daerah dan tokoh masyarakat adat setempat. Masyarakat tetap punya sikap tidak setuju, tetapi perusahaan masih ngotot untuk mendapatkan persetujuan perolehan lahan dari masyarakat. Ada juga beberapa warga mendukung dan mengharapkan manfaat dari perusahaan.

Tokoh masyarakat dari Suku Mairasi dan Miere, paling utama menentang kehadiran perusahaan PT. Menara Wasior yang beroperasi di wilayah adat mereka. Pada 12 April 2015, mereka membuat surat pernyataan meminta pemerintah daerah mencabut izin perusahaan, alasannya (1) tanah tidak kami jual untuk kegiatan perkebunan berskala besar; (2) tanah dan hutan merupakan sumber kehidupan; (3) tanah dan hutan adalah warisan leluhur kepada anak cucu; (4) tanah dan hutan adalah mama; (5) beranjak dari pengalaman aktivitas perusahaan yang sudah-sudah, tidak memberikan dampak yang baik bagi masyarakat pemilik tanah dan hutan.

“Kami minta pemerintah Republik Indonesia serius menanggapi surat pernyataan warga”, ucap Konstan Natama, salah seorang tokoh masyarakat adat Mairasi dan pendukung surat pernyataan. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua | Tag , , , , , , , , , , | Komentar ditutup

Menteri mengumumkan rencana perkebunan gula baru seluas 500.000ha di Merauke, Aru dan Sultra

20130829_015506Pejabat tinggi di Jakarta terus-menurus menyatakan rencana baru untuk ekspansi pertanian skala luas di ujung timur wilayah negara Indonesia. Bulan Mei lalu Presiden Joko Widodo mengumumkan 1,2 juta hektar hutan adat akan dikonversi menjadi sawah dalam tiga tahun mendatang. Sekarang Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, menyatakan bahwa pemerintah telah mensiapkan 500.000 hektar untuk menjadi perkebunan tebu yang akan menyuplai sepuluh pabrik gula baru di Merauke, Kepulauan Aru dan Sulawesi Tenggara. Ini laporan dari MetroTV News:

Metrotvnews.com, Jakarta: Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman telah menyiapkan lahan sebanyak 500 ribu hektare (ha) untuk dibangun pabrik gula. Kesiapan lahan tersebut tersebar di tiga lokasi, yakni Sulawesi Tenggara, Pulau Aru dan Merauke.

Amran mengakui, kesiapan lahan tersebut untuk menyambut para investor untuk menanamkan modalnya dalam membangun pabrik gula di dalam negeri. Pasalnya, hingga kini Indonesia masih mengimpor raw sugar sebagai bahan baku gula industri atau gula rafinasi.

“Kita rapat bersama membahas tentang investasi. Pertama, investasi untuk pabrik gula yang rencananya di Sulawesi Tenggara, Aru dan Merauke. Ada tiga alternatif (lokasi lahan),” ujar Amran ditemui di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jalan Jenderal Gatot Subroto No 44, Jakarta Selatan, Rabu (17/6/2015).

Sebanyak 500 ribu ha lahan tersebut, lanjut dia, maka kapasitas per satu pabrik nantinya sebesar 10 ribu ton tebu per hari. Lahan seluas itu untuk dibangun 10 pabrik dengan luas satu lahan pabrik gula sebanyak 50 ribu ha.

“Mereka juga kan harus punya kebun tebu. Jadi satu pabrik nanti butuh luas lahan sebanyak 50 ribu ha,” papar Amran.

Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengungkapkan, sebanyak 26 investor telah menyatakan minatnya untuk menanamkan modal di sektor gula. Dana yang disiapkan investor tentu tak sedikit, pasalnya untuk mendirikan satu pabrik gula membutuhkan investasi hingga Rp5 triliun.

“Ada 11 ditambah 15 investor atau total 26 investor. 11 investor berbasis gula rafinasi sedangkan lainnya yang 15 investor itu yang terintegrasi dengan kebun,” pungkas Franky.

Sekali lagi, pemerintah pusat tidak mempertimbangkan sikap warga di daerah-daerah jauh dari ibukota sebelum mengumumkan proyek raksasa seperti ini. Namun tidak mungkin sang Menteri ini tidak sadar bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini masyarakat adat telah berjuang untuk menolak perkebunan tebu di dua dari tiga kawasan tersebut, yaitu Kepulauan Aru dan Merauke. Dalam kasus Kepulauan Aru tahun 2013-2014 seluruh masyarakat di Aru bersatu dalam gerakan penolakan rencana Menara Group untuk membuka perkebunan tebu seluas 500,000 hektar. Sementara di Merauke, dari sekitar 24 perusahan yang dapat izin lokasi untuk membangun perkebunan tebu sejak tahun 2010, sampai saat ini hanya ada dua yang berhasil membuka lahan. Salah satu alasan penting investasi tidak berhasil adalah penolakan dari masyarakat adat pemilik hak ulayat, misalnya di Kab. Merauke bagian barat di mana PT Astra dan PT Mayora terpaksa angkat kaki setelah aksi penolakan dari masyarakat pada tahun 2013. Read More »

Posted in Seputar Tanah Papua, Berita Merauke | Tag , , | Komentar ditutup

Kepala Suku Malind Ezam: Kecewa dengan Pemerintah dan Ingin Kembalikan Kalpataru

Amandus-KaizeKepala Suku Malind dari Golongan Ezam di Kampung Kaisa, Distrik Malind, Kabupaten Merauke, Amandus Yoliw Kaize, mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo pada 18 April 2015 yang ditembuskan dan diterima Pusaka awal Juni 2015, isinya perihal laporan kejadian perampasan tanah.

Dalam surat tersebut, Amandus melaporkan masalah perkebunan kelapa sawit milik perusahaan PT. Agrinusa Persada Mulia (APM), yang mengambil tanah adat mereka seluas 1.000 hektar. Selain itu dilaporkan kalau perusahaan APM juga telah membuka lahan kelapa sawit milik Suku Malind dan Yeinan yang ada di Kampung Kolam, Wan dan Bupul di Distrik Muting dan Distrik Eligobel.

“Kami sangat kecewa dengan tindakan aktifitas perusahaan yang mengambil hak ulayat. Kami kecewa dengan pemerintah yang tidak pernah memperhatikan masyarakat, padahal kami telah berkontribusi menjaga hutan dan lingkungan di Kampung Kaiza agar tetap lestari”, kata Amandus.

Delapan tahun yang lampau, Amandus Yoliw Kaize, menerima Kalpataru sebagai perintis lingkungan dengan kegiatan pelestarian hutan adat. Presiden SBY menyerahkan penghargaan Kalpataru kepada Amandus dan 83 orang lainnya di Istana Negara tepat pada hari Lingkungan Hidup Dunia, 5 Juni 2007. Presiden SBY dalam sambutannya menyatakan pentingnya menyelamatkan lingkungan hidup bagi generasi sekarang maupun yang akan datang dan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan hidup.

Praktiknya, hutan-hutan adat tempat penting bagi Orang Marind sedang menghadapi ancaman dan pengrusakan oleh kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit dan proyek-proyek MIFEE lainnya. Amandus dalam suratnya memohon Presiden RI agar memperhatikan Kalpataru.

“Kami memohon dan mengharapkan bapak Presiden Republik Indonesia agar mengintruksikan kepada para Menteri terkait, Gubernur Propinsi Papua dan Bupati Kabupaten Merauke untuk menyikapi masalah ini. Kami berharap agar pemerintah terutama dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk tim kajian dan datang ke Kampung Kaisa yang pernah menerima Kalpataru”, permohonan Amandus dalam suratnya. Read More »

Posted in Berita Merauke | Tag , , , , , | Komentar ditutup